Lihat ke Halaman Asli

Kesehatan Mental: Menuju Pengertian yang Lebih "Manusiawi"

Diperbarui: 24 Januari 2020   14:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kesehatan mental, istilah yang menjadi topik pembicaraan hangat akhir-akhir ini. Kasus-kasus bunuh diri di kalangan artis dan remaja, kasus perundungan dan dampaknya, serta penyintas depresi dan bipolar yang semakin meningkat. Semua itu kelihatannya berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental, khususnya dikalangan generasi y dan z sebagai generasi yang memasuki usia produktif saat ini.

Teknologi digital memiliki andil yang besar terhadap peningkatan kesadaran tersebut. Bagaimana tidak? Generasi y dan z  sebagai generasi yang berkembang bersama teknologi informasi dan komunikasi, memilih media digital untuk mencari informasi mengenai kesehatan mental. Apalagi dengan maraknya smartphone dan media sosial, sebut saja facebook, instagram, twitter, whatsapp, dan telegram, informasi terkait kesehatan mental mengalir tanpa batas. Berdasarkan data dari google trends, kata pencairan terkait kesehatan mental yang menduduki posisi tiga teratas selama 12 bulan terakhir adalah "kesehatan", "gangguan jiwa" dan "kesehatan mental". Pencarian yang meningkat tajam berkaitan dengan pertanyaan tentang kesehatan mental adalah pencairan dengan kata kunci "pidato tentang kesehatan mental", "skor kesehatan mental", dan "kesehatan mental remaja pada era globalisasi" (2020, Januari).  

Peningkatan Literasi Kesehatan mental dapat juga dilihat dari hasil penelitian komunitas Halo Jiwa Indonesia (2019) terhadap 501 mahasiswa dari berbagai provinsi di Indonesia. Sebanyak 54% mahasiswa memiliki tingkat literasi kesehatan mental yang tinggi. Tidak ada perbedaan antara literasi kesehatan mental laki-laki dan perempuan yang ditemukan. Sebagai mahasiswa yang umumnya tergolong generasi y dan z, perkembangan internet mendukung peningkatan literasi kesehatan mental mereka.

Tidak hanya mencari informasi, beberapa diantara mereka juga menggunakan internet untuk mempromosikan kesehatan mental agar masyarakat semakin sadar mengenai pentingnya kondisi tersebut. Media sosial menjadi platform yang paling banyak dipilih. Contohnya, dengan membuat akun-akun yang bertujuan untuk memberikan informasi terkait dengan kesehatan mental di luar dari akun resmi lembaga-lembaga yang memang berfokus pada isu kesehatan mental seperti WHO dan Kementrian Kesehatan. Informasi yang berupa artikel, infografis, video singkat dan sebagainya menjadi makanan sehari-hari netizen. Kadang, akun-akun tersebut cukup mengunggah kutipan-kutipan singkat yang bersifat persuasif dan mendorong motivasi atau bagi sebagian orang bersifat afirmatif. Mungkin, kita memang hanya membutuhkan konfirmasi atau penguatan atas keyakinan kita. Sehingga, dapat dikatakan bahwa di era sekarang ini, bermunculan motivator-motivator virtual melalui akun-akun media sosial.  

Perkembangan ini tentu saja membawa dampak positif, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, diantaranya adalah meningkatnya literasi kesehatan mental. Namun, setiap solusi akan memiliki dua sisi, bukan? Sisi negatif dari perkembangan ini adalah informasi berlebihan  yang beberapa diantaranya adalah informasi yang bisa saja salah kaprah atau keliru. Oleh sebab itu, para pengguna internet seyogyanya selektif dalam menerima informasi yang sampai kepada mereka.

Sebagain aspek yang tidak terpisahkan dari kesehatan secara keseluruhan, kesehatan mental tidak begitu mudah untuk didefinisikan. Sepanjang perkembangannya, definisi kesehatan mental telah mengalami pergeseran-pergeseran sebagai hasil dari kritik terhadapnya. Kebanyakan masyarakat awam mungkin menganggap bahwa kesehatan mental adalah keadaan tidak adanya "penyakit" mental. Apabila seseorang tidak didiagnosa mengidap gangguan-gangguan mental seperti yang terdaftar pada DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) yang dikeluarkan oleh American Psychological Association (APA), ICD (The International Statistical Classification of Diseases) dari WHO, ataupun PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) keluaran Departemen Kesehatan, orang tersebut masih sehat mentalnya. Dari kacamata orang awam, asalkan Anda tidak termasuk "orang gila", berarti Anda sehat mental. Definisi ini sangatlah membatasi makna kesehatan mental itu sendiri dan boleh dikatakan fitrah sebagai seorang manusia.

Di dunia ini, tidak banyak orang-orang yang mengalami gangguan mental, atau sebut saja abnormalitas, dibandingkan dengan orang-orang yang normal. Kebanyakan yang kita temukan adalah orang-orang normal yang terkadang bermasalah. Mengapa kita berfokus pada orang-orang abnormal hingga lupa pada potensi untuk mencegah orang-orang normal menjadi "bermasalah" dan akhirnya menjadi abnormal? Kita bisa mengoptimalkan potensi orang-orang normal agar tidak jauh terjatuh dalam kondisi gangguan mental. Disinilah perspektif psikologi positif masuk menggantikan pandangan psikologi negatif yang cukup lama mewarnai perkembangan praktik psikologi, dengan menekankan pada pencegahan melalui optimalisasi potensi individu untuk mencapai kesejahteraan atau yang kita kenal dengan wellbeing. Potensi tersebut berupa kekuatan karakter dan kebajikan yang mendukung funsi-fungsi optimal sebagai manusia.

Perspektif ini diadaptasi oleh WHO untuk mendefinisikan kesehatan mental dalam pengertian yang lebih positif. Kesehatan mental adalah keadaan (state) sejahtera dimana individu menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya (WHO, 2004). Definisi ini setidaknya dapat mewakili suatu kemajuan dari segi substansinya dan mengidentifikasi dua komponen kunci dari kesehatan mental yaitu perasaan positif dan keberfungsian positif. Kesehatan mental sering dikonseptualisasikan sebagai keadaan yang murni positif, yaitu ditandai oleh perasaan bahagia dan rasa penguasaan terhadap lingkungan sekitarnya.

Konsep-konsep lain juga sering dimunculkan dalam makalah-makalah ilmiah sejalan dengan definisi WHO yang menggaris bawahi emosi dan keberfungsian positif. Keyes (2014) misalnya, mengidentifikasi tiga komponen kesehatan mental, yaitu kesejahteraan emosional (emotional wellbeing), kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing), dan kesejahteraan sosial (social wellbeing). Kesejahteraan emosional meliputi kebahagiaan, minat dalam hidup, dan kepuasan.  Kesejahteraan psikologis meliputi penerimaan diri, terampil mengelola tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari, memiliki hubungan baik dengan orang lain, dan puas dengan kehidupannya sendiri. Kesejahteraan sosial mengacu pada fungsi positif dalam masyarakat diantaranya dapat berkontribusi kepada masyarakat (kontribusi sosial), merasa menjadi bagian dari komunitas (integrasi sosial), percaya bahwa masyarakat menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang (aktualisasi sosial), dan bahwa cara kerja dalam masyarakat masuk akal bagi mereka (koherensi sosial). Pengertian ini masih menggunakan perpspektif psikologi positif yang dipengaruhi oleh tradisi hedonis dan eudaimonik.

Namun, pada kenyatannya banyak situasi kehidupan menantang dan sulit yang bukanlah menunjukkan kondisi yang sejahtera. Dengan demikian, jika kita menganggap keadaan sejahtera (wellbeing) sebagai aspek kunci dari kesehatan mental maka bagaimana dengan kesehatan mental orang-orang yang hidup dalam kondisi yang tidak sejahtera, seperti perang. Kebanyakan orang akan menganggap tentara yang membunuh beberapa orang selama aksi perang tidak sehat secara mental meskipun pada saat itu tentara tersebut mengalami suatu keadaan sejahtera. Sementara itu, orang-orang mungkin akan melihat orang yang dipecat dari pekerjaannya saat kesempatan kerja semakin langka sebagai orang yang tetap sehat mental meskipun dia merasa sangat putus asa.

Aspek kesehatan mental lainnya dari definisi tersebut adalah keberfungsian positif yang diterjemahkan sebagai kemampuan bekerja secara produktif dan kontributif. Jika demikian, bagaimana dengan orang-orang yang secara usia tidak memungkinkan untuk bekerja secara produktif lagi ? Juga mereka yang memiliki kondisi fisik yang tidak memungkinkan seperti mereka yang mengalami disabilitas fisik? Bagaimana pula para remaja yang agak pemalu untuk tampil sebagai bagian dari fase krisis perkembangan yang dilaluinya. Lebih dari itu, bekerja secara produktif seringkali tidak memungkinkan karena alasan kontekstual misalnya pada migran dan orang-orang yang mendapatkan diskriminasi, yang selalu berjuang melawan ketidakadilan dan ketidaksetaraan, sehingga mereka tidak mampu sepenuhnya berkontribusi terhadap komunitas dimana mereka hidup. Apakah mereka semua tidak sepenuhnya sehat secara mental menurut definisi tersebut ? Apakah mereka tidak akan pernah mencapai kesehatan mental?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline