Lihat ke Halaman Asli

Orang Miskin Dilarang Sakit

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Masih ingat kasus meninggalnya Dera Nur Anggraini? Bayi kembaran Dara yang akhirnya meninggal dunia karena terlambat mendapatkan pertolongan hingga akhirnya meninggal. Sebabnya sepele, Dera orang miskin, tidak punya uang hingga harus dilempar sana-lempar sini oleh sepuluh rumah sakit yang disambangi keluarga Dera. Ironis, dari sepuluh rumah sakit semuanya kompak menyatakan ruang NICU/PICU untuk Dera penuh. Kasus Dera ini membetot perhatian para pejabat, hingga Menteri Kesehatan pun turun tangan memanggil para Dirut Rumah Sakit yang menolak Dera.

Namun entahlah, apa sebenarnya yang ada dibenak para pengelola rumah sakit, kasus Dera tidak dijadikan pelajaran bagi mereka, justeru kasus serupa Dera kembali terulang. Adalah Ana Mudrika, 15 tahun, pasien miskin di Jakarta Utara ini menjadi korban liberalisasi kesehatan dan kapitalisme rumah sakit di Jakarta. Ana yang menderita keracunan makanan sejak Selasa, 5 Maret 2013, akhirnya meninggal dunia pada hari Sabtu, 9 Maret 2013, lantaran tidak mendapatkan pertolongan yang layak dan pantas. Sebabnya, lagi-lagi karena Ana berasal dari keluarga miskin, tidak ada kamar untuk Ana. Menurut keluarga Ana, pihaknya sudah mendatangi sedikitnya empat rumah sakit di Jakarta Utara agar merawat Ana, namun semuanya kompak menolak, bahkan ada satu rumah sakit yang tegas menolak Ana karena tidak melayani pasien peserta KJS.

Menurut Ayu, kakak kandung Ana, empat RS dimaksud keseluruhannya berada di Jakarta Utara. Yaitu RS Koja, RS Firdaus, RS Pelabuhan, dan RS Mulyasari. Ketiga RS pertama menolak dengan alasan kamar penuh. Sementara, RS Mulyasari menolak karena tidak menerima pasien pemegang Kartu Jakarta Sehat (KJS). (kompas.com/090313). Walikota Jakarta Utara yang mendengar kasus ini pun baru bisa berkata akan mengecek status keempat rumah sakit tersebut apakah termasuk 88 rumah sakit penerima KJS atau bukan. Lantas kalo tidak termasuk dari 88 RS yang terafiliasi dengan KJS apakah pantas menolak Ana? Sebab keluarga Ana yakin betul mereka ditolak bukan karena tidak ada kamar, tetapi karena mereka tidak punya uang, alias orang miskin.

Kasus Dera dan Ana hanyalah secuil kisah penderitaan warga miskin di Jakarta, sejatinya masih banyak ratusan ‘Dera’ dan ‘Ana’ lain yang tidak mendapatkan akses kesehatan karena mereka miskin. Mau berobat tidak punya uang, ingin dirawat pun harus rela diperlakukan seperti orang terbuang. Apakah orang miskin di kota ini dilarang sakit? No Money, No Health Care?

Beri Sanksi RS Penolak Pasien Miskin

Pemerintah harus tegas, jangan cuma retorika belaka. Jangan cuma bilang. “rumah sakit dilarang menolak pasien miskin”, tapi nyatanya hal itu masih saja terjadi. Padahal dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dalam pasal 32 ayat 1 dan 2 intinya menyebutkan rumah sakit dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka. Jika hal itu dilakukan, pengelola atau pihak rumah sakit bisa dipidanakan, hukumannya pun tidak main-main.

UU No 36/ 2009, Pasal 190 menyatakan:

(1). Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Jika kasus-kasus ini masih saja terjadi dan masyarakat banyak yang belum tahu undang-undang ini, maka ini adalah kesalahan pemerintah yang tidak gencar mensosialisasikan undang-undang ini. Jika pemerintah serius menjadikan kasus Ana ini kasus terakhir ditolaknya seorang pasien miskin, maka tegakanlah undang-undang (law enforcement). Jangan jadikan undang-undang itu teronnggok sia-sia hanya menjadi lembaran negara tanpa makna dan kuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline