Lihat ke Halaman Asli

Syukur Umar

Dosen, peneliti/penulis, dan penikmat musik dan perjalanan wisata

Tinjauan Mitologi serta Agama terhadap Gempa Palu 7.4 dan Pademi C-19 (Bagian-1)

Diperbarui: 9 Desember 2021   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Faktor penyebab bencana dapat berupa alam, non alam, dan manusia. Gempa bumi Palu 7.4 misalnya bersama dengan tsunami dan likuefaksi telah menyebabkan bencana bagi masyarakat Palu dan sekitarnya. Sementara penyebab bencana non alam diakibatkan oleh peristiwa non alam seperti epidemi yang tengah berlangsung dewasa ini yang dikenal dengan nama pandemi Covid-19. Kedua bencana tersebut telah menjadi perbincangan berskala internasional. Gempa Palu 7.4 merupakan bencana berskala lokal yang informasinya menyebar luas dan mengglobal. Berbeda dengan itu, Covid-19 merupakan epidemi yang mengglobal sehingga disebut pandemi.

Faktor kedua bencana tersebut telah banyak dibahas oleh kalangan ilmuan. Gempa Palu dihubungkan dengan patahan geologi Palu-Koro yang memiliki pergeseran rata-rata 30-40 mm per tahun (Anggraini & Mardhatillah, 2020). Kemudian Pandemi C-19 disinyalir berasal dari hewan kelelawar yang mengalami stress karena habitatnya terganggu atau faktor lain  (Ye et al., 2020).

Terlepas dari hasil kajian ilmiah terhadap kedua bencana tersebut, tulisan ini merupakan sebuah opini  yang ingin mengulas sisih lain bencana tersebut.

Tinjauan mitologi dan agama merupakan sisi nilai dan moral yang memberikan makna dan pembelajaran kepada umat manusia. Fakta pada sebagian masyarakat yang meyakini bahwa bencana terjadi tidak terlepas dari kesalahan atau dosa manusia sehingga alam dan atau Pencipta semesta memperlihatkan kemurkaanNya. Apalagi di Indonesia, di mana praktik beragama terkadang mencerminkan bagaimana masyarakat memaknai agama sebagai sesuatu yang penting dan sakral dan terkadang disetarakan dengan nilai tradisi warisan nenek moyang (Sardjuningsih, 2015). Lebih lanjut dijelaskan bahwa mitos dan agama di beberapa komunitas membangun sebuah struktur kepercayaan yang kompleks, yakni sebagai doktrin, kepercayaan dan ideologi.

Secara fungsional struktur yang kompleks tersebut diyakini memiliki peran menjaga stabilisasi keseimbangan masyarakat dengan alam. Peranan mitologi-agama bahkan telah masuk ke rana kehidupan modern. Misalnya dalam pentas politik di mana pendekatan meta-fisik terjadi dengan menggunakan penasehat spiritual untuk mencapai tujuan politik tertentu (Hadisaputra, 2016).

Tulisan ini akan menggaris-bawahi pandangan para pihak terhadap upacara Balia dalam hubungannya dengan bencana Gempa Donggala, serta penemuan para ahli tentang peran kelelawar sebagai sumber virus C-19 yang menyebabkan pandemi. Tujuannya adalah mendeskripsikan tinjauan mitologi-agama terhadap kedua bencana tersebut sehingga memungkinkan pemberian makna dan nilai yang menjunjung tinggi ketauhidan.

Tulisan ini merupakan review berbagai tulisan (Snyder, 2019) serta pengalaman merasakan Gempa dan Pandemi, serta kontribusi menemani ahli geologi luar negeri yang berkunjung beberapa setelah gempa 7.4 terjadi. Karena tulisan ini merupakan sebuah opini  maka mungkin metode yang digunakan adalah sistimatik dan atau semi-sistimatik review dimana pelaksanaannya adalah mengumpulkan berbagai fakta dan pengalaman terdahulu dan mendeskripsikan sesuai permasalahan yang ingin dibahas.

Sekilas Tentang Gempa Donggala 7.4 dan Covid-19

Sore tanggal 28 September 2018, saya dan keluarga mempersiapkan diri melakukan sholat magrib berjamaah. Anak bungsu saya yang bersekolah di kelas enam sekolah dasar ketika itu telah berangkat ke masjid terdekat. Tiba-tiba terdengar teriakan Allahu Akbar oleh putri dan istri saya yang bersamaan dengan guncangan dahsyat gempa bumi, tepat pada pukul 18.02 sore itu. Masyarakat Palu sebenarnya terbiasa dengan goncangan gempa, namun goncangan kali ini terasa luar biasa.

Pukul 15.00 sore itu terjadi goncangan pertama dengan magnitude 6,0. Demikian juga beberapa menit setelah goncangan utama 7,4 terjadi goncangan susulan bermagnitude 6.1. Saya dan keluarga berusaha ke luar rumah dengan susah payah. Akhirnya kami dan tetangga telah berkumpul di jalan depan rumah. Semua orang berhamburan ke luar rumah. Sesaat kemuidan lampu PLN padam, kompleks perumahan  menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan, orang berlari ke sana ke mari untuk mencari tempat yang dianggap aman. Kebanyakan masyarakat pantai bergegas mencari tempat yang lebih tinggi. Rupanya gempa kali ini diikuti oleh Tsunami dan likuefaksi.

Kejadian gempa dahsyat sore itu bersamaan dengan persiapan Festival Pesona Palu Nomoni dalam rangka merayakan hari ulang tahun Kota Palu ke 40. Salah satu acara yang akan disajikan dalam Festival itu adalah ritual balia, sebuah ritual yang sudah lama hilang dan ingin dikembalikan melalui Festival. Balia adalah kebudayaan masyarakat Kaili yang telah lama ditinggalkan sebagai pengaruh modernisasi agama, namun ingin dibangkitkan kembali di era desentralisasi dan otonomi sebagai identitas lokal dalam tujuan ekonomi dan politik yang sebenarnya merupakan "lorong" kebudayaan menuju masa lampau yang mengaitkan Kaili dan Bugis dalam "ruang perjumpaan" melalui sosok Sawerigading (Safrillah, 2017). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline