Lihat ke Halaman Asli

SYUKRON MAHMUDI

Mahasiswa Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Bahasa, UIN Raden Mas Said Surakarta

Aktivis Mahasiswa PTN & PTKIN Hanya Berhak Teriak "Kampus Adalah Miniatur Jogja"

Diperbarui: 27 November 2024   18:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: AI

Per-hari ini, hampir semua orang Indonesia tak asing dengan nama Prof. Fathul Wahid, S.T., M. Sc. Beliau adalah seorang guru besar sekaligus rektor Universitas Islam Indonesia yang secara fenomenal mengeluarkan surat edaran berupa larangan memanggilnya "Prof". Lantas perbuatan tersebut, Kang Fathul menjadi sorotan media. Lalu pada tanggal 17 September 2024 beliau mengisi podcast mengenai pendidikan di Putcast oleh Mojok melalui kanal Youtubenya.

Di awal-awal podcast dimulai, Kang Fathul terlihat gugup merespon pertanyaan dari Puthut Ea sebagai host saat itu, karena pertanyaan yang dilempar bukan sembarang orang dapat menjawabnya. Untungnya hampir seperempat durasi podcast berjalan, Kang Fathul mulai beradaptasi dan mulai bisa merespon dengan gamblang. Salah satu jawaban Kang Fathul yang paling membuat saya tertarik menonton sampai akhir video, yakni ketika beliau memaparkan soal independensi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Ketertarikan saya atas obrolan Puthut dengan Kang Fathul ialah karena mereka tak pernah menyebut kata PTKIN (Perguruan Tinggi Islam Negeri) di sepanjang podcast-nya. Ya mungkin PTKIN sudah include dengan PTN. Namun, dalam konteks obrolan yang ada di video tersebut sangatlah berbeda dan lebih otoriter tentunya.

Saya ingin ikut nimbrung dengan podcast Putcast Bersama Kang Fathul melalui tulisan ini. Dalam kesempatan ini saya memposisikan sebagai spesialisasi PTKIN. Soal independensi kampus baik PTN maupun PTS di Indonesia memang sangat bahkan lebih merdeka PTS dalam menentukan arah geraknya. PTN masih terkekang oleh istana karena yang pertama, ada campur tangan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Sedangkan PTS dengan leluasa berdiri dengan segala kemandiriannya.

Selanjutnya yang kedua, pemilihan rektor PTN yang bersifat diktatorial. Begitu pula dengan kondisi pemilihan rektor di PTKIN. Alurnya yakni mulai dari penetapan bakal calon rektor sampai pengangkatan rektor terpilih oleh Menteri sebagaimana termaktub di Peraturan Menteri Agama (PMA) no 17 tahun 2021. Lalu apakah mahasiswa, Lembaga perguruan tinggi, atau organisasi mahasiswa ada terlibat dalam proses pergantian rektor kampusnya? Oh, tentu tidak!

Proses pemilihan rektor PTKIN sudah diaakomodir oleh PMA no 17 tahun 2021 yakni melalui Panitia Teknis yang bertugas melakukan penjaringan bakal calon rektor dan Komisi Seleksi yang bertugas melakukan seleksi calon rektor. Beracuan pada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor 3151 tahun 2020, Panitia Seleksi dibentuk oleh rektor yang beranggotakan setidaknya 7 orang terdiri dari dosen dan karyawan, pegawai, atau tenaga kependidikan. Sedangkan Komisi Seleksi yang ditetapkan oleh Menteri yakni terdiri dari pejabat eselon 1 kementerian agama, akademisi perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat.

Intinya, hanya (the one only) mahasiswa PTS yang berhak menyebut dan teriak-teriak bahwa kampus adalah miniatur negara. Sedangkan mahasiswa PTN dan PTKIN hanya berhak menyebut dan teriak-teriak bahwa kampus adalah miniatur Jogja.

Lalu yang terakhir, PTKIN bisa disebut sebagai pelarian terakhir lulusan SLTA yang sudah tak lulus di universitas impiannya atau orang-orang yang berkuliah atas dasar keterpaksaan baik itu dari keluarga maupun dipaksa oleh sesuatu yang lain. Artinya, mayoritas mahasiswa PTKIN adalah orang-orang dengan keadaan pasrah. Jadi, berawal dari kepasrahan tersebut yang akhirnya menjadikan mahasiswa-mahasiswa apatis atas segala yang terjadi. Bahasa gaulnya, let it flow!

Sudahlah lengkap kombinasi antara campur tangan APBD dan APBN di PTKIN, pemilihan rektor secara diktator, dan keadaan mahasiswanya yang apatis membuat PTKIN sangat begitu tunduk atas rezim negara dan tak bisa berbuat apa-apa atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Oleh karena itu, hal ini pun dapat menjadi alasan proporsional jika ditanya mengapa UII yang menjadi pelopor pertama yang menyuarakan keselamatan demokrasi dan konstitusi tempo lalu itu, sedangkan kampus-kampus PTN dan PTKIN menyusul setalahnya.

Dengan menyusulnya PTN dan PTKIN tersebut juga tak aman bagi mahasiswanya; ketua BEM UGM diancam akan dicopot beasiswanya, forum Social Movement Indonesia di UIN Sunan Kalijaga dibubarkan dan mendapatkan penolakan keras oleh rektornya saat itu, dan masih banyak lainnya. Dan saya yakin, keributan-keributan tersebut dijadikan tontonan menarik oleh PTS, khususnya UII pada saat itu. Lucu ya, hehehe.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline