Istana, sebuah bangunan besar nan megah dikelilingi pagar tembok tinggi kokoh adalah imajinasi yang divisualkan. Tempat eksklusif yang tak semua orang dapat mengaksesnya atas nama beda kasta juga merupakan karakter dari istana. Tak lain juga, penjagaan ketat oleh prajurit atau security (satpam) di setiap gerbang masuk dan gerbang keluar istana menjadi alasan tak semua orang, apalagi rakyat jelata dapat menikmati fasilitas tersebut.
Ambil contoh pertama saja di Istana Kepresidenan. Indahnya bangunan tersebut mampu menyaingi kemenawanan masijd Taj Mahal. Cat tembok putih mengkilap serta air mancur di halaman depan ikut menyemarakkan keanggunan bangunan tersebut. Lalu contoh kedua kita ambil case istana Raja di negri monarki. Istana seorang raja, tak kalah menawannya dari istana kepresidenan. Memang secara interior hampir sama, namun yang membedakan yakni bahan dasar dari ornamen yang ada di istana raja lebih hedon daripada istana kepresidenan. Kaca berlapis berlian. Meja beralaskan batu murmer. Bahkan sendok dan garpu ada yang dibuat dari emas.
Lantas apa dengan kemewahan istana raja dan istana kepresidenan tersebut membuat terpesona rakyat biasa lalu ingin mengakses fasilitas mahal tersebut? Mustahil! Atau penduduk di wilayah kampung Rawa dapat berenang di kolam istana kepresidenan? Tidak mungkin! Atau penduduk pinggiran negeri monarki dapat beribadah di kuil istana raja arab? Nihil! Semua ketidakmungkinan tersebut berdasarkan pada istilah yang diciptakan oleh Adam Smith, yakni 'kelas sosial'. Meskipun gerbang dibuka lebar, tak mungkin satupun penduduk biasa yang berani masuk ke dalam tempat mewah tersebut karena mereka sadar bahwa fasilitas tersebut hanya boleh dinikmati oleh orang-orang tertentu saja.
Apakah fenomena serupa hanya terjadi di lingkup seorang kepala negara? Oh tidak. Fenomena tersebut juga terjadi di lingkungan pendidikan, tepatnya kampus. Beberapa hari terakhir, berseliweran flayer shalat Idul Adha bersama di lapangan kampus. Mungkin niat kampus mengadakan shalat Idul Adha bersama di lapangan kampus bertujuan baik ya. Namun dampaknya sangat signifikan terhadap peran mahasiswa itu sendiri.
Sebelum beranjak ke bahasan lebih dalam lagi, kita refleksikan terlebih dahulu hakikat peran mahasiswa. Secara historis, semenjak berhasilnya pemerintahan Kabinet
Pembangunan diruntuhkan oleh mahasiswa, peristiwa tersebut menjadi acuan utama dari slogan 'mahasiswa sebagai agen perubahan'. Ya, agen perubahan adalah bentuk capaian mahasiswa dalam melaraskan kebijakan pemerintah dengan masyarakat luas. Artinya, ketika mahasiswa menciptakan perubahan dengan cakupan yang sangat luas, berarti hubungan mahasiswa dengan masyarakat begitu sangat harmonis.
Dalam simpulan bahwa, adanya hubungan harmonis antar mahasiswa dan masyarakat bermula dari interaksi intens antar keduanya. Salah satu wadah atau media untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat adalah keterlibatan mahasiswa di kegiatan sosial masyarakat, contoh lumrahnya ialah ibadah dalam satu atap. Jika wadah untuk membangun komunikasi antar keduanya tidak ada, maka agen perubahan untuk mahasiswa hanya sebuah bualan belaka.
Hemat saya, kegiatan ibadah momentual seperti halnya ibadah Idul Adha merupakan sebuah medium satu-satunya untuk mahasiswa dapat berinteraksi dengan masyarakat secara langsung dan intens. Karena, momen tersebut tak hanya selesai ketika shalat Idul Adha saja, melainkan keterlibatan mahasiswa dengan masyarakat diromantisasi ketika proses penyembelihan hewan qurban. Maka, jika medium satu-satunya dihalang oleh kampus sendiri atau bahasa halusnya, disediakan oleh kampus, lantas celah mana lagi yang bisa dilewati mahasiswa untuk berinteraksi dengan masyarakat?
ika diterka, respon kampus akan wacana di atas pasti berbunyi, 'kami kan tidak membatasi siapa saja yang dapat mengikuti kegiatan, bahkan ibadah di dalam kampus. Semua orang, entah itu anak presiden, wakil presiden, maupun anak tukang rosok sekalipun kami terbuka'. Ya, itu adalah alibi yang pasti dikeluarkan oleh kampus. Padahal, statement tersebut menandakan bahwa kampus tidak peka sosial. Oleh karenanya, pragraf pertama dari tulisan ini adalah analogi dari sebuah fenomena yang ada.
Hari ini, kampus sudah tak ada bedanya lagi dengan istana raja atau istana kepresidenan. Bangunan mewah, berpagar, dan gerbang utama dijaga ketat oleh satpam. Normalisasi tersebut, yang secara tidak sadar malah berdampak pada konektivitas kampus dengan masyarakat di sekitar. Lalu ungkapan apa lagi yang benar untuk kampus hari ini, kecuali NKK/BKK tak terlihat (invicible). Hufft....
Benar saja apa yang dikatakan Roem Topatimasang dalam bukunya berjudul Sekolah itu Candu, bahwa pendidikan hari ini jauh dari masyarakat. Yang dahulunya, dari sepekan waktu masuk sekolah, ada satu hari yang dikhususkan untuk peserta didiknya berbaur dengan petani di ladang, nelayan di laut, atau bahkan kuli bangunan yang sedang melanjutkan pembangunan sekolah. Namun sekarang, dari sepekan penuh waktu masuk sekolah, hanya ada waktu hari libur (weekend) selama 2 hari, tapi bukan untuk gotong royong dengan masyrakat melainkan diperuntukkan menaklukkan tugas-tugas yang akan disetorkannya hari aktif.
Ya, itu fakta!
Akhirnya, tibalah kita di masa kampus yang tak berfungsi dan mahasiswa yang tak berdaya. Tri dharma perguruan tinggi, yang berbunyi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat hanya sebatas cuitan biasa. Pendidikan yang masih dikomersialisasi, penelitian hasil joki, dan pengabdian masyarakat dihalangi adalah wujud proses keberlangsungan Indonesia Cemas 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H