Gender merupakan sebuah identitas atau stigma sosial berdasarkan apa yang mereka lihat dan yakini. Sedangkan seks tentu sangat berbeda dengan gender. Sex sendiri lebih ke arah biologis, kelamin antara laki-laki dan perempuan atau kodrat Tuhan yang tidak bisa dirubah sejak lahir sampai akhir hayatnya. Maka dari itu, pengetahuan dan pembelajaran tentang Sex & Gender sangat diperlukan, bertujuan untuk menambah wawasan dan menghindari kesalahpahaman tentang definisi antar keduanya.
Di sebuah artikel, detiknews.com melampirkan bahwasanya ada tiga konsep teologi yang mencitranegatifkan perempuan, yaitu perempuan tercipta dari tulang rusuk, perempuan diciptakan hanya untuk memenuhi hasrat, dan perempuan merupakan penyebab jatuhnya adam dari langit kebahagiaan menuju bumi penderitaan. Di Al-Quran, konspirasi seperti tersebut tidak ditemukan secara jelas, jadi pernyataan-pernyataan itu lebih banyak berasal dari Al-Kitab (kitab-kitab suci lain). Sedangkan, di dalam Al-Quran, surat Al-An’am 6:165 secara garis besar menerangkan bahwa penciptaan perempuan dan laki-laki itu tidak ada perbedaannya, melainkan sebagai khalifah dan itupun sejatinya menjadi amanah sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Sedangkan pelecehan sexual merupakan sebuah bentuk pencemaran nama baik dengan sebuah tindakan memalukan atau bisa terjadi dengan perbuatan yang tidak senonoh baik kepada lawan jenis maupun sesama jenis. Pelecehan sexual juga bisa terjadi berupa perkataan dan penglihatan bukan hanya dalam bentuk perbuatan.
Pada pra-kemerdekaan, perempuan sering dipandang rendah dan tak jarang juga mendapatkan perlakuan diskriminatif. Peristiwa tersebut adalah salah satu alasan terciptanya gerakan perempuan atau biasa disebut dengan istilah Nahdlatul Nisa’ yang berarti kebangkitan perempuan. Sejak masa pra-kemerdekaan perempuan bukan hanya melawan penjajah melainkan melawan hukum atau adat istiadat setempat yang bersifat membelenggu perempuan sehingga muncullah sebuah pendekatan pendidikan yang dibuktikan dengan berdirinya Indische Vereeniging yang selanjutnya bernama Perhimpunan Perempuan dan pada tahun 1912 berdirinya organisasi perempuan dengan nama Poetry Mahardika.
Berdasarkan fakta yang ada, pada tanggal 23 Juli 2001-20 Oktober 2004 adalah sebuah saksi bahwa penataan Negara bukan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki saja melainkan Prof. Dr. (HC) Hj. Megawati Soekarnoputri membuktikan keberadaan serta kemampuan perempuan. Di sisi lain, ada juga Apriyani Putri yang mendapatkan juara umum olympiade bulu tangkis ganda di Tokyo dengan pasangannya Greysia Polii, hal tersebut membuktikan bahwa perempuan tidak hanya bisa juara tari, fashion dan memasak saja melainkan menjadi sebagian dari atlet olahraga adalah sebuah ketidak-mustahilan. Dan juga sebaliknya, laki-laki dengan body yang maskulin juga bisa melakukan apa yang biasanya perempuan lakukan. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya Chef dan Koki dunia, diantaranya adalah Chef Arnold dan Chef Juna.
Pada hakikatnya, selain mengetahui perbedaan sex dan gender, tujuan dalam mempelajari seputar perbedaan antara seks, gender, dan pelecehan seksual merupakan sebuah bentuk pengurangan adanya kejadian pelecehan sexual. Karena adanya advokasi gender sendiri adalah sebuah pembelaan gender khususnya pada perempuan yang sering dianggap lemah dan rendah dan sering menjadi objek dari kasus pelecehan sexual tersebut.
Meskipun pelecehan sexual merupakan peerbuatan atau pelanggaran yang begitu serius, sebenarnya pasal di dalam undang-undang KUHP sendiri tidak ada pasal yang menjerat untuk kasus pelecehan sexual namun, di dalamnya dikenal dengan perbuatan cabul yang diatur pada Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Jadi Ratna Batara Munti dalam artikelnya yang berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” mengartikan bahwa semua tindakan yang berupa melanggar kesopanan atau kesusilaan adalah termasuk dalam pasal perbuatan cabul.
Pelaku pelecehan sexual mayoritas adalah laki-laki sedangkan perempuan sebagai objek dari perbuatan asusila dan memalukan tersebut. Berdasarkan sebuah penelitian yang mencatat dari 100% kasus pelecehan sexual, 65% - 80% pelakunya adalah laki-laki dewasa awal. Jadi bisa disimpulkan bahwa kriteria yang menyebabkan pelaku berbuat perbuatan asusila atau memalukan adalah bukan hanya berdasarkan dari sebuah suku, budaya, etnis, norma ataupun agama. Akan tetapi usia juga berdampak mempengaruhi dalam adanya kasus pelecehan sexual tersebut.
Adapun pernyataan Poerwandari dalam bukunya yang berjudul Luhulima, terdapat tiga faktor yang mendorong pelaku pelecehan sexual, yaitu yang pertama adalah faktor internal (merasa iseng) yang secara individu mengalami gangguan. Yang kedua adalah karakteristik korban yang berkaitan dengan usia, cara berpakain maupun tindak laku korban yang dapat mengundang hasrat pelaku. Dan yang ketiga adalah struktur sosial yang berdasarkan pada budaya patriarki dimana laki-laki dianggap lebih superior daripada perempuan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara.
Selanjutnya, pengetahuan kesetaraan gender juga perlu untuk didalami dan selalu diingat. Karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan dengan embanan amanah, tugas dan pekerjaan yang sama meskipun beda dalam karakteristiknya (maskulin dan feminis). Kesadaran tersebut juga meliputi beberapa aspek diantaranya adalah sebuah partisipasi dan ikut juga berperan dalam melestarikan dan mewujudkan lingkungan ramah gender. Dalam hal tersebut juga bisa digambarkan dengan tindakan yang tegas dan bijaksana dalam menangani sebuah kasus seperti kasus pelecehan sexual yang terkadang juga dianggap sebagai kasus yang lumrah terjadi di sebagian kalangan masyarakat. Padahal, kasus-kasus seperti itu merupakan kasus yang sangat berbahaya baik dari kesehatan dan kebugaran fisik maupun dari segi pencemaran nama baik.