Lihat ke Halaman Asli

Berebut Kuasa Kelola Desa

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keharmonisan dan kekompakan kabinet kerja Jokowi-JK saat ini sedang diuji menyusul Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang terlibat polemik memperebutkan hak dan wewenang dalam mengelola desa untuk dapat menjadi tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing instansinya. Kemendagri merasa wewenang karena alasan tugas pokok dan fungsi kementerian tersebut mengurus pemerintahan dari pusat hingga daerah. Kementerian desa, daerah tertinggal dan transmigrasi juga bukan tanpa alasan mengingat salah satu fungsi kementerian tersebut yaitu memberdayakan pembangunan desa.

Persaingan antar instansi pemerintah dalam berebut wewenang di negeri ini sebenarnya bukan cerita baru. Istilah ego sektoral tentu sudah sangat familiar dalam istilah kita yang menggambarkan tumpang tindih peran, tanggung jawab dan wewenang institusi lembaga negara. Makum saja, dibalik kewenangan itu ada kuasa anggaran yang bisa dikelola untuk apa yang menjadi wewenang instansi itu.

Akan tetapi, khusus prihal perebutan wewenang mengelola desa menjadi menarik dan perlu kiranya perhatian khusus presiden untuk turun tangan. Sebagaimana kita ketahui bersama, desa saat ini menjadi sesuatu ‘seksi’ untuk diperebutkan pemerintah pusat dalam hal pengelolaannya. Ini tentu lagi-lagi terkait langsung dengan irisan kue APBN yang tidak menutup kemungkinan rawan dimainkan. Irisan kue APBN tersebut adalah Anggaran Dana Desa (ADD) sebagai implementasi amanat UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa dan mulai berlaku terhitung tahun anggaran 2015 dengan alokasi mencapai kira-kira 9,06 Triliun untuk 73 ribu desa se-Indonesia.

Berebut Wewenang

Anggaran dana desa (ADD) seperti dikahwatirkan banyak pihak memang diilustrasikan seperti dua mata pedang. Bisa menjadi senjata yang menyelamatkan, tetap tidak menutup kemungkinan juga bisa menjadi senjata yang mencelakakan. Pada satu sisi pemberian alokasi anggaran dana desa langsung dari APBN dapat menjadi solusi percepatan pembangunan dari tingkat akar rumput pemerintahan, namun disisi lain pengelolaan dana tersebut rawan penyimpangan bukan saja karena niat tapi juga karena kelemahan dan ketidak mengerttiaan dalam proses perencanaan dan pelaporan penggunaanya.

Berangkat dari persoalan diatas, perseteruan berebut wewenang pengelolaan desa antar 2 institusi kementerian itu nampaknya juga tidak terlepas dari kepentingan politik menteri dengan dua latar belakang partai yang berbeda. Meskipun pemerintah pusat tidak mengelola secara langsung dana desa tersebut karena proses penyalurannya langsung dari pemerintah pusat melalui kementerian keuangan dan didistribusikan via rekening pemerintahan kabupaten/kota, akan tetapi perebutan wewenang instansi pengelolaan desa tidak terlepas dari dengan investasi politik dan pencitraan partai sang menteri pada momen-momen politik termasuk pemilu 2019 nanti.

Tentu tidak berlebihan analisa terebut apalagi jika melihat bagaimana pada pemilu 2014 lalu partai politik berlomba-lomba saling mengklaim paling berjasa dalam menggolkan UU desa di parlemen untuk meraih simpati masyarakat khususnya di wilayah pedesaan. Padahal jika merunut pada perjalanan UU tersebut, sudah kurang lebih 7 tahun disuarakan oleh banyak pihak dengan segala macam pro dan kontranya sebelum akhirnya semua partai politik menyetujuinya menjadi sebuah produk undang-undang pada 13 desember 2014 lalu.

Jangan Mengabaikan Tujuan Utama Undang-undang

Politisasi undang-undang desa dalam hal ini turunannya adalah perebutan wewenang pengelolaan pemberdayaan desa melalui ADD memang sulit untuk dihindari mengingat desa adalah merupakan basis masa. Pemerintahan desa adalah garda terdepan yang langsung mengurusi masyarakat pada wilayah akar rumput. Menguasai desa berarti juga mengusai basis masa di akar rumput, membuka akses langsung peran politik dimasyarakat tanpa sekat dan alur birokrasi tentu adalah investasi politik besar yang kemudian dapat dijadikan jaringan politik untuk kepentingan-kepentingan yang lebih besar pula.

Pencitraan dan investasi politik menteri pengelola desa yang notebene berlatar belakang partai sejatinya adalah hal lumrah dan manusiawi dengan catatan bahwa tidak melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Akan tetapi, akan menjadi masalah yang serius jika dalam prakteknya justeru terjadi berbagai hal seperti yang banyak dikwahatirkan semua pihak yaitu korupsi, manipulasi dan praktek-praktek penyalahgunaan wewenang sehingga tujuan dan amanat utama undang-undang desa malah terabaikan yaitu kesejahteraan masyarakat melalui peluang desa untuk mengatur penerimaan yang merupakan pendapatan desa sebagaimana diatur dalam pasal 72 undang-undang tersebut.

Unsur-unsur penyalahgunaan wewenang tersebut termasuk menjadikan ADD sebagai alat politik partai sang menteri tidak hanya dalam mendapatkan pundi-pundi keuangan partai, tetapi juga mengkapitalisasi akses maupun sumber daya desa hanya untuk kepentingan pribadi kelompok dan golongan tertentu saja.

Ada beberapa poin krusial yang bisa saja menjadi celah terjadinya pelanggaran hukum dalam mengelola ADD yaitu antara lain soal alokasi besaran dana yang disesuaikan dengan angka kemiskinan dan jumlah penduduk dan kedua soal aturan baku pelaporan pengunaan dana ADD sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini dapat memicu kontroversi dan kelemahan sehingga banyak kepala desa atau aparat desa yang masuk bui.

Pentingnya Peran Aktif Semua Pihak

Dengan besarnya potensi penyelewengan dan pelanggaran hukum lainnya, sudah sepatutnya pemerintah pusat baik Kemendagri maupun Kemendes PDTT agar segera mengakhiri polemik perebutan kekuasaan dan wewenang pengelolaan desa dan segera merumuskan bersama aturan atau regulasi meminimalisir penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan amanat undang-undang desa tersebut baik ditingkat pemerintahan pusat maupun daerah terlebih pemerintahan desa.

Perlu banyak hal dan perangkat bukan sekedar persoalan siapa yang paling berwenang dalam mengelola desa agar tujuan utama adanya undang-undang desa tersebut dicapai bersama. Pendampingan pemerintahan dan aparat desa adalah pekerjaan penting dalam konteks pengawasan agar berjalan transparan. Selain itu, semua pihak utamanya masyarakat dapat diberikan ruang agar berperan aktif mencegah segala macam potensi penyelewengan serta pelanggaran. agar penggunaan dana tersebut transparan.

Untuk itu, presiden harus segera bersikap menentukan kementerian mana yang berhak mengatur desa agar polemik, tumpang tindih dan lain sebagainya segera diakhiri terlebih sejak perubahan nomenklatur kementerian dan lembaga negara pada era pemerintahan sekarang, belum ada peraturan atau keputusan presiden yang mengatur dengan jelas tupoksi masing-masing lembaga negara dan kementerian dengan nomenklatur baru khususnya pada wilayah kerja dan wewenang yang bersentuhan dengan instansi lembaga negara satu dengan yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline