Lihat ke Halaman Asli

Diari Santri: #9 Enam Orang Santri Pergi ke Kota

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dari tujuh hari yang ada dalam seminggu, hari yang paling dinanti-nantikan oleh para santri di pondok ini adalah hari Kamis!! Ya, hari Kamis menuju malam Jumat. Dan untuk ke sekian kalinya hari Kamis sore yang begitu indah dan dinanti kembali hadir. Sebagian besar santri-santri kelas I sedang berkemas-kemas. Keluarganya datang menjemput mereka untuk diajak liburan di rumah masing-masing. Hari Jumat adalah libur sekolah formal. Santri-santri dibolehkan pulang dua minggu sekali. Artinya, kalau Jumat ini mendapat izin, maka Jumat berikutnya tidak bakal diberi izin walau menangis darah sekalipun.

Jenal Amin memeriksa daftar santri-santri yang meminta izin dari asrama Ibnu Khaldun II. Beberapa nama kemudian dicoret karena telah mendapat izin pulang pada hari Jumat sebelumnya. Untuk urusan izin pulang, Jenal Amin memang termasuk salah seorang pembina yang paling ketat melakukan sensor. Rekomendasi seorang Pembina kamar sangat diperhitungkan oleh pimpinan pondok dalam mengeluarkan ijin.

Beberapa orang tua santri yang menginginkan putranya pulang ke rumah setiap minggu, berulang-ulang melakukan lobi atau pendekatan ke Jenal Amin. Misalnya dengan cara menitipkan makanan melalui putranya. Namun Jenal Amin tetap konsisten dengan prinsipnya. Yaitu, makanan diterima, namun ijin tetap berlaku sesuai aturan: ‘Sekali dalam dua minggu’.

Dan hari ini terasa begitu indah. Ajakan Amirul untuk pulang liburan ke rumahnya di kota tidak disia-siakan begitu saja oleh kami; Wisnu, Charya, Ridwan, Tunas dan saya Ahmad Sayid. Kami lalu berkemas-kemas serapi mungkin. Tidak lupa menyemprotkan minyak wangi ke sekujur tubuh kami. Minyak wangi kepunyaan Wisnu. Jadilah kami sekelompok pemuda tanggung dengan aroma tubuh yang sama. Wajah-wajah kami kelihatan ceria dan bersemangat. Kecuali Tunas. Anak itu terus saja mengutuk si sandal terbang. Sandal terbang yang telah memangsa rambutnya menjadi tokka tidak beraturan seperti saat ini. Dia merasa bahwa sandal terbang telah merampas haknya untuk mengecengi para gadis yang berada di luar sana.

Sejak siang Tunas telah mempersiapkan diri berusaha mencari pinjaman topi berkeliling asrama. Akhirnya berkat kegigihannya dia berhasil juga mendapat pinjaman dari Saman, salah seorang santri kelas I di asrama Raja Faisal. Sebuah perjuangan dengan motivasi tingkat tinggi.

Jam empat sore bakda Ashar. Suasana pondok semakin semarak. Piket harian menjadi sibuk berteriak-teriak melalui mikrofon memanggil santri-santri yang kedatangan penjemput atau tamu yang datang sekedar membesuk. Sementara santri-santri lainnya yang betah berada di pondok karena tidak memiliki sanak keluarga di kota, memilih untuk berolah raga.

Sementara itu enam orang pemuda berpenampilan necis berjalan keluar meninggalkan gerbang pondok. Pete-pete sejenis angkutan kota dengan musik hingar bingar siap mengantarkan mereka ke kota. “Enam orang santri berangkat ke kota”. Begitulah judul puisi sore itu. Sebuah puisi dengan bait-bait kebebasan sesaat melambungkan mimpi-mimpi mereka kepada realita kehidupan sebenarnya.

Duduk di pojok bagian belakang angkot, saya terus memandangi pepohonan yang seperti berlari berkejaran. Sementara lima orang kawan lainnya duduk dalam kebisuan. Kami seperti berada di dunia baru dengan kehidupan nyata yang siap menghadang. Pelajaran formal, kurikulum pondok, praktek berbahasa asing serta bentakan-bentakan dari kakak qismul amni seolah lenyap dalam sekejap. Kami seakan dituntun untuk mempraktekkan ajaran-ajaran yang telah deberikan selama beberapa bulan berada di dalam pondok. Namun kebebasan yang ada, seolah menafikan semua hal yang telah mengisi rongga rongga kepala dan hati kami beberapa bulan belakangan ini.

Waktu shalat Magrib tiba, degup jantung tiba-tiba berpacu, ‘ayo pak sopir kebut angkotnya kami takut ketinggalan waktu shalat Magrib yang sangat singkat sekali waktunya itu’. Namun dari balik sisi hati yang lain sebuah bisikan baru tiba-tiba hadir. ‘Persetan dengan sholat Magrib, toh tidak ada qismul amni yang bakal memberimu hukuman karena tidak melaksanakan shalat. Saat ini nikmati saja kebebasanmu! Kapan lagi kamu bisa menikmati kebebasan yang menyenangkan seperti ini’.

Dalam keadaan dilema semacam itu, jiwa yang muda dan hati yang bimbang cuma bisa dipengaruhi oleh salah seorang yang memiliki ketetapan hati yang berada di antara kami. Pengaruh itu bisa saja berupa ajakan kepada kebaikan bisa juga ajakan kepada kemungkaran.

“Shalat Magrib nya nanti saja setelah tiba di rumah aku ya! Tanggung sekali nih waktunya.” Amirul mencoba memecahkan kebisuan.

“Sekarang sudah jam enam lewat, kalau kita menunggu sampai tiba di rumah kamu Rul, kita bakal ketinggalan waktu sholat magrib. Kita berhenti saja dulu di mesjid terdekat. Setelah itu kita lanjutkan lagi perjalanannya.” Ucap Ridwan dengan bibir bergetar karena ia takut kehilangan waktu shalat Maghrib.

Karena tidak ada respon dari Amirul, Ridwan yang dari tadi gemetar di dalam hatinya memerintahkan sopir angkot melaju cepat, semakin ketakutan dengan suasana langit yang sudah mulai gelap, itu artinya waktu maghrib tinggal sedikit lagi. Dia ketakutan ketinggalan waktu sholat magrib dengan ketakutan yang melebihi ketakutan ketinggalan kereta dengan karcis yang telah berada di tangan.

“Tanggung Rid, sebentar lagi kita nyampe kok.” Masih dengan nada santai Amirul menanggapi permintaan Ridwan.

Selanjutnya Ridwan hanya bisa diam seribu bahasa, saya yakin dia menyesal ikut pergi ke kota. ‘baiklah Amirul, you are the leader’ karena kamulah tuan rumah perjalanan ini. Begitu kata hatinya.

Tiba di rumah Amirul waktu sudah menunjukkan pukul 18:45. Waktu maghrib telah berlalu. Ridwan sudah mulai uring-uringan. Ia menemukan dirinya merasa sangat berdosa. Dia sangat menggaris bawahi pesan ustaz Genjot bahwa dosa besar yang sangat mudah dikerjakan adalah meninggalkan shalat lima waktu. Dan dia baru saja melakukan itu. Sementara dia menyakasikan Amirul dan kawan-kawan lainnya tidak merasakan keresahan apa-apa sedikitpun. Waktu makan malam berlalu begitu saja. Tidak ada suara,celoteh atau canda sedikitpun di atas meja makan. Terlihat ketegangan terselubung antara Amirul dan Ridwan. Hidangan beraneka ragam yang lezat-lezat disuguhkan orang tua Amirul tak mampu mengikis gunung es yang menjulang di antara kedua anak itu. Wajah ridwan sudah mulai berlipat-lipat. Meskipun demikian dia terus saja menyendok nasi pelan-pelan ke dalam mulutnya.

Saya, Wisnu, Charya dan Tunas meninggalkan meja makan terlebih dahulu. Kami naik ke atas balkon di lantai 3 paling atas rumah Amirul. Di samping antena parabola yang kira-kira berdiameter satu setengah meter kami berdiri memandang lelampuan yang berkedip-kedip di seantero bumi Makassar. Pemandangan malam yang begitu memberi inspirasi bagi keempat santri yang baru saja lepas sesaat dari kehidupan pondok selama enam bulan yang begitu nenegangkan dan memberi nuansa baru bagi kehidupan mereka. Andai setiap malam selalu begini, begitu menyenangkannya hidup ini. Beban harus duduk belajar bahasa yang membosankan di asrama selepas santap malam tidak menggelayut di pundak. Kewajiban menghadiri pengadilan bahasa atau qismul amni setiap jam sembilan malam lenyap seketika, Tidur malam yang tak pernah lelap karena rasa takut dicambuk zorro atau kena lemparan sandal terbang menjelang subuh tinggal kenangan. Ah… alangkah nikmatnya hidup ini jika semua itu memang tidak ada lagi.

Malam semakin larut,kami berempat masih berdiri memandangi suasana malam yangindah terhampar di bawah sana. Langit nampak cerah dengan bintang gemintang yang berpendar-pendar dengan kerlap kerlipnya yang genit. Skelompok bintang berjumlah sebelas buah sedang membuat formasi “V” mungkin artinya victory. Mereka turut berbahagia atas kebebasan kami malam ini. Aku membalasnya dengan mengacungkan telunjuk dan jari tengah membentuk huruf “V” juga. Victory to you too. Dan kami mulai tersadar bahwa Amirul the leader of the trip dan Ridwan tidak kunjung menyusul naik ke atas balkon. Lantas kemana gerangan kedua anak itu?

“Saya tengok ke bawah dulu ya!”

Aku turun menuju ke meja makan berharap menemukan Amirul dan Ridwan di sana. Tapi ruangan makan sudah gelap. Aku berjalan ke kamar Amirul dimana kami menyimpan tas-tas kami sebelumnya ketika pertama kali tiba di rumah ini. Tapi kamar itu juga kosong melompong. Aku turun ke lantai dua menuju ruangan televisi. Di sana hanya ada Ibu Amirul dan kakak Amirul yang baru saja pulang dari Manila sedang duduk menonton televisi.

“Amirul ada Bu?” Tanya saya pelan ke Ibu Amirul.

“Rul? Bukannya bersama kalian?”

“Tidak Bu. Kami terakhir berasama dia pada waktu makan malam tadi.”

Ibu Amirul kelihatan was-was.

“Wah… jangan-jangan. Anak itu!”

“Bi, Rul kemana?”

Ibu Amirul berteriak ke asisten rumah tangga yang sedang mengangkat pakaian yang habis di seterika.

“Tidak tahu Bu.” Asisten itu menggelengkan kepalanya.

Dengan wajah cemas, Ibu Amirul turun dan berlari ke garasi.

“Masya Allah, mobil kemana?”

“Pasti dibawa anak itu. Dia kan belum bisa menyetir. Robin! Cari adikmu! Kalau ada apa-apa. Bapak kamu pasti mengamuk lagi.

“Robin yang lagi asyik menonton TV dengan malas-malasan menyeret langkahnya dan turun menghampiri ibunya.

“Ada apa sih Bu? Sebentar lagi anak itu pasti juga kembali.”

“Ibu tahu. Tapi bagaimana kalau dia ditabrak atau malah menabrak orang?”

Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Ibu Amirul buru-buru berlari menghampiri pagar. Tangannya menggeser pintu pagar. Betul saja. Sebuah wajah nongol dari balik jendela sedan. Amirul! Ibunya lalu membuka pintu mobil dan menyeret tangan pemilik wajah itu keluar dari sedan.

“Sudah berkali-kali Ibu bilang, jangan menyetir sebelum kamu berumur 19 tahun.”

Tangan ibunya lalu mencubit paha Amirul keras-keras. Kontan Amirul menjerit sekuat tenaga. “Ampun Bu! Tidak lagi deh! Ini terpaksa karena teman Rul yang satu lagi pergi begitu saja. Rul berusaha menyusulnya tapi anak itu lenyap entah kemana”

Ridwan? Ridwan pergi? Pergi kemana?

Aku lantas berlari ke kamar atas yang berada di lantai tiga. Aku memeriksa tas yang berjejer satu demi satu. Aku menghitungnya. Ada 5 buah. Kemana tas yang satunya lagi? Berarti Ridwan pergi dengan membawa tasnya. Mau kemana anak itu? Bukankah dia tidak punya sanak saudara di kota ini?

Segera aku berlari ke atas balkon. Di sana Wisnu, Charya dan tunas menyambut dengan wajah tegang. “Ada apa Sayid? Kenapa mukamu sepucat itu?”

“Ridwan pergi. Dia membawa tasnya.”

“Mengapa tidak kamu cegah?”

“Amirul sudah menyusulnya. Tapi anak itu tidak ditemukan.”

Charya mulai menampakkan wajah cemas. Wisnu cuek, dan Tunas mulai terkulai lemas.

“Kita harus mencarinya. Dia tidak punya saudaradi kota sebesar ini.”

“Paling dia pulang ke pondok.” Wisnu menimpali.

“Kalau ada apa-apa dengan anak itu, kita berlima yang menanggung resikonya.” Charya nampak panik, dan Tunas mulai menangis.

Berempat kami berlari ke bawah menyusul Amirul. Tapi rupanya Amirul sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Anak itu sedang mendapat hukuman berat dari Ibunya. Tidakboleh kemana-mana, mendapat pengawasan ketat dari kakaknya Robin, bahkan terancam ditarik dari pondok karena susah dikontrol oleh kedua orang tuanya. Tindakannya menyetir dianggap sangat membahayakan bagi dirinya bahkan bagi orang lain.

Suasana makin mencekam. Kami berempat belum pernah menghadapi situasi semacam ini, Amirul sang tuan rumah dan sekaligus the leader of the trip yang kami andalkan malah mendapat hukuman kurungan rumah. Rencana untuk berlibur dan jalan-jalan ke kota menjadi berantakan.

“Malam ini apa kita harus menginap di rumah Amirul atau melakukan pencarian kemana Ridwan pergi?” Charya mulai memecah kehengingan di antara kami.

“Kalau kita tidak menemukan Ridwan malam ini, atau paling tidak mengetahui keberadaan anak itu, kita tidak akan bisa tidur dengan tenang.” Ucapku kemudian.

“Tidak usah dicari segala. Kita kan juga belum mengenal situasi kota sebesar ini. Bisa-bisa anak yang hilang bertambah menjadi lima orang.” Wisnu kelihatan sangat gusar dengan kecemasan kami.

Tunas tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya diam menunggu keputusan yang akan diambil. Sesekali ia merengek mengajak pulang kembali ke pondok.

“Kita minimalisir resiko. Saya dan Sayid akan melakukan pencarian. Wisnu dan Tunas tidur di sini di rumah Amirul. Kemungkinan besar resiko anak yang hilang bukan lima orang, tapi tiga orang.” Akhirnya Charya menarik tanganku untuk pergi mencari Ridwan.

Tapi Tunas tiba-tiba menjerit, dia meminta untuk ikut kemana aku dan Charya pergi. Sementara Wisnu tidak bisa berbuat apa-apa selain ikut bersama kami. Akhirnya kami berempat mengambil tas-tas kami, pamit ke Ibu Amirul dan pergi melakukan pencarian.

Pukul 22:00 Wita. Jalan mulai lengang. Meskipun kota besar, namun keramaian di kota ini hanya bisa terlihat di jalan-jalan protokol. Sementara di jalan-jalan konektor sudah mulai terlihat sepi. Kami mulai mencari Ridwan dengan menggunakan feeling, kira-kira kemana langkah kaki Ridwan dengan perasaan emosi yang membuncah setelah berseteru dengan Amirul. Kemungkinannya 20 persen kembali ke pondok, 30 persen menuju ke pusat kota, dan 50 persen lainnya dia masih berada si sekitar kompleks perumahan Amirul. Kemungkinannya dia berada di mesjid terdekat.

Perhitungan yang matang. Karena setelah dua kali belokan, kami menemukan sebuah mesjid dengan lampu yang masih menyala remang-remang. Nyalanya kira-kira 15 Watt. Ada diskusi atau semacam pengajian kecil di tengah-tengah mesjid. Beberapa orang jamaah duduk melingkar. Di tengah mereka sedang duduk seorang tua yang sepertinya sedang memberikan kajian ilmu.

Kami berusaha memeriksa ke dalam. Berusaha mencari seorang anak kecil di antara jamaah. Di keremangan malam kami berenam yang berada di luar mesjid tidak terlihat oleh jamaah yang sedang serius mengikuti pengajian. Pengajian di atas pukul 22:30 memang kurang lazim. Sebab biasanya pengajian dilakukan selepas maghrib atau selepas Isya. Itupun tidak pernah lebih dari pukul 21:00.

Sejenak keanehan terjadi. Cuma aku yang bisa merasakannya. Orang tua yang duduk bersila di tengah jamaah pantatnya tidak rapat ke lantai mesjid. Ini halusinasi atau bukan tetap saja membuat bulu kudukku merinding. Aku melirik ke arah Charya. Rupanya Charya pun menyaksikan hal yang sama.

“Ini pengajian yang tidak biasa.” Aku berbisik ke telinga Charya. “Kalau Tunas dan Wisnu tidak menyadarinya, sebaiknya kita diam saja. Kalau Tunas pingsan kita juga yang repot.”

Charya mengangguk. “Apa sebaiknya kita meninggalkan tempat ini? Ini malam jumat. Saya yakin mereka bukan manusia biasa macam kita” Charya pun sudah tidak sanggup menahan rasa takut yang datang menyerangnya tiba-tiba.

“Kita tinggalkan tempat ini pelan-pelan. Jangan ada suara.”

“OK” jawab Charya.

“Gimana!!! Ridwan ada di sana tidak?!!!” Tiba-tiba suara Wisnu setengah berteriak kearah kami yang sedang mengintip melalui jendela mesjid.

Jamaah pengajian serentak menoleh kearah jendela dimana aku dan Charya sedang mengintip. Sekilas aku melihat wajah-wajah itu pucat pasi putih seputih kapas. Sementara orang tua yang ada di tengah-tengah mereka menghilang. Jamaah lainnya pun juga ikut lenyap. Dan lampu mesjid yang semula remang-remang tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita.

Charya sudah tidak sanggup lagi menahan rasa takut. Ini bukan halusinasi. Anak itu lantas berteriak dan berlari sekuat tenaga. Aku juga melakukan hal yang sama. Bedanya kalau Charya berlari ke arah utara, maka aku berlari ke arah selatan. Sementara Wisnu berlari memutar seratus delapan puluh derajat dengan tiba-tiba dan menabrak pohon kelapa diapun jatuh terkulai lemas, Tunas sudah tidak nampak lagi. Dalam kegelapan tidak ada yang melihat lagi anak itu. Kami berempat menjadi tercerai berai.

Arah selatan adalah bukan arah yang benar. Lepas dari penampakan yang tidak biasa, saya justru jatuh dalam kejahatan yang lainnya. Inilah ketakutan yang sebenarnya. Karena pelakunya adalah manusia. Tepat di persimpangan saya dihadang beberapa orang kelompok anak muda yang sedang mabuk. Saya dipalak habis-habisan oleh mereka. Karena saya tidak membiarkan harta saya mereka peroleh dengan mudah, sayapun berusahaberkelit dan berlari sekuat tenaga. Tapi mereka berhasil merampas tas yang berada di selempanganku. Habislah harta benda saya malam ini. Baju-baju andalan, celana andalan dan perlengkapan mandi telah berpindah tangan ke tangan para berandalan itu. Yang saya syukuri adalah dompet yang berisi beberapa lembaran ribuan serta kartu siswa masih sempat saya selamatkan. Dan yang paling saya syukuri adalah jiwa saya masih bisa saya selamatkan. Terkadang dalam musibah pun kita harus tetap selalu bersyukur.

Lima belas menit berlari saya berhenti sejenak untuk menangis. Dalam kegelapan di suasana malam yang lengang dan hening, aku merasa terlalu khawatir, gemetar dan takut sekali. Aku letih, lemah dan sahabat-sahabatku hilang lenyap entah kemana. Aku terduduk di sisi jalan berusaha menenangkan perasaanku yang bercampur aduk. Aku tidak sanggup lagi berfikir normal, kepalaku pusing, dunia seolah berputar dan bintang-bintang kecil menari-nari di atas kepalaku. Kemudian aku tidak merasakan apa-apa lagi. Posisi duduk berubah menjadi posisi menyandar, selanjutnya posisi menyandar berubah menjadi posisi berbaring terus terlentang dan selanjutnya terkapar.

Azan subuh menggema. Aku tersentak. “Zorro atau sandal terbangkah yang bertugas malam ini?” kebiasaan untuk bangun sebelum azan subuh adalah mutlak. Melihat aku tidak menemukan salah satu di antara keduanya aku kembali merasa takut. “Ya Tuhan semoga salah seorang di antara zorro atau sandal terbang berdiri di sisiku subuh ini.” Karena itu artinya aku sudah berada kembali di pondok. Kalau salah seorang di antara mereka tidak membangunkanku, itu artinya jiwaku masih terancam. Itu artinya saya masih berada di tempat yang belum saya ketahui. Di tempat yang asing dan tidak aku kenal. Aneh berdoa merinduan kehadiran zorro atau sandal terbang.

Azan subuh kali ini gemanya berbeda dari biasanya. Merdu dan syahdunya juga sangat jauh berbeda dari yang biasa aku dengar. Itu bukan suara Nuku muadzin kelas 1 yang saya anggap suaranya mungkin mendekati suara Bilal muadzin pertama yang pernah ada. Muadzin kali ini suaranya agak berat dan kurang bertenaga. Beberapa tempat yang harusnya didengungkan dilompati begitu saja. Muadzinnya persis seperti suara seorang tua penjaga mesjid di kampungku pak Doja namanya. Apakah aku berada di kampung halamanku bersama Ibu dan saudara-saudaraku?

Pak Doja yang saya kenal di masa kecil adalah orang tua yang sudah renta, kurus, bungkuk dan berkopiah tua hitam usang yang menenteng karung kecil di punggungnya. Pekerjaannya menjaga mesjid dan berkeliling selepas isya ke setiap rumah-rumah untuk mengambil jatah semangkuk kecil beras yang sudah disiapkan para warga di depan pintu rumah masing-masing Dalam bahasa bugis doja adalah sebuah kata kerja yang berarti begadang. Mungkin karena setiap malam dia begadang, maka orang-orang dulu memanggilnya pak Doja. Setelah berkeliling di sekitar kampung mengambil jatah beras, Pak Doja lalu kembali ke mesjid untuk beristirahat dan bangun di subuh hari untuk melantunkan azan subuh.

Betulkah suara azan kali ini adalah suara Pak Doja yang ada di kampungku? Sejenak aku merasakan dejavu yang luar biasa. Bearada di kampung halaman.

Begitu tersentak bangun dan tidak menemukan zorro ataupun sandal terbang, sejenak aku merasakan kekecewaan sesaat. Bahwa saat ini aku tidak berada dalam pondok. Akan tetapi suara azan kali ini walaupun agak berat dan kurang bertenaga, aku merasakan bahwa aku berada di suatu tempat yang tidak asing dan sangat kukenal. Kampung halaman. Kampung halaman dimana aku bermain dan mengaji bersama kawan-kawan kecilku. Bermain di halaman mesjid, bersenda gurau, menukarkan sandal-sandal orang dewasa satu sama lainnya, yang kiri dan kanan kemudian bersembunyi melihat mereka sibuk mencocokkan sandal yang benar ketika keluar selesai melakukan shalat jamaah.

“Dia sudah bangun.” Sebuah suara perempuan tua terdengar lirih dan pelan.

“Iya. Tapi jangan diganggu dulu. Biarkan dia duduk dengan sendirinya.” Terdengar jawaban dari seorang laki-laki tua yang juga seolah nyaris tak bisa didengar. Suaranya dipelan-pelankanseolah takut terdengar oleh orang lain yaitu aku.

Aku terbangun. Aku sedang tidak berada di kampung halaman. Aku berada di sebuah ruangan sempit, remang dan dingin menusuk hingga sum-sum tulang. Di sebelah tempat aku tertidur tadi, berjejer ember hitam bekas mencuci piring atau gelas. Di balik tirai dari kain bekas iklansebuah merek kopi terkenal, ada dua buah meja panjang yang di pasang sejajar. Bangku panjangnya telah diangkat ke atas meja pertanda warung itu sudah tutup. Setelah aku terduduk di atas sebuah dipan yang sudah mulai reot, secangkir minuman hangat beraroma jahe dengan rempah-rempah yang kental dihidangkan tepat di hadapanku. Lalu sebuah bungkusan nasi ketan yang dibungkus menggunakan daun pisang dengan taburan kelapa kering berwarna coklat muda disodorkan ke hadapanku.

“Makan dulu, kamu sangat lemah. Songkolo dan sarabba itu akan memulihkan tenagamu.” Ibu tua itu mempersilahkanku menyantap makanan pemberiannya.

Sebenarnya aku tidak biasa bangun langsung makan seperti ini. Setidaknya sejak enam bulan terakhir ini. Kata ustaz Genjot, yang membedakan manusia dengan ayam ketika bangun pagi adalah: ayam bangun, berkokok dan mencari makan. Sedangkan manusia jika bangun, langsung mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadah shalat. Jika kamu bangun langsung makan, lantas apa bedanya kamu dengan ayam-ayam itu?

Tapi untuk kasus saat ini, setidaknya harus diberikan perkecualian. Karena aku tidak sanggup berdiri. Aku hanya terduduk diam memperhatikan suasana sekelilingku. Aku berada dimana dan bersama siapa aku belum sepenuhnya mengerti. Sampai si Ibu tua datang menghampiri.

“Suami saya menemukanmu tergeletak di sisi jalan, dia lalu membopongmu kemari.”

Ibu tua itu lalu menceritakan bahwa dirinya dan suaminya adalah penjual songkolo bagadang yang sehari-harinya berjualan dari jam 10 malam hingga jam 4 pagi. Dinamakan songkolo bagadang karena jualan pokoknya adalah songkolo sejenis makanan yang terbuat dari beras ketan hitam atau putih dan dibungkus dengan menggunakan daun pisang. Bagadang mungkin karena konsumennya hanya diperuntukkan bagi mereka yang begadang. Atau mungkin juga karena pedagangnya yang harus begadang, atau bisa juga karena songkolonya sendiri yang begadang.

“Anak ini sendiri siapa?” Ibu itu lalu menanyakan siapa diriku.

Aku hanya membisu, aku tak bisa memperkenalkan siapa diriku saat ini. Yang ingin segera kuketahui adalah di mana kawan-kawanku yang lainnya? Apakah mereka juga menemukan penolongnya sepertiku saat ini?

“Kalau Anak belum bisa bicara, sebaiknya minum dan habiskan dulu makananmu. Saya dan Bapak akan berkemas-kemas. Sebentar lagi matahari akan muncul, kami harus pulangke rumah.”

***

Charya berlari ke utara. Jalan yang sesungguhnya dipilihnya secara spontan karena nalurinya tidak bisa terkendali dengan benar. Wajah-wajah putih pucat yang dilihatnya baru saja membuatnya kalang kabut. Pemandangan pertama dalam hidupnya. Sangat menakutkan. Dia terus berlari dengan mulut yang terus meracau menyebut asma-asma Allah. Berharap wajah-wajah yang baru saja dilihatnya tidak mengikuti ke mana arahnya berlari. Dalam gelap, matanya tidak sanggup memperhatikan jalan aspal yang berpasir dan berlubang. Di sebuah tanjakan yang landai, mengancam kakinya. Dan dia jatuh terjerembab berguling-guling. Asma-asma Allah masih sayup-sayup terdengar dari bibirnya yang bergetar, namun suara itu perlahan-lahan meredup dan terhenti. Anak itu terkulai lemas. Apakah kemudian dia menemukan penolongnya?

Ketika dia membuka matanya pada hari Jumat siang, dia menemukan dirinya dikelilingi perempuan-perempuan berpakaian serba putih bertudung. “Alhamdulillah, dia sudah sadar!” kata salah seorang di antara mereka.

“Panggil dokter!” Seru yang lainnya.

Ketika dokter datang, semuanya menjadi jelas. Seorang korban tabrak lari dengan luka-luka di sekujur tubuh. Ah, sebuah diagnosa yang konyol.

“Dimana kawan-kawanku yang lainnya?” rintih Charya di dalam hati.

***

Seorang laki-laki tua renta berjalan sangat pelan . Langkahnya satu-satu begitu diperhitungkan, dia berjalan dengan mata yang sudah tidak sanggup lagi menembus pandangan yang terbentang di hadapannya. Walau demikian dia sanggup menentukan arah langkahnya walau dengan mata tertutup sekalipun. Ini adalah rutinitas bertahun-tahun setiap subuh hari yang dilakoninya. Setiap jam 03:30 pagi dia terbangun, minum tiga gelas air putih lalu berjalan menuju mesjid yang berjarak kira-kira dua ratus meter dari rumahnya. Sesampai di mesjid, dia menyalakan lampu mesjid kemudian membersihkan ruangan dalam mesjid. Setiap ubin lantai tidak luput dari pengamatannya. Jika ada yang kotor langsung di sapu atau dipel. Kaca-kaca jendela dilap, lalu dia memeriksa isi bak air untuk wudhu para jamaah, selanjutnya dia memutar kaset shalawat dan diperdengarkan melalui mikrofon yang ada di atas kubah mesjid. Jika waktu subuh telah tiba, dia lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang khas. Setiap selesai azan, dia selalu berdoa dan berharap ada satu, dua atau tiga orang jamaah yang datang menyambut seruan azannya. Itu artinya dia bisa shalat berjamaah. Namun selalu saja doa nya jarang terkabulkan.

Orang-orang sudah semakin sibuk. Begitu fikirnya. Sehingga mereka lebih memilih shalat di rumah. Orang-orang semakin berfikiran praktis, sehingga mereka membuat mushallah di salah satu ruang rumah mereka masing-masing untuk dipakai shalat berjamaah. Fikirnya lagi. Berjalan di subuh hari tidak aman, banyak orang jahat yang berkeliaran di subuh hari, orang-orang lebih memilih cara ibadah yang aman dengan melakukan shalat subuh di rumah masing-masing. Fikir kakek itu lagi.

Dan mayoritas mungkin memang tidak mendengarkan suara azan saya karena hawa dingin yang membuai tidur mereka, rasa capai bekerja seharian yang membuat mereka enggan terbangun, atau sebagian di antara mereka sedang berhadats besar sehingga malas mandi di jam-jam seperti ini. Kakek itu berhenti berfikir, selanjutnya dia qomat dan melakukan shalat subuhnya sendirian, menjadi muadzin, imam, sekaligus menjadi makmum. Begitulah setidaknya rutinitas yang dilakukannya selama bertahun-tahun.

Namun subuh kali ini, lain dari biasanya. Ketika dia memasuki pekarangan mesjid yang luas dan tidak berpagar, langkah kakinya tersangkut sesuatu. ‘Tubuh manusia’. Kakek itu nyaris jatuh terjerembab. Namun dengan ketenangannya dia beristighfar. Lalu memeriksa tubuh yang menghadang langkahnya tersebut. Ternyata seorang anak laki-laki dengan tubuh tertelungkup. Dia memeriksa jantungnya. Masih ada nafas. Alhamdulillah, ucapnya pelan.

Segera langkahnya dipercepat menuju mesjid, dia lalu mengambil senter besar dari dalam mesjid dan menghampiri tubuh yang baru saja dilihatnya. Dia memeriksa wajah anak itu dengan senter yang ada di tangannya, lebam dan berdarah. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya dia pun segera menyeret tubuh anak itu ke beranda mesjid.

“Astaghfirullah… Kamu anak siapa wahai anak muda? Kenapa dirimu bisa seperti ini?”

Kakek itu pun terus berusaha menyeret anak itu sekuat tenaga. Beberapa lama kemudian dia pun akhirnya berhasil mencapai beranda mesjid. Ditidurkannya anak itu secara terlentang. Dia meraba dahi anak itu, dingin. Dia lalu meraba sekujur tubuh anak itu, dingin bagaikan es. Luka dan lebam di wajahnya seperti habis dipukul dengan benda tumpul besar dengan sangat keras. Namun ajaibnya, jantungnya masih berdenyut pertanda masih ada kehidupan yang bisa dipertahankan.

Sang kakek jadi lupa membersihkan lantai mesjid, lupa melap kaca-kaca mesjid, luput memeriksa isi air di dalam bak, lupa mendendendangkan shalawat melalui mikrfon, dan yang paling fatal adalah lupa mengumandangkan azan shalat subuh. Tapi siapa yang peduli?

Sejatinya adalah jika kebiasaan bertahun-tahun mendengarkan kumandang azan dari suara sang kakek yang khas, tiba-tiba tidak terdengar di suatu subuh di hari jumat yang penuh dengan kebaikan, pantaslah seisi kampung bertanya, kemana kakek itu? Sakitkah ia? Apakah pengumandang azan yang konsisten dan setia itu telah berpulang? Tapi siapa peduli. Orang-orang tetap saja hanyut dalam tidurnya, orang-orang tetap saja bersembunyi di balik selimutnya yang hangat.

Kakek itu menarik si anak malang memasuki ruang mesjid. Dia berusaha menjauhkan anak itu dari hawa dingin. Dia berusaha menjangkau mimbar, sebuah ruang kecil tempat yang biasa dipakai khatib berdiri menyampaikan khutbah di hari sebelum shalat Jumat, disitulah anak itu dibaringkan. Dia lalu menyelimuti badan anak itu dengan sajadah tebal. Setelah merasa semuanya sudah cukup dan akan baik-baik saja, ia akhirnya duduk berdoa. “Ya Allah, siapa pun dia, limpahkanlah kasih sayangMu terhadapnya. Rahmati sekujur tubuhnya dengan hawa hangat berlimpah yang Engkau miliki. Isilah setiap degup jantungnya dengan berkah kehidupan. Jauhkan lah dia dari godaan syaitan makhluk gaib terkutuk ciptaanMu. Ampuni hambamu yang uzur ini karena terlambat menemukannya. Amin Ya Rabbal alamin.

Kemudian laki-laki tua itu terpekur sejenak, dia berusaha mengatur nafasnya yang letih. Usahanya yang dahsyat menyeret anak itu sampai ke dalam mimbar, secara tidak langsung menguras energi nya dan memindahkannya ke tubuh anak itu. Selanjutnya dia berusaha berdiri, dia hampir saja lupa melaksanakan ibadah shalat subuh.

Laki-laki tua itu lalu takbir, kemudian membaca doa iftitah, selanjutnya membaca al-fatihah, kemudian membaca surah sajadah untuk melakukan sujud sajadah karena kebiasaannya di hari jumat. Setelah sampai di ayat sajadah dia langsung sujud tanpa ruku sebelumnya. Waktu sujud itulah dia merasakan dirinya sangat dekat dengan Tuhannya. dan….. kakek itu pun tidak pernah bangun lagi untuk selamanya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline