Lihat ke Halaman Asli

Mengungkap Kisah Hidup Seorang Mantan Gamer

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13281673211728499345

Siang tadi saya berbincang-bincang dengan salah seorang teman saya lewat media online. Salah satu topik pembicaraan kami adalah mengenai salah seorang teman kami yang sampai saat ini masih belum bisa melepaskan diri dari dunia game online. Hal ini tiba-tiba mengingatkan saya kepada kehidupan masa lalu saya yang begitu dekat dengan dunia game. Bisa dibilang, “I was a MANIAC GAMER” !

Mengenal dunia game sejak usia dini

[caption id="attachment_159822" align="aligncenter" width="468" caption="Anak-anak telah dikenalkan pada dunia game sejak masih kecil"][/caption]

Sejak berumur kurang lebih 6 tahun, saya diberikan game console SEGA (moga-moga ada yang masih ingat) oleh orang tua saya. Bisa dikatakan, sebagian waktu saya dihabiskan untuk bermain SEGA. Saya diperbolehkan bermain SEGA sepulang dari sekolah asalkan semua pekerjaan rumah saya telah selesai. Setiap hari, kurang lebih waktu yang habiskan adalah 2 jam. Ingat, ini untuk ukuran anak SD di tahun 90an, loh!

Ketika saya masuk kelas 5 SD, saya dihadiahi Playstation 1. Pada masa ini, PS1 benar-benar populer. Saya mulai diperkenalkan pada game-game tenar seperti Winning Eleven, Final Fantasy, Digimon, dan lain-lain. Waktu yang saya habiskan di depan televise pun meningkat pesat. Sehari kurang lebih 3 sampai 4 jam. Jika liburan, waktunya bisa meningkat 5 sampai 6 jam. Jumlah kaset saya tidak kurang dari 30 buah. Saya pun terkenal sebagai “anak pengurung diri di kamar”. Maksudnya, saking asyiknya main game di kamar, saya jadi jarang keluar dan bersosialisasi dengan orang-orang di luar rumah. Pada masa ini, bisa dibilang saya telah kecanduan main game, walaupun saya sendiri belum menyadarinya. Saya lebih tertarik dengan dunia game daripada kehidupan nyata saya. Saya pun menjadi berkembang menjadi seseorang yang sangat minder apalagi jika bertemu dengan orang yang tidak pernah saya kenal.

Game Online sejak SMA

[caption id="attachment_159823" align="aligncenter" width="640" caption="Suasana di warnet pada umumnya. Tampak anak-anak berseragam sekolah yang tampak sedang asyik bermain "]

1328167647880671385

[/caption]

Ketika masuk SMA, untuk pertama kalinya saya berkenalan dunia game online: World Of Warcraft. Bagi saya, permainan Warcraft itu sangat menarik, terlebih khusus pada satu bagian yang dikenal hampir semua gamer: DotA. Pada awalnya saya hanya ingin “coba-coba” untuk main game ini. Lama kelamaan, rasa “coba-coba” itu kemudian berubah menjadi rasa candu. Sama seperti orang yang kecanduan narkoba, rasanya kurang kalau dalam satu hari saya tidak main DotA. Lagipula, banyak teman saya yang juga main DotA. “Masih lebih baik kecanduan game daripada kecanduan narkoba”, pikir saya.

Saya bermain game ini kurang lebih selama dua tahun. Alasan saya meninggalkan dunia DotA karena saya mulai sadar kalau bermain game yang berlebihan sangat menguras pikiran dan tenaga, terutama mata saya. Jika saya telah bermain DotA selama 3 jam di depan komputer, mata saya mulai terasa perih dan kepala saya terasa sakit. Ketika masuk kamar, bawaannya selalu ingin tidur melulu. Ketika bertemu teman-teman, saya cuma bisa nyambung kalau topiknya tentang game ini. DotA benar-benar menghabiskan banyak waktu saya semasa sekolah.

Facebook Games

Pada masa kuliah, berkenalanlah apa yang dinamakan Facebook. Saya membuat akun di Facebook gara-gara iming-iming game online juga, yaitu Who Has The Biggest Brain?. Pada awalnya game-game di facebook enak-enak saja. Namun, lama-kelamaan game ini sama menularnya seperti game online pada umumnya. Berbagai macam permainan yang menggunakan konsep yang mirip seperti Multi-Level Marketing (bonus yang kita dapatkan akan semakin banyak jika kita mengajak teman kita ikutan main game itu), seperti Country Story, Restaurant City, Hotel City, Farmville, Pet Social, Ravenwood Fair, dan yang paling terakhir Sim City Online. Entah sudah berapa ribu jam yang saya habiskan untuk main game. Untung saja sekarang, saya telah lepas putus hubungan dengan dunia game online dan segala jenis permainan di Facebook.

[caption id="attachment_159826" align="aligncenter" width="393" caption="Beberapa kumpulan game terpopuler di Facebook"]

1328167987822993541

[/caption]

"Old Games" vs. "New Games"

Game jaman sekarang tidaklah sesederhana game jaman dahulu. Masih ingat tidak ketika kita main Mario Bross? yang perlu kita lakukan meloncat-loncat, ambil jamur untuk menjadi Big Mario, kemudian menyelesaikan tiap stage yang ada. Game jaman dahulu tidak menyebabkan rasa candu yang berlebihan pada si user. Jaman sekarang, game diciptakan tidak lagi ditujukan untuk anak-anak SD atau SMP, melainkan untuk mendapatkan keuntungan komersial. Bahkan, sekarang sangat mudah untuk mendapatkan orang-orang yang berumur dua puluhan ke atas yang masih berkutat di dunia game. Mereka adalah anak-anak kecil di tahun 90an yang saat ini masih belum bisa melepaskan diri dari permainan di dunia maya.

[caption id="attachment_159829" align="aligncenter" width="341" caption="Ilustrasi gambar gaya hidup seorang gamer"]

1328170181549159689

[/caption]

Ketika seseorang kecanduan game, pada umumnya mereka tidak akan mengakui kalau mereka telah kecanduan game sebelum hidup mereka berantakan. Salah satu alasan mereka bertahan karena besarnya pikiran, tenaga, dan waktu yang mereka telah investasikan. Ketika mereka mulai mengingat seberapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk mengembangkan karakter yang mereka impikan, mereka akan merasa sangat berat untuk meninggalkan game yang telah diidam-idamkan selama ini. Belum lagi tekanan sosial dari sahabat-sahabat sesama gamer, maka akan lebih sulit lagi untuk melepaskan diri dari rasa candu main game.

Memang, bermain game itu ada manfaatnya. Saya tidak bisa memungkiri lagi kalau gaming mengambil peran dalam membentuk pola pikir saya saat ini. Namun, saya merasa jikalau game jaman sekarang jauh lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dampak positifnya. Oleh karena itu, diperlukan juga peran dari orang tua dalam membentuk kepribadian anak-anak. Jangan karena takut anak-anaknya salah bergaul di luar rumah, orang tua malah memberikan jatah main game yang berlebihan di dalam rumah. pada si anak. Efeknya tidak dapat dilihat langsung dari penampilan fisik, tetapi lebih daripada perkembangan mental si anak.

Bagi mereka yang sampai saat ini masih terjebak dalam dunia game, tahukah kalian bahwa ada dunia yang jauh lebih indah di luar sana daripada duduk berjam-jam di depan komputer? Mulailah bersosialisasi dengan dunia luar, carilah hobi baru. Hal ini akan  mempermudah kita untuk lepas dari rasa candu yang telah mengidap dalam hidup kita selama bertahun-tahun. Pertanyaannya sekarang, sudah siapkah anda untuk keluar dari dunia game?

-Erland-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline