Lihat ke Halaman Asli

Banjir, Adakah yang Membelaku?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1390226265250831456

Banjir di Jakarta,

Dimana-mana air langit mengenangi kota metropolitan ini,

Air yang berkah berubah menjadi monster imaji,

Air itu bening mulanya, seketika coklat muram saat terjebak di tanah Jakarta.

Ada banjir nyinyir di nyengir yang mengalir, deras tak tersetir dan menggenangi luka yang jadi syair tanpa akhir.

Wajah air pucat pasi,

Dia tak bisa lari, dia meratapi perjalanan ekosistem alam yang terhambat,

Terjebak di selokan kotor perumahan,

Terjebak di aspal tercemar di jalan-jalan.

Apa aku harus angkat topi tanda salut pada peri langit yang berhari-hari menangisi bumi? apa bumi mati?

Manusia teriak,

Teriakkannya melengkingg…

Teriakkannya meletup-letupp……

Sebagian mereka berteriak bergemuruh meledak-ledak.

Kebanyakan mereka berkata,

Ini bencana alam !!

Ini bencana alam !!!

Ini semua Tuhan yang mengatur !!!

Tuhan pun di fitnah,

Benar, kadang takdir lebih pintar.

Jiwa-jiwa bergeming dalam mimpi, berenang dalam aliran mimpi yang meluap dalam benak,

Kita kuyup dalam ironi. Manusia lupa kodrat, ini bencana ekologi terparah tanpa dosa tanpa aku akuan.

Long-long ago,

Awal mula, sebelum bernama Batavia, friendly dengan ekosistem sempurna,

Kehidupan berjalan seimbang dengan keseimbangan yang saling terjaga,

Alam sangat siap menyambut semua gejala alam.

Kini,

Jakarta jangan ditanya,

Tiada habitat peminum serta penahan air langit,

Semua berubah menjadi belantara cor-coran tanpa sisa.

Sedangkan,

Borjuis sedang asyik di villa ilegalnya,

Menutupi mulut bumi dengan beton lengkap jahitan pondasi yang kuat-kuat.

Rakyat jelata,

Hidup apa adanya nekat membangun kehidupannya tepat di bibir seksi disetiap sungai,

Buram kenangan sejarah di mana ingatan kita dijarah sang penguasa pongah lupa akan daratan.

Kini,

Hujan mencari gentong di halaman hingga kolong kosong. Hujan menyerah menangis merupa bah. Jika sajak adalah butiran hujan, aku ingin menjelma jadi rintik air yang berteriak salut tanpa kalut. Malam tetaplah malam, namun syair jiwa tetap menggema, maafkan aku dalam hati.

Hujan menceritakan,

Ia melahirkan bayi dari airmata kaum tepi, tangisnya sepi, tatapnya elegy, ibu kota seribu janji. Ibu kota seribu mimpi.

Ibu kota seribu satu kerusakan. . Image liputan6.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline