Lihat ke Halaman Asli

Gender: Pengaruh Cara Pandang Terhadap Pencapaian Kesetaraan

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masalah gender dan kesetaraannya selalu menjadi pembicaraan tanpa ujung di negara kita. Budaya patriakhi menjadi hukum yang mengakar kuat dan tak bisa lagi diubah. Meskipun LSM dan gerakan pembelaan kesetaraan gender telah banyak bermunculan, namum praktik kedakadilan tetap saja menjamur di tiap lapisan masyarakat.

Globalisasi membawa nilai-nilai kesetaraan gender meluas ke seluruh penjuru dunia. Entah sejak kapan dimulainya, para perempuan mulai menggugat posisinya yang selalu dinomorduakan. Berbagai gerakan mulai dari yang halus hingga ekstrem muncul sebagai bentuk gugatan pada berbagai ketidakadilan gender .Gerakan tersebut menyebar dalam berbagai sendi kehidupan manusia. Kita dapat melihat Coco Chanel sebagai salah satu contoh.

Coco Chanel adalah seorang perancang busana dan fashion setter yang membawa nafas baru bagi dunia mode perempuan. Sebelum rancangan khas-nya untuk busana kerja perempuan, tidak pernah ada dalam sejarah bahwa perempuan dapatmengenakan jas. Rancangannya tersebut membawa angin perubahan dalam dunia fashion. Jas tidak lagi menjadi pakaian milik laki-laki. Selain membawa perubahan dalam dunia fashion, secara halus rancangan Chanel adalah bentuk gugatan yang menyatakan bahwa perempuan dapat bekerja pada sector public sebaik laki-laki.

Globalisasi membawa banyak nilai-nilai baru serta tuntutan perubahan untuk berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Sejalan dengan tuntutan akan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, tuntutan untuk kesetaraan terhadap kaum transgender, transeksual, gay dan lesbian juga mulai menjamur. Beberapa komunitas yang sebelumnya hanya fokus pada masalah kesetaraan gender bagi kaum perempuan kemudian melebarkan sayapnya.

Kaum transeksual, transgender, gay, lesbian dan lainnya tersebut kini dikenal dengan sebutan queer. Queer sendiri berarti menyimpang. Kata tersebut dipilih karena mereka yang masuk dalam transeksual, transgender, gay serta lesbian dikatakan tidak sesuai dengan apa yang "seharusnya". Konsep tersebut tentu dimunculkan oleh masyarakat esensialis.

Gerakan kesetaraan bagi queer muncul karena banyaknya pratik-praktik kekerasan baik fisik maupun non-fisik yang terjadi. Di negara kita sendiri dapat kita lihat secara jelas perbedaan kualitas hidup antara mereka yang queer dengan mereka yang disebut “normal”. Kaum queer masih mendapatkan berbagai stigma negative serta penolakan dari masyarakat luas.

Contoh jelas dapat kita lihat dari kehidupan waria di negara kita. Waria menjadi kaum yang sangat termarginalkan. Perasaan jijik dan berbagai penolakan masyarakat sangat besar terhadap kaum ini. Tidak hanya masyarakat, pemerintah dan aparat negara bahkan menjadi pelaku penolakan terbesar terhadap kaum waria alih-alih melindungi mereka. Berbagai razia yang dilakukan seringkali berbuntut pada kekerasan. Bahkan dalam beberapa kasus, waria ditemukan meninggal akibat kekerasan saat razia terjadi.

Bulan februari lalu, beberapa waria yang tergabung dalam Forum Waria mendatangi satpol PP untuk menggugat kekerasan yang banyak dilakukan oleh aparat keamanan. Dalam protes tersebut dikemukakan kekecewaan kaum waria terhadap pemerintah dan satpol PP. Dalam berbagai razia, waria cenderung mendapatkan kekerasan fisik yang dinilai melanggar HAM.

Selain tuntutan untuk mengurangi kekerasan terhadap waria, Forum Waria juga menggugat pemerintah. Pemerintah dan Negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan memberikan hak kepada semua warga untuk hidup dan mendapatkan penghasilan secara layak. Dalam praktiknya, justru pemerintah kerap kali menyulitkan kehidupan kaum waria.

Berbagai razia dan penangkapan yang dilakukan terhadap kaum waria disinyalir karena waria-wraia tersebut tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka yang terjaring dalam razia tersebut kemudian dibawa ke sebuah panti sosial dan ditempatkan disana. Forum waria mengajukan tuntutan terhadap pemerintah atas razia tersebut. Dalam proses pencarian Kartu Tanda Penduduk, kaum waria kerap kali tidak dilayani dengan baik. Mereka biasanya melewati proses yang sangat rumit, dan bahkan berakhir dengan kegagalan. Maka seharusnya bukan mereka yang dipersalahkan ketika terjaring dalam razia KTP tersebut.

Permasalahan kaum waria tidak hanya sebatas kesulitan untuk memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka juga mendapatkan kesulitan untuk memperoleh pekerjaan akibat identitas gender mereka. Ketika mereka susah mendapatkan pekerjaan, maka mereka akan mendapatkan kesusahan untuk menghidupi dirinya. Oleh sebab itu, beberapa waria akhirnya lari pada pekerjaan-pekerjaan yang mengundang cibiran masyarakat seperti pengamen, serta Pekerja Seks Komersial (PSK). Hingga saat ini, belum ada tanggapan dari pemerintah mengenai fenomena tersebut.

Melihat berbagai praktik ketidakadilan terhadap kaum transgender dan queer di negara kita tidak lepas dari kajian mengenai pandangan seksualitas masyarakat. Oleh Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan, masyarakat Indonesia masuk dalam golongan masyarakat Esensialis. Masyarakat esensialis hanya menerima dan mengakui dua identitas gender, yaitu perempuan dan laki-laki. Maka, perempuan dalam pandangan masyarakat esensialis seharusnya berlaku sebagaimana konsep perempuan dalam masyarakat. begitu pula dengan laki-laki. Selain itu, hanya ada satu orientasi seksual yang diakui, yaitu heteroseksual. Mereka yang tidak masuk dalam kategori tersebut disebut kelompok-kelompok menyimpang.

Dengan pandangan esensialis yang masih sangat lestari di negara kita, maka bukan hal yang aneh bila terjadi penolakan yang begitu kuat terhadap kaum queer. Selain pandangan esensialis tersebut,masyarakat Indonesia juga cenderung menyamaratakankarakter tiap Individu. Masyarakat masih kurang memahami bahwa tiap individu diciptakan berbeda satu sama lain baik dalam penampilan maupun sifat. Penyamarataan tersebut mengukuhkan berbagai stigma negative terhadap kaum queer yang telah menyebar di masyarakat.

Untuk mencapai kesetaraan gender, seharusnya perihal cara pandang menjadi salah satu fokus utama. Untuk mengubah perilaku seseorang, perlu pula untuk mengubah cara pandang dari orang tersebut . Ketika tuntutan kesetaraan yang banyak diserukan tidak menyentuh masalah cara pandang, maka perjuangan tersebut hanyalah sia-sia.

Menyerukan cara pandang baru memang bukan hal yang mudah. Ketika suatu pandangan telah mengakar bahkan dikultuskan oleh masyarakat, maka membawa pandangan baru adalah seolah mencari jarum dalam tumpukan jerami. Namun, hal tersebut bukan berarti tidak mungkin. Realitas dan cara pandang adalah bentukan manusia, maka manusia pasti memiliki kemampuan untuk mengubahnya. Proses menjadi satu hal yang harus ditekuni dalam hal ini. Tentu waktu yang diperlukan tidak sesingkat membalikkan telapak tangan.

Penyuluhan meskipun menjadi suatu gerakan yang telah dianggap ketinggalan jaman, namun menjadi suatu hal yang penting. Hanya caranya saja yang perlu disesuaikan dengan perkembangan jaman. Masyarakat tidak lagi mempan dijejali berbagai pemahaman baru secara lisan dalam suatu forum penyuluhan. Oleh sebab itu butuh keahlian dan pemahaman yang tinggi terhadap kekuatan teknologi. Teknologi sebagai sarana di mana manusia begitu bergantung saat ini dapat dijadikan penghantar masuknya pemahaman baru tersebut. Tinggal menyusun strategi cerdas dan efektif untuk memanfaatkannya.

Sumber - sumber :

Artikel berjudul “Protes Dikasari Saat Razia, Waria Se-Indonesia Sambangi Satpol PP” yang ditulis dalam detikNews oleh Lia Harahap pada tanggal 2 februari 2011.

Artikel berjudul “Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT)-
Jalan Lain Memahami Hak Minoritas
” yang ditulis oleh Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas Perempuan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline