Padang hijau membentang di pegunungan bukit barisan dan teluk krueng jaya. Matahari membiaskan cahayanya yang kemuning ke tiap dedaunan yang rimbun di pohon dekat puncak bukit. Aroma hujan sisa semalam masih menguap dari rerumputan pagi menyiratkan kehangatan, cahaya matahari memeluk tiap jengkal pepohonan yang kedinginan sejak malam oleh hujan yang sangat deras. Tidak jauh dari pohon rindang yang terik oleh kehangatan matahari, terdapat sebuah makam yang diteduhi saung kecil yang menyirakatkan kesederhanaan. Makam sosok perempuan yang terlahir di tengah peraduan suara kelewang, dentuman suara Meriam dan senapan dalam situasi perang terpanjang, perang aceh (berakhir tahun 1903). Puncak bukit yang memberikan lawatan pemandangan dataran banda aceh dari ketinggian itu seolah membawa sesiapa saja yang menyapu matanya ke sekeliling bukit itu ke dalam lautan memori sejarah perang panjang yang mengendap di tanah. Tanah yang hari ini masih dipijak dan telah berganti masa hingga hampir 5 abad lamanya. "Kini kape belanda kafir itu telah minggat dari banda Aceh!", barangkali begitu kalimat yang akan terlontar Laksamana Malahayati dan 3000 orang pasukan inong balee (janda) yang berhasil membunuh jenderal belanda, Cornelis De Houtman itu pada 1599.
Kelahirannya
Lampiet, tahun 1550.
Di Seuramoe Keue[1] Rumoh Aceh, rumah panggung dengan tinggi bangunan 3 meter dan berukuran memanjang ini, seorang wanita yang sedang mengandung dengan usia kehamilan yang tinggal menunggu kontraksi akhir itu tampak tengah terengah-engah bersandar di bilik kayu rumah hunian milik salah satu petinggi kesultanan aceh. Semestinya sang suami yang merupakan panglima ternama dalam perang aceh itu mempersiapkan Peucicap[2] untuk menyambut kelahiran anaknya, namun kini dirinya tampak harus lebih bersiaga dengan kelewang di tangan kanannya dan rencong di ikat pinggangnya untuk mensiasati kemungkinan-kemungkinan serangan mendadak pasukan marsose Belanda. Hari ini ia menemani istrinya.
Tidak lama, gerimis mulai turun. Suara air yang yang berjatuhan ingin mengenalkan suara khas air yang kelak akan menemani tiap jengkal kehidupan. Saat itu pula kelahiran berlangsung begitu saja. Tangisan seorang bayi perempuan terdengar pertama kalinya ke dunia, suara nyaringnya seakan menyoraki riuhnya genderang perang aceh, dan bernada seakan mengungkapkan, inilah aku yang akan menjadi bagian penting dari pejuang pemberani yang akan mengusir penjajah. Suaranya memantul dan begitu memenuhi seisi ruang Seuramoe Kuoe. Semakin nyaring tangisan sang bayi ketika sang ayah menggendongnya ke pangkuan. Dengan air mata haru, sang ayah yang merupakan panglima Aceh itu, Laksamana Mahmud Syah membisikinya, "Nak, teruskan tangisan itu sebagai simbol perlawanan yang akan kau gandrungi di paruh kehidupan perjuangan buat menakuti pasukan marsose. Kelak kau akan menjadi pejuang sebagaimana buyutmu, Raja pertama sekaligus pendiri kesultanan Aceh Darussalam , Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah". Ialah Malahayati atau nama kecilnya, disebut Keumala Hayati.
Masa Kecil
Tumbuh di lingkungan yang penuh dengan semangat perlawanan terhadap kape-kape[3] penjajah, perempuan ini tumbuh menjadi seorang yang penuh dengan keberanian dan militansi. Sekalipun begitu, ia tetap hidup dengan pakaian yang melekatkan keanggunan wanita aceh dengan selendang kerudung menutupi kepalanya. Ayah, kakek buyutnya merupakan seorang laksamana. Maka sejak kecil ia hidup di tengah keluarga yang memberi semangat untuk menjadi laksamana. Keumalahayati, akhirnya belajar di Akademi Militer di Ma'had Baitul Maqdis secara formal bersama para laki-laki, termasuk salah satunya Mahmuddin yang kemudian akan menikah dengannya.[4]
Kakek dari garis keturunan ayahnya adalah Muhammad Said Syah, yaitu putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah sendiri merupakan anak dari pendiri Kerajaan Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah.[5]
Pertempuran Teluk Haru