Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri dari 718 bahasa daerah dari 2.560 daerah pengamatan yang dilakukan oleh Badan pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang dilakukan sejak 1991 hingga 2019. Banyaknya jumlah bahasa daerah juga tergantung keadaan vitalitasnya yang berbeda-beda sehingga banyak bahasa dapat terancam punah karena jumlah penutur yang makin berkurang.
Suatu bahasa dapat dikatakan memiliki vitalitas yang tinggi bila banyak jumlah penuturnya dan variasi bahasanya digunakan dengan luas. Karakteristik ini menjadi ciri bahwa bahasa akan terus digunakan dan diturunkan antargenerasi.
Perkembangan pesat dalam aspek teknologi informasi turut membawa perubahan dalam cara berbahasa masyarakat daerah, seperti hilangnya unsur dalam suatu bahasa daerah karena informasi yang tersedia di internet secara umum menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan aksara Latin dalam komunikasi tertulis.
Perkembangan teknologi tidak serta-merta membuat bahasa daerah tidak lagi digunakan dalam komunikasi masyarakat. Bahasa Jawa menjadi salah satu bahasa daerah yang banyak terdapat pada kalimat tuturan percakapan media sosial, seperti Facebook.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nita Sulistya Wati pada tahun 2013, bahasa Jawa banyak digunakan dalam bentuk aksara Latin sehingga tercipta bahasa gaul dan bahasa slang, khususnya di kalangan remaja.
Fenomena tersebut menunjukkan pemertahanan bahasa Jawa yang dilakukan oleh penutur bahasa Jawa, walaupun masih bersifat pasif, sekaligus bahasa Jawa dalam perkembangannya justru mengalami pergeseran karena interferensi bahasa lain. Selain itu, penggunaan bahasa Jawa yang dituliskan dengan aksara Latin turut berpengaruh pada pemertahanan aksara Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa.
Aksara memiliki peran penting dalam kebudayaan Jawa, yaitu sebagai warisan budaya dari nenek moyang bangsa Indonesia. Aksara ini tercipta dengan kaya unsur filosofi pada huruf-hurufnya, yaitu bercerita tentang dua orang punggawa yang mati karena bertarung memperebutkan pusaka milik Ajisaka: Ha Na Ca Ra Ka 'ada dua orang', Da Ta Sa Wa La 'mereka berdua berkelahi', Pa Dha Ja Ya Nya 'sama kuatnya', dan Ma Ga Ba Tha Nga 'mati dua-duanya karena sama kuatnya'. Bentuk aksara Jawa yang saat ini dipakai telah ditetapkan sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17), tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19.
Seiring perkembangan zaman, aksara Jawa mulai dipertanyakan keberadaannya. Hanya beberapa orang saja yang dapat membaca dan memahami aksara Jawa, bahkan orang Jawa sekalipun belum tentu dapat membaca dan memahami aksara Jawa.
Berdasarkan informasi tambahan dari beberapa informan dari Universitas Airlangga yang beretnis Jawa dan tinggal di Surabaya sejak lahir, bahasa Jawa memang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tidak dengan aksara Jawa yang sulit dipahami.
Hal itu disebabkan oleh bentuk aksara Jawa yang memiliki kesulitan tersendiri karena kemiripan antara satu huruf dan huruf lainnya sehingga berpengaruh pada minat generasi muda mempelajari aksara Jawa. Padahal, aksara Jawa sebagai warisan budaya perlu kita lindungi dan lestarikan.
Pelindungan kebudayaan tercantum pada Undang-Undang Tentang Pemajuan Kebudayaan Pasal 1, yaitu pemajuan kebudayaan merupakan upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.