Lihat ke Halaman Asli

Syifa Rizki Sholihah

Universitas Darussalam Gontor

Islam Rahmatan lil 'Alamin dengan Hukum Mawaris Wasiat Wajibah yang Mensejahterahkan

Diperbarui: 6 September 2024   08:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Islam merupakan agama samawi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. dengan kitab suci Al Quran yang menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya; Taurat, Zabur, dan Injil. Sebagai agama yang sempurna, Islam berperan menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil 'alamiin). Rahmat berarti pembebasan manusia dari segala macam perkara yang tidak sesuai dengan karakter, tabiat manusia, dan alam itu sendiri.

Dalam kajian syariah Islam, terdapat beberapa hukum tatanan kehidupan, di antaranya adalah hukum jual beli, hukum pidana, hukum perdata, dan lain sebagainya. Namun, yang menjadi fokus pembahasan dalam essay ini yaitu terkait hukum mawaris. Hukum mawaris memiliki keterkaitan yang erat dengan kesejahteraan keluarga umat Islam sendiri.

Hukum mawaris Islam menjelaskan secara rinci tentang cara pembagian dan peralihan harta warisan kepada ahli waris, serta hal-hal yang menghalangi ahli waris mendapatkan harta warisan si pewaris. Pembagian dan peralihan harta warisan kepada ahli waris, antara lain dengan cara menyerahkan harta waris tersebut pada ahli waris yang berhak, dan dengan wasiat apabila ahli waris seperti saudara atau kerabat yang terhalang mendapatkan harta warisan. Ada tiga inti yang merupakan syarat mutlak, yaitu adanya ilmu tentang kewarisan, adanya harta warisan, dan adanya pewaris dan ahli waris yang tidak terhalang oleh hukum yang berlaku. 

 

            Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan dengan apa yang ditetapkan di dalam nas (al quran dan sunnah). Dasar hukum fikih mawaris jelas tersurat dalam Al Quran Surah An Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176.

 

Namun pada realitanya, permasalahan dan problematikan pada umat bereformasi menjadi lebih kompleks seiring berkembangnya zaman. Persoalan mawaris merupakan hal yang sangat perlu memperhatikan keadilan dalam pembagiannya. Fenomena yang terjadi pada masyarakat, yaitu adanya gagasan reaktualisasi hukum Islam untuk penyelesaian masalah kewarisan, dengan melihat masalah sosial muslim Indonesia. Allah Maha Adil maka tidak mungkin di dalam kitab suci-Nya mengandung konsep yang tidak mencerminkan keadilan. Jika ada nilai atau norma yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak-hak asasi secara universal, maka nilai dan norma tersebut perlu direaktualisasikan penafsirannya. Di antara permasalahan yang muncul adalah perihal posisi anak angkat dan cucu yatim terhadap pembagian harta waris. Hal ini diatur pada dasar hukum dari hukum kewarisan Islam yaitu Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia dengan 44 pasal, terdapat dalam buku II pasal 171 sampai dengan pasal 214.

 

Menurut hukum Islam, seperti yang tertuang  dalam kitab-kitab fikih, cucu tidak berhak menerima bagian waris jika bertemu dengan laki-laki atau dengan kata lain ia terhalang oleh anak laki-laki. Hal ini menjadi lebih kompleks ketika melihat keadaan cucu yang ayahnya telah meninggal dunia atau yatim. Begitupun pada posisi anak angkat. Status anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah status perkawinan, anak angkat tidak termasuk golongan yang dilarang kawin dengan orang tua angkat, tidak ada hubungannya dengan orang tua angkat, dan bukan mahram dari mereka. Selanjutnya, status pewarisan anak angkat adalah tidak termasuk dalam kategori orang yang berhak atas warisan. Artinya, antara anak angkat dan orang tua angkatnya tidak ada hubungan pewarisan. Tentu muncul beragam pertimbangan di kalangan ulama. KHI pasal 209 membuka kesempatan bagi anak angkat untuk menerima wasiat. Maka dikenal istilah wasiat wajibah sebagai bentuk rektualisasi hukum Islam khususnya pada perihal pembagian harta waris.

 

Menurut Ibnu Rusyd, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain mengenai hartanya atau kepada beberapa orang yang kepemilikannya terjadi setelah matinya orang yang berwasiat. Prinsip dalam membuat wasiat adalah tidak boleh mrugikan ahli waris, maka harta yang dibagikan tidak boleh lebih dari sepertiga. Dalam Perspektif fikih, wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya halangan syara'. Dalam buku Fikih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline