Lihat ke Halaman Asli

Syifa Nur Azizah

Mahasiswi STEI SEBI

Sociopreneur dalam Islam

Diperbarui: 24 Februari 2021   12:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sociopreneur belakangan ini marak digaungkan bukan hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Dampak baik yang dihasilkan membuat orang-orang sangat terbuka terhadap konsep entrepreneur ini. Kini trend sociopreneur sudah dianggap trend Internasional, hal ini karena kerap kali diadakannya perlombaan sociopreneur skala Internasional oleh beberapa negara.

Jika dilihat dari suku katanya, sociopreneur terdiri dari dua suku kata yaitu Social dan Entrepreneur. Social yang artinya kemasyarakatan dan Entrepreneur yang artinya kewirausahaan. Dikutip dari erlangga.co.id, Founder Sotoji yakni Rahmat Sastro Sugito menjelaskan bahwa sociopreneur menurpakan entrepreneur yang dalam bisnisnya mengedepankan aspek sosial atau bisnisnya memang bergerak dibidang sosial.

Jadi, jika diklasifikasikan maka akan ada banyak bentuk dari sociopreneur. Salah satunya pemberdayaan seperti yang dilakukan oleh Kendal Argo Atsiri dimana kegiatan usaha yang dilakukan yakni berfokus pada penyulingan daun cengkeh yang tidak terpakai untuk dijadikan minyak esensial alami dan mereka memberdayakan masyarakat sekitar untuk menanam cengkeh yang mereka butuhkan dimana secara tidak langsung mereka membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar. Contoh lain sociopreneur yang bergerak dibidiang sosial seperti yang dilakukan oleh Annisa Hasanah, salah satu alumni Institut Pertanian Bogor yang membuat ecofunopoly (monopoly edukatif) bertema lingkungan yakni mengenal sampah. Atau contoh lain sociopreneur yang berfokus pada aspek sosial seperti yang dilakukan oleh Lauren Bush Blauren, ia mendirikan perusahaan Feed yang menjual tas ramah lingkungan dimana keuntungan yang didapat dipakai untuk memberi makan anak malnutrisi diseluruh dunia yang hingga saat ini telah puluhan juta anak yang merasakan manfaat tersebut.

Pada dasarnya umat muslim sendiri mungkin sudah sangat tidak asing dengan kata entrepreneur atau kewirausahaan. Karena sebagaimana kita ketahui Rasulullah S.A.W, istrinya Siti Khadijah R.A, sahabatnya Ustman bin Affan R.A, sahabat lainnya Abdurrahman bin Auf R.A dan sahabat lainnya lagi, beliau semua merupakan seorang entrepreneur yang bahkan sangat sukses pada zamannya. Hal ini karena Rasulullah S.A.W pun pernah bersabda "Hendaklah kamu berdagang karena didalamnya terdapat 9 dari 10 pintu rezeki". Jadi, sebenarnya berwirausaha sudah menjadi tradisi atau kebiasaan bagi umat muslim. Lantas bagaimana Islam memandang sociopreneur?

Bila ditelaah kembali sejatinya konsep dasar sociopreneur merupakan konsep entrepreneur dalam Islam yang sudah ada dan sudah diajarkan bahkan jauh sebelum munculnya kata sociopreneur itu sendiri. Hal ini karena islam mengenal maqasid syariah dimana salah satu tujuan maqasid syariah yakni kemaslahatan umat yang berarti bahwa segala bentuk aturan muamalah dalam Islam memiliki tujuan untuk kemaslahatan umat. Dan kemaslahakan atau kesejahteraan umat ini pun menjadi tujuan utama dari sociopreneur. Jadi bisa dikatakan bahwa sejatinya Islam sudah menerapkan konsep sociopreneur ini sejak lama.

Namun, meskipun secara umum sociopreneur dalam islam maupun yang dikenal banyak orang memiliki konsep yang sama, terdapat beberapa konsep lain yang perlu diterapkan bagi sociopreneur muslim yakni : Pertama, sebagaimana tujuannya, usaha yang dilakukan harus mengedepankan kemaslahatan umat. Kedua, tidak boleh hanya berfokus pada keuntungan duniawi saja, tapi juga perlu berfokus mencapai falah atau kemenangan diakhirat nanti yaitu Ridho Allah S.W.T dan point ini yang paling penting dan menjadi pembeda dengan sociopreneur pada umumnya. Ketiga, menerapkan etika-etika entrepreneur dalam islam seperti : 1) menghindari maisir, gharar, riba dan hal-hal lain yang perlu dihindari dalah setiap transaksi juga menghindari segala bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam, 2) barang atau jasa yang menjadi produk usaha harus dipastikan kehalalannya, 3) menjaga adab dan akhlak baik dengan pembeli, mitra maupun dengan sesama pedagang lainnya. Hal ini karena adab dan akhlak sejatinya perlu menjadi cermin seorang muslim.

Wallahua'lam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline