Lihat ke Halaman Asli

Latar Belakang Mundurnya Austria dari Global Compact for Safe, Orderly, and Regular Migration

Diperbarui: 3 Desember 2023   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration (GCM) adalah suatu perjanjian internasional yang diadopsi pada tanggal 10-11 Desember 2018, dalam Konferensi Antar Pemerintah tentang Migrasi di Marrakech, Maroko. Perjanjian ini bertujuan menyusun kerangka kerja yang komprehensif untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang terkait migrasi internasional. Penting untuk dicatat bahwa GCM bersifat non-berkekuatan hukum, yang berarti tidak memberikan kewajiban hukum langsung kepada negara-negara peserta, namun mendorong kerjasama internasional dalam mengelola pergerakan manusia di tingkat global.

GCM terdiri dari dua pilar utama yang membahas aspek-aspek tertentu terkait migrasi. Pertama, ada "Pilar Pembangunan Berkelanjutan," yang menekankan pada pemanfaatan manfaat migrasi untuk pembangunan yang berkelanjutan. Ini mencakup pengakuan terhadap kontribusi positif para migran terhadap ekonomi, sosial, dan budaya baik di negara asal maupun di negara tujuan. Perjanjian ini juga mendorong pemberdayaan migran dan perlindungan hak-hak mereka, termasuk hak untuk bekerja secara layak.


Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration (GCM) melibatkan partisipasi dari berbagai negara yang berkomitmen untuk bekerja sama dalam mengelola migrasi internasional. Indonesia, dengan populasi besar dan sejarah migrasi yang signifikan, menjadi salah satu negara yang tergabung dalam perjanjian ini, menunjukkan kesediaan untuk berkontribusi dalam upaya global untuk memastikan migrasi yang aman dan teratur. Maroko, sebagai tuan rumah Konferensi Antar Pemerintah tentang Migrasi pada tahun 2018, juga terlibat aktif dalam pembentukan dan penandatanganan GCM. Negara-negara Eropa seperti Jerman, sering menjadi destinasi utama migran, memainkan peran penting dalam perjanjian ini, bersama dengan negara-negara Amerika Utara seperti Kanada. Keterlibatan negara-negara ini mencerminkan komitmen mereka untuk bekerja sama dalam merumuskan solusi global terhadap tantangan migrasi, serta memastikan perlindungan dan pemberdayaan bagi para migran.

Austria adalah salah satu negara yang telah terlibat dalam perbincangan dan keputusan terkait isu migrasi, termasuk dalam konteks Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration (GCM). Perlu diingat bahwa pandangan dan posisi suatu negara terhadap isu migrasi dapat berubah seiring waktu dan bergantung pada konteks politik dan perkembangan dalam negeri.

Pada umumnya, Austria, seperti beberapa negara Eropa lainnya, telah menghadapi tantangan migrasi yang signifikan dan telah aktif berpartisipasi dalam upaya internasional untuk mengatasi isu-isu terkait migrasi. Negara-negara Eropa umumnya menghadapi pertanyaan tentang pengelolaan perbatasan, penanganan pengungsi, dan integrasi para migran ke dalam masyarakat mereka.

Sejumlah negara Eropa, termasuk Austria, dalam beberapa kasus, mengalami ketegangan dalam pandangan internal terkait penerimaan migran dan pengungsi. Beberapa pemerintah Eropa telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat kontrol perbatasan mereka sebagai respons terhadap tekanan migrasi.

Austria berencana untuk mengikuti langkah Amerika Serikat dan Hungaria dengan keluar dari perjanjian migrasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena khawatir bahwa perjanjian tersebut dapat menciptakan ketidakjelasan antara migrasi yang legal dan ilegal, demikian disampaikan oleh pemerintah sayap kanan negara tersebut.

Perjanjian yang dikenal sebagai Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration telah disetujui oleh seluruh 193 negara anggota PBB pada bulan Juli 2018, kecuali Amerika Serikat yang telah mundur tahun sebelumnya. Pemerintah sayap kanan Hungaria sejak saat itu menyatakan penolakan mereka untuk meratifikasi perjanjian tersebut pada acara yang dijadwalkan di Maroko pada bulan Desember. Polandia, yang juga tengah berselisih dengan Uni Eropa karena menolak kuota nasional bagi pencari suaka, menyatakan pertimbangan untuk mengambil langkah serupa.

Kanselir Austria, Sebastian Kurz, yang memimpin pemerintahan konservatif dalam koalisi dengan Partai Kebebasan sayap kanan, berpendapat bahwa migran yang diselamatkan di Laut Tengah sebaiknya tidak langsung dibawa ke daratan Eropa.

Austria, pada tahun 2015, mengalami krisis migrasi di mana lebih dari satu juta orang melakukan perjalanan ke Eropa, banyak diantaranya melarikan diri dari konflik dan kemiskinan di Timur Tengah, Afrika, dan wilayah lain. Pada waktu itu, Austria menerima pencari suaka sekitar satu persen dari total populasi mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline