Lihat ke Halaman Asli

Syifa Hanina

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Mendakwahkan Bisnis Online - Syifa Hanina

Diperbarui: 20 Mei 2024   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Dr. Syamsul Yakin, MA. & Syifa Hanina

(Selaku Dosen & Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Sekarang, internet tidak hanya digunakan untuk mencari informasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mencari penghasilan. Melalui platform jual beli online, berbagai jenis barang ditawarkan, mulai dari pakaian, perabotan, buku, barang elektronik, hingga makanan dan minuman. Semua ini dikenal sebagai bisnis online.

Menghasilkan uang melalui internet merupakan peluang bisnis yang terjangkau dan mudah. Selain itu, potensi pasar tidak terbatas seperti bisnis offline. Modal yang diperlukan untuk memulai bisnis online relatif kecil, dan biaya operasional dapat diminimalkan. Berbeda dengan bisnis offline yang terbatas oleh waktu, bisnis online beroperasi selama 24 jam sehari.

Pada awalnya, bisnis dianggap sebagai kegiatan yang diperbolehkan atau diizinkan. Ini karena bisnis pada dasarnya adalah pertukaran yang saling menguntungkan, yang berkembang setelah masa barter. Keuntungan dalam bisnis tidak lagi berupa barang, tetapi uang. Bisnis menghasilkan keuntungan melalui penjualan barang atau jasa. Secara historis, bisnis telah menjadi bagian dari realitas sosial dan antropologis dengan berbagai bentuk dan regulasi.

Bisnis online seringkali dipertanyakan: apakah halal atau haram? Secara normatif, bisnis dianggap halal jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam hukum Islam. Ini termasuk adanya penjual dan pembeli, barang atau jasa yang diperdagangkan, serta transaksi yang disertai dengan komunikasi baik lisan maupun tulisan. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka bisnis tersebut dianggap haram.

Dalam bisnis online, status penjual dapat menimbulkan pertanyaan apakah mereka adalah pemilik barang atau memiliki kewenangan atas barang tersebut. Kedua status penjual ini dianggap halal, seperti halnya dalam bisnis offline. Namun, ada lagi status penjual yang perlu dipertimbangkan. Pertama, penjual yang menawarkan jasa pengadaan barang dengan imbalan tertentu. Kedua, penjual yang tidak memiliki barang tetapi dapat mengatur pengadaan barang untuk pelanggan.

Semua jenis transaksi ini dianggap halal jika kedua belah pihak sama-sama puas dengan kesepakatan tersebut. Namun, jika ada salah satu pihak yang belum mencapai usia yang cukup, syarat bisnis dianggap tidak terpenuhi. Ketika transaksi dilakukan dengan sumpah baik lisan maupun tertulis, harus dilakukan oleh pemilik langsung atau seseorang yang diberi wewenang atau kuasa.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah bisnis online dianggap sesuai dengan rukun dan syarat jual beli konvensional menurut pandangan para ahli hukum Islam. Dalam pandangan ortodoksi ulama, semua jenis jual beli diizinkan selama mematuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan. Melanggar rukun jual beli, seperti tidak adanya barang yang diperdagangkan, akan membuat transaksi tersebut dianggap haram.

Meskipun adanya barang secara fisik bukanlah syarat mutlak untuk sebuah transaksi, dalam bisnis online, spesifikasi barang biasanya ditampilkan secara audio-visual melalui media internet, yang merupakan platform untuk melakukan transaksi. Penjual dan pembeli tidak harus bertemu secara langsung, karena pertemuan fisik bukanlah syarat utama dalam jual beli.

Artinya dalam bisnis online, saat penjual menampilkan barang beserta spesifikasi dan harga di media sosial, dan kemudian pembeli merespons dengan memesan barang secara online, ini dianggap sebagai pertemuan antara penjual dan pembeli. Selain itu, aspek yang tak kalah pentingnya adalah kejujuran di antara keduanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline