Lihat ke Halaman Asli

Keadilan Sosial Tanpa "Keadilan" Prosedural

Diperbarui: 9 Januari 2017   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: dwiafriliana.files.wordpress.com

Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh setiap orang. Semuanya –siapapun orang, pihak, kelompok, dan golongan itu– harus mencicipi “kue” pembangunan sehingga keadilan sosial yang menjadi cita-cita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dicapai. Keadilan sosial menjadi kunci dalam pembangunan, karena ia memungkinkan setiap inci dari perbedaan mendapatkan perlakuan yang proporsional, bukan diskriminasi sosial.

Salah satu upaya penting untuk mewujudkan keadilan sosial, bagi seorang pemimpin, adalah dengan menjadikan konstitusi sebagai senjata utama dalam melahirkan sebuah kebijakan. Karena dengan penggunaan asas-asas (ayat-ayat) konstitusional, memungkinkan segala sesuatunya berjalan secara prosedural dengan cara-cara yang benar. Konstitusi menjadi “penunjuk arah” sekaligus sebagai “jangkar metafisis” dalam tindak-tanduk seorang pemimpin.

Jika tidak menjadikan konstitusi sebagai pegangan, sudah tentu akan menjadi ekses munculnya kebijakan yang tidak prosedural. Lalu bagaimana mungkin sesuatu yang dilakukan secara tidak prosedural akan menciptakan keadilan sosial?

Contoh yang paling nyata dari hal ini adalah kemenangan gugatan warga Bukit Duri terhadap Pemprov DKI. PTUN diketahui mengabulkan gugatan warga Bukit Duri terhadap surat peringatan yang dikeluarkan Pemprov DKI melalui pemerintah Kota Jakarta Selatan. Majelis hakim membatalkan SP 1, 2, dan 3 tersebut karena dinilai melanggar undang-undang.

Tapi apa mau dikata, Bukit Duri sudah rata dengan tanah. Para penghuni yang tak diberi “kesempatan” untuk membela haknya, lari lintang-pukang entah kemana. Mereka tak ubahnya “anak kecil” yang diciutkan dengan “bentakan” pemerintah, padahal sudah puluhan tahun mereka tinggal disana dengan senjata kertas berharga, bagi mereka, tapi tak bernilai, bagi penguasa. Kewajiban ganti rugi Pemprov DKI terhadap korban, tak otomatis membangun rumah-rumah mereka kembali. Kemenangan itu, meski sedikit membahagiakan, tapi sebenarnya utopis.

Pada sisi yang berbeda, kita bisa melihat kejadian ini sebagai peristiwa yang memalukan. Kekalahan Pemprov DKI ini mencoreng muka Jakarta yang entah dengan alasan apa, selalu dibanggakan dengan pembangunan dan kemajuan yang, bagi warga, sebenarnya utopis. Karena faktanya, justru banyak program dan proyek yang bermasalah, tapi tetap dipaksakan sebagai sebuah prestasi. Ini sekaligus mematahkan stigma, bahwa pemerintah selalu menang melawan rakyatnya, karena memang pemerintah tak ubahnya penjajah.

Melihatnya realitas tersebut, Anies Baswedan mengingatkan kembali pentingnya melakukan sesuatu secara prosedural karena semua tindakan dan kebijakan yang berkaitan dengan rakyat harus berdasarkan prinsip keadilan dan dengan cara-cara yang benar. Menyejukkan dengan komunikasi dan musyawarah yang akomodatif. Menurutnya, Pemprov DKI wajar kalah di Pengadilan karena yang dilakukan memang melanggar aturan.

Sejatinya rakyat bukan tidak mau ditertibkan, tapi penertiban itu meniscayakan pentingnya prinsip keadilan dan cara-cara yang lebih memanusiakan. Bukan dengan gaya nunjuk-nunjuk tangan serasa peling benar, diikuti dengan kacak pinggang dan suara kasar, mengajak rakyat yang dipimpinnya berdebat secara konstitusional untuk tindakannya yang inkonstitusional. Bukan, bukan dengan gaya dan cara seperti itu. Itulah yang selalu disuarakan Anies Baswedan, bahwa ketika harus “berbeda” dengan rakyat untuk sebuah kebijakan, pemimpin harus hadir meyakinkan mereka dengan cara dan komunikasi yang menyenangkan. Rakyat hanya butuh dirangkul, bukan dibiarkan menepati sebuah rumah yang diisi 19 kepala keluarga pasca penggusuran Bukit Duri. Menyedihkan, bukan?

Artinya, keadilan sosial yang dibangga-banggakan menjadi “kecut” ketika, bahkan untuk persoalan prosedur dikalahkan oleh rakyat di pengadilan. Padahal, tanpa keadilan secara prosedural, tak mungkin rasanya akan tercipta keadilan sosial. Semoga apa yang terjadi pada rwarga Bukit Duri menjadi pelajaran yang baik bagi pemerintah, sekaligus bagi rakyat untuk lebih jeli dan selektif memilih calon pemimpin di Jakarta. Tentang keadilan prosedural ini, dalam banyak kerja dan prestasinya, Anies Baswedan menjadi pilihan karena dalam beberapa jabatan yang dipegangnya, tak sekalipun ia dihadapkan pada masalah (hukum) yang serius, termasuk namanya disangkut-pautkan dengan kasus-kasus tertentu. Tak pernah!. Kita tidak mau berbicara yang tidak berpengalaman, tentu saja.

Anies Baswedan selalu meninggalkan legacy,karena tidak alpa terhadap keadilan prosedural melalui pembacaan secara utuh terhadap ayat-ayat konstitusional sehingga keadilan sosial menjadi lebih dekat untuk dicapai.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline