Hubungan bilateral antara Indonesia dan China menjadi salah satu fokus utama dalam dinamika politik luar negeri Indonesia di era globalisasi yang semakin kompleks. Hubungan ini menduduki peranan penting karena keterlibatan Indonesia dalam Belt and Road Initiative(BRI), yang didirikan oleh China dan bertujuan untuk menciptakan konektivitas ekonomi global melalui investasi infrastruktur.
Dalam hal politik luar negeri Indonesia, keterlibatan dalam Inisiatif Belt and Road (BRI) menunjukkan pendekatan pragmatis pemerintah terhadap hubungan internasional. Indonesia memandang BRI sebagai peluang strategis untuk mendukung prioritas infrastruktur nasional, terutama di bidang infrastruktur. Contoh nyata dari upaya ini sejalan dengan visi Presiden Jokowi untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan mempercepat pemerataan pembangunan adalah proyek seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Pelabuhan Kuala Tanjung-Sumatera Utara, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Kawasan Ekonomi Khusus di Morowali-Sulawesi Tengah, dan KEK Kendal-Jawa Tengah. Selain itu, partisipasi ini sejalan dengan prinsip politik luar negeri bebas-aktif, yang berarti Indonesia Indonesia memanfaatkan kerja sama ini secara strategis sambil tetap menjaga independensi dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya.
Prinsip bebas tercermin dalam pendekatan Indonesia yang tidak secara eksklusif mengikat diri pada Tiongkok, tetapi juga menjalin kerja sama dengan berbagai negara lain untuk membangun proyek-proyek strategis. Sementara itu, prinsip aktif terlihat dalam upaya Indonesia untuk memanfaatkan BRI sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional.
BRI menduduki peranan penting bagi pemerintahan Jokowi karena sesuai dengan visi domestik Jokowi untuk membangun infrastruktur sebagai cita-cita pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Dengan BRI, Jokowi dapat mengakselerasi proyek besar tanpa terlalu bergantung pada anggaran negara. Meskipun demikian, keterlibatan ini juga bersifat strategis dari sudut pandang geopolitik, karena Indonesia menempatkan dirinya sebagai mitra utama Tiongkok di Asia Tenggara, bersamaan dengan Indonesia mempertahankan integritas nasionalnya.
BRI atau Belt and Road Initiative diinisiasi oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping pada tahun 2013 yang bertujuan untuk menghidupkan kembali gagasan The Silk Road dalam versi kontemporer dengan membangun infrastruktur dan jaringan ekonomi yang menghubungkan Amerika Latin, Eropa, Afrika, dan Asia. Inisiatif ini meningkatkan kerja sama ekonomi dan perdagangan internasional serta meningkatkan kekuatan geopolitik Tiongkok di dunia.
Fokusnya terhadap kepentingan nasional, kekuatan negara, dan dinamika pragmatis hubungan internasional maka, hubungan antara kebijakan Presiden Jokowi dan Tiongkok dalam Belt and Road Initiative (BRI) sangat relevan jika dilihat dari perspektif realisme. Keputusan strategis yang dibuat oleh BRI dapat dianggap sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan manfaat pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan perekonomian dan stabilitas negara.
Perspektif Realisme memiliki peran penting untuk memahami bagaimana Indonesia menangani tantangan geopolitik dalam hubungan ini, terutama risiko yang terkait dengan ketergantungan ekonomi Indonesia pada Tiongkok. Dengan tetap menjaga kedaulatan bangsa melalui negosiasi ulang proyek strategis yang bermasalah serta menolak kesepakatan yang tidak menguntungkan, pemerintahan Jokowi tetap pragmatis. Selain itu, meskipun Indonesia memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Tiongkok, Indonesia tetap tegas dalam hal kedaulatan seperti di Laut Natuna Utara. Bukan karena idealisme atau hubungan harmonis, pendekatan realis menggambarkan hubungan ini sebagai interaksi yang didasarkan pada perhitungan kekuatan dan kepentingan.
investasi besar yang ditawarkan Tiongkok untuk proyek infrastruktur besar di Indonesia menyebabkan potensi ketergantungan Indonesia terhadap China melalui keterlibatannya dalam BRI, Meskipun Indonesia mendapatkan pembiayaan yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan, ketergantungan ini memicu risiko jangka panjang, terutama jika proyek-proyek ini tidak menghasilkan keuntungan ekonomi yang memadai untuk menutupi biaya utang negara kepada China. Debt-trap diplomacy tercipta ketika negara penerima utang, seperti Indonesia, kesulitan membayar kembali pinjaman dari China. Dalam situasi seperti ini, China bisa saja meminta konsesi strategis atau akses lebih besar terhadap sumber daya dan aset negara sebagai ganti pelunasan utang. Hal ini menempatkan Indonesia dalam situasi yang tidak menguntungkan, terutama jika proyek-proyek tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian.
Akibat perihal ancaman debt-trap Indonesia terhadap China, Mantan Presiden Joko Widodo telah mengambil langkah-langkah realis yaitu salah satu langkah utama adalah dengan mengutamakan skema Business-to-Business (B2B) dalam proyek-proyek BRI, alih-alih menggunakan skema government-to-government (G2G). Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa proyek yang dibiayai tidak hanya bergantung pada pinjaman pemerintah, sehingga mengurangi potensi akumulasi utang yang berlebihan.
Jokowi juga menekankan pentingnya transparansi dan tata kelola yang baik dalam setiap proyek, termasuk penyerapan tenaga kerja lokal dan penggunaan produk dalam negeri, untuk memastikan bahwa proyek tersebut memberikan manfaat langsung bagi ekonomi Indonesia dan tidak hanya menguntungkan pihak asing. Selain itu, Jokowi mendorong evaluasi berkala terhadap strategi pengelolaan utang dan meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan pasar modal. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar utang luar negeri tetap dalam batas yang wajar dan terkelola dengan baik.