Mereka terpaksa datang dari jauh kemudian tertahan di sini-- di Indonesia dalam kurun waktu 2-13 tahun, keberadaannya terpencar di berbagai kota di Indonesia. Banyak dari mereka pun fasih berbahasa kita--meski baku.
Tahun demi tahun berganti dan mereka masih di sini, satu persatu mulai mengubur mimpinya bahkan lebih buruk lagi; menyerahkan hidup pada tali, laut, api atau tanah. Sebagian lain turun ke jalan, berunjuk rasa, merapal penat dalam sejumlah poster bernada keputusasaan.
--
Mereka adalah para pengungsi dari negara-negara konflik yang telah bertahun-tahun lamanya tinggal di Indonesia sambil menanti kepastian pemberangkatan ke negara ketiga. Status Indonesia yang hingga saat ini belum meratifikasi konvensi PBB tahun 1951 tentang status pengungsi menjadikan Indonesia hingga saat ini tidak punya kewajiban secara tertulis untuk mengurus pengungsi. Bantuan yang selama ini diberikan Indonesia dengan menampung pengungsi dari luar negeri hanya didasarkan atas pertimbangan kemanusiaan.
Karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951, konsekuensinya para pengungsi yang datang ke Indonesia hanya diberikan izin tinggal dan layanan kesehatan dasar, namun dibatasi hak-haknya, misalnya mereka tidak boleh bekerja di Indonesia.
Hal ini menuntut para pengungsi untuk mencari negara ketiga yang akan memberikan mereka suaka permanen. Negara yang disebut negara ketiga adalah negara-negara yang meratifikasi konvensi PBB 1951 Seperti Australia, Kanada, Jerman dan Selandia Baru.
Pencarian negara ketiga yang akan menampung mereka melibatkan peran dari UNHCR selaku Badan PBB untuk urusan pengungsi dengan proses yang amat panjang. Mereka-- para pendamba tanah harapan itu justru terdampar hidup dalam ketidakpastian selama bertahun-tahun di Indonesia. Negara dimana mereka tak bisa dan tak boleh bekerja.
Kebanyakan dari mereka sudah berada di Indonesia selama 7-8 tahun. Tentu bukan waktu yang singkat dalam masa hidup seorang manusia. Kondisi tersebut lebih parah jika menimpa pengungsi tunggal (single refugee) yaitu mereka yang datang ke Indonesia sendirian tanpa membawa sanak keluarga.
Bertahun-tahun tinggal di negeri orang dan jauh dari sanak keluarga membuat para pengungsi tunggal rentan depresi bahkan beberapa diantaranya ada yang nekat mengakhiri hidup.
Tragedi Kemanusiaan
Pada bulan Maret 2018, seorang pengungsi yang melarikan diri dari perang di Afganistan gantung diri di Medan, Indonesia. Hayat, pengungsi muda itu ditemukan tergantung di balkon Asrama penampungannya, hal ini diketahui dari sejumlah foto dan pemberitaan kematian Hayat yang viral di media sosial.
Hayat bukan satu-satunya, pada bulan Oktober 2018, Abbas Muhamadi pengungsi Afghanistan yang mengajar Bahasa Indonesia untuk anak-anak pengungsi di Asrama penampungan di Batam juga memilih mengakhiri hidupnya, menyerahkan diri pada tali. Sebelum mencabut nyawanya sendiri, Abbas menulis surat pendek yang berbunyi;
"saya lelah dengan hidup seperti ini, masa tunggu panjang yang tak berujung."
Tragedi belum berakhir, kematian tragis Abbas disusul oleh seorang pengungsi Afghanistan di Manado bernama Sajjad Jacob. Pada bulan Febuari 2019, Sajjad yang merupakan pengungsi yang telah tinggal selama 13 tahun Manado bakar diri, menyerahkan diri pada api, meninggalkan 2 orang adik, Ibu dan seorang pamannya semakin terkatung-katung hidup di Indonesia. Kisahnya di sini