Baru-baru ini netizen dihebohkan dengan curhatan seorang Ary Yogeswary, tulisan di blog pribadinya yang berjudul Halo Selingkuhan Suami Saya menarik perhatian netizen, menjadi viral dan telah dibagikan lebih dari 21 ribu kali dalam waktu 9 hari. Tulisan itu berisi tentang curahan hati seorang Ary yang diselingkuhi suaminya setelah 5 tahun pernikahan.Selain curhatan Ary, melalui postingan tersebut, terbaca pula ada dinamika netizen yang ramai merasa 'senasib'saling berbalas komentar terutama kaum hawa yang saling berbagi cerita dan saling 'menguatkan' yang diilhami dari postingan Ary tersebut.
Sebelumnya beredar vedeo "Curhat Poligami yang diunggah di jejaring sosial Youtube oleh sebuah akun bernama Anna Abdul Hamid diperbincangkan. Tak hanya itu, dari jagat hiburan, artis sinetron Marshanda juga pernah melakukan aksi serupa: meluapkan rasa melalui dunia maya. Menggunakan Youtube, ia meluspkan kegelisahan hatinya lewat vedeo bertajuk Unspoken: Letter to God. Dan seperti biasa, semua yang viral di dunia maya pasti menyedot perhatian dan memancing respon beragam dari netizen. Begitupun tulisan Ary, juga vedeo Marshanda, sampai curhatan Anna semuanya ramai dibicarakan netizen, khususnya di Indonesia.
Dunia Maya dan Kastrasis Perasaan
Berkaca pada tiga fenomena di atas menghadapkan kita pada satu sisi dunia maya yang di zaman sekarang ini dianggap umum dan biasa: Dunia maya sebagai area kastrasis perasaan.
Keberadaan jejaring sosial dan ruang-ruang maya yang tumbuh bak jamur sebagai penanda era milenia menjadikan orang merasa seperti memiliki mainan baru, ruang baru untuk menunjukan eksistensi diri, ekspresi, dan juga perasaannya.
Tak dapat dipungkiri, bagi sebagian orang, dunia maya adalah pelarian, sekaligus penampungan bagi apa-apa yang tidak bisa diekspresikan dengan lebih bebas di dunia nyata. Jika di dunia nyata aturan bersifat lebih kaku dan baku, di dunia maya, aturan-aturan dibuat lebih luwes, batas-batas yang kaku di dunia nyata seolah melebur di dunia maya termasuk urusan perasaan. Kita yang ditasbihkan sebagai netizen pada satu titik bisa sebegitu mudahnya terbawa rasa untuk menumpahkan perasaan di dinding-dinding ruang maya. Mulai dari sekedar kicauan galau, hingga curhat lewat tulisan panjang atau video singkat.
Perlahan tapi pasti, dunia maya menjelma menjadi etalase perasaan pemiliknya. Jelas ada sesuatu yang ingin diutarakan tapi tak terungkap secara langsung, ada twist yang ingin dipahami, tapi tak bisa dimengerti oleh orang-orang di sekitar, ada pesan yang ingin disampaikan, tapi terhalang barangkali oleh pola interaksi yang kurang seimbang. Karena tak dapat disangkal, di zaman sekarang ini, diskriminasi di dunia nyata telah berlaku semakin masif dan semakin keras dalam berbagai bidang.
Adalah sangat mengerikan jika berbeda sedikit saja bisa membuatmu terkucil dari pergaulan, dan sayangnya fenomena 'memuja yang sama' kian merebak di masyarakat kita sekarang ini. Mereka yang berbeda dianggap sebagai 'yang bukan kita' kemudian dialienasi dari pergaulan sosial dunia nyata. sehingga kemudian banyak orang yang melarikan diri ke dinding-dinding ruang maya. dan sayangnya beberapa dari mereka (atau kita) ada yang terkurung selamanya hingga benar-benar lupa hidup secara sosial.
Komunikasi perlahan bergeser, usapan layar ponsel seringkali menggantikan tatap muka meski tak pernah sama. Begitupun urusan rasa, seringkali kemarahan di dunia maya menggantikan kemarahan yang sebenarnya, contohnya, jika saja berhadapan langsung, mungkin hanya sedikit orang yang berani memaki-maki dan berkata 'hewan' kepada presiden. Tapi coba lihat dunia maya, makian dan kata-kata hewan seringkali bertebaran kepada sosok yang dianggap tak sejalan.
Dunia Maya Sebagai Etalase Rasa: Konsrtuktif atau Negatif?
Di dunia maya, anda bisa menjadi siapa saja, menjadi macan atau domba, atau tetap waras sebagai manusia, menjadi si periang atau nona sendu, semua pilihan ada pada anda.