Hai kamu,
Segala tentangmu mengendap seperti ampas kopi. Pahit tapi kadung dinanti, kadang dihindari. Ditemani rembulan, hujan sore tadi masih hangat dalam mataku, betapa rapih cahaya menyamar, betapa riuh langit bertengkar.
Dalam malam yang masih penghujan dan gerutu doa, aku memintamu, sebab mintalah padaku, niscaya akan kukabulkan. Begitu kataNya. Dan dia kabulkan apa-apa yang mungkin memang diperlukan. Tetiba kau muncul tanpa diduga dan tak ada yang bisa kulakukan selain menyambutmu selayaknya bagian yang pernah membekas di hati seperti sudut-sudut Bekasi. Huh! Kau mau apa di berandaku malam-malam begini? Pulang setelah kelana?Memangnya selama ini kamu ke mana? ke Kuba? Atau bertapa di Piramida Giza? Atawa mungkin menyisiri rambut Kleopatra? Seenaknya hilang sekian lama lalu kembali datang.
Sudah, ayo masuk! Masih bagus kau kusuruh masuk. Aku bisa saja menguncimu di bawah tanah, seperti artefak. Mungkin seharusnya begitu, tapi aku tak mau melihatmu merengek-rengek minta masuk sampai membatu, nanti berdebu, meski kamu seperti arsip masa lalu.
Hai kamu,
Yang menutup kisah pergi selemparan batu sebelum jadi abu, dunia memang sempit ya? Harusnya kau tahu itu dari dulu. Akhirnya kita bertemu, mungkin ini konspirasi semesta atau izin sang waktu. Satu bulan selusin hari telah lewat semenjak tahun baru, juga ratusan hari sejak kamu memilih tutup buku. Huh.. Padahal cerita belum selesai kutulis, tahu kamu!
Hai kamu,
Penunjuk arah yang tak tuntas tugas lalu pergi lekas-lekas, hilang sampai tak dapat dicari, mencari yang tak ditemukan, menyebalkan tahu! Ini yang kamu janjikan kalau semua akan baik-baik saja begitu? Tapi terima kasih ya, kamu ajari aku kalau baik-baik saja tak melulu harus sempurna, barangkali untuk rajutanku baik-baik saja itu berarti tanpa kamu. Kamu tinggal aku sendirian setelah kau tuntun masuk hutan. Tapi sudahlah aku bukan Cinta yang berhak bilang apa yang kamu lakukan itu jahat. Mungkin salahku juga terlalu mempercayakan.
Hai kamu,
Mau kopi? Tenang ini bukan kopi sianida seperti yang bikin heboh itu, anggap saja kopi ini ibarat seremoni perihal kita yang baru bertemu kembali-- Temu yang terakhir sebagai kita yang dulu pernah punya masa bersama, kini telah purna. Usai. Setelahnya ada pembaharu di antara kita yang biru
Hai kamu,
Mari bersulang secangkir kopi untuk rasa yang dinetralkan, biarkan cairan hitam itu melarutkan, mencukupkan kita untuk sekarang dengan sebutan mantan, ikhlaskan. Meski pekerjaan paling berat sehabis menjaga ialah merelakan.
**
Hai Kamu,
Sosok yang setelah hari ini akan kutatap dari kejauhan, esok semuanya akan berbeda. Jika nanti ada yang mengetuk bilik hatimu sekali lagi, kumohon, kutitip dia yang kau sayangi, rawat dan bahagiakan sebaik yang kau bisa. Sebab aku hanya persinggahan dan kau sebuah bayang yang pernah bertamu sebagai pelajaran.
Semenjak dulu punggungmu melambaikan tangan, suaramu raib hening cipta, soal urusan rasa telah jelma menjadi pemakaman. Tinggal nama kita tercatat menjadi mantan, mari menjadi sehormat-hormatnya dua insan yang pernah punya jalinan, meski tak lagi bisa beriringan.
Hai Kamu,