Lihat ke Halaman Asli

7 Jenis dan Cara Mengatasi Distorsi Kognitif, Penyebab Kita Merasa Tidak Berharga

Diperbarui: 6 April 2021   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jenis dan cara mengatasi distorsi kognitif (Sumber : Gianfranco Grenar via unsplash.com)

Pernahkah kalian merasa tidak berharga? Merasa kita lebih buruk dari orang lain dan begitu tidak percaya diri? Merasa cemas, gugup, dan khawatir tentang masa depan? Merasa takut saat melakukan hal baru? Ternyata, semua hal tersebut memiliki sumber yang sama, yaitu distorsi kognitif.

Apa itu Distorsi Kognitif?

Distorsi kognitif adalah kesalahan dalam cara berpikir yang membuat kita meyakinkan diri tentang sesuatu yang tidak benar atau belum tentu kebenarannya. Jika kesalahan ini dilakukan terhadap diri sendiri secara terus menerus, kita hanya akan merasakan emosi negatif. Kemudian, emosi negatif akan terpatri dalam kepribadian kita dan menghambat segala aktivitas. Karena itulah, distorsi kognitif harus kita atasi.

Distorsi kognitif memiliki beberapa jenis. Jenis-jenis distorsi kognitif di bawah ini mungkin saja sangat familiar di antara kalian. Beberapa di antaranya juga disertakan dengan contoh kasus yang akan membuat kalian merasa 'aku banget'.

Jenis Distorsi Kognitif

1. Mental Filtering (Filter Mental)

Mental filtering adalah pemikiran yang melihat segala hal dari kacamata negatif tanpa menengok sisi positif yang ada. Meskipun kita menyadari ada hal positif, biasanya tidak kita pedulikan. Sebagai contoh, bisa disimak kasus di bawah ini.

Suatu hari, aku bercermin. Aku melihat wajahku di cermin. Wah, lihat aku punya jerawat besar di dekat hidung. Pori-pori pipiku juga terbuka lebar sekali. Ternyata aku jelek sekali, ya.

Saat kita bercermin, kita hanya melihat bagian tubuh kita yang tidak sempurna. Tetapi, apakah ketika bercermin, hanya jerawat dan pori-pori besar yang terlihat? Bukankah ada mata, hidung, bibir, alis, dan rambut? Coba lihat kelebihan dari bagian tubuh lainnya. Lihatlah, hidungku mancung dan alisku tebal. Nah, jika kita menemukan sisi positif dari suatu hal, perasaan kita juga akan lebih tenang.

2. Labelling (Pemberian Cap)

Labelling adalah pemberian label negatif baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Misalnya, ketika kita melakukan kesalahan kita sering berkata, "aku bodoh, payah," atau ketika kita bercermin dan menemukan jerawat di wajah, kita akan bilang, "aku jelek banget".

Jika terbiasa melakukan labelling terhadap diri sendiri, kita akan merasa tidak berharga. Kita jadi merasa lebih buruk daripada orang lain. Padahal, belum tentu orang lain berpikir kita bodoh ataupun jelek, kan? Bisa saja orang lain justru berpikir sebaliknya.

3. Polarized Thinking (Berpikir Secara Terpolarisasi)

Polarized Thinking juga sering disebut dengan "black or white thinking" atau "semua atau tidak sama sekali". Artinya, kita hanya berpikir baik dan buruk atau sukses dan gagal. Contohnya seperti ini.

Aku baru menerima hasil ujian. Dari lima ujian, aku gagal di satu mata pelajaran. Nilaiku jelek sekali di mata pelajaran itu. Ujianku gagal total!

Hanya karena ada satu nilai yang jelek, kita menganggap seluruh ujian kita gagal total. Padahal, nilai ujian lain sangat baik dan kalau semua ujian dihitung rata-ratanya, kita tetap lulus. Hayo, siapa yang sering begini?

4. Jumping to Conclusion (Melompat ke Kesimpulan)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline