Lihat ke Halaman Asli

Syifa

Magister Psikologi Kesehatan Universitas Padjajaran

Bumbu Dapur sebagai Pereda Emosi Negatif dan Stres?

Diperbarui: 27 Desember 2022   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Belakangan ini banyak individu yang melakukan self-diagnosed dan mengatakan bahwa dirinya mengalami depresi atau gangguan mental lainnya ketika sedang merasakan stres dan emosi negatif. Padahal merasakan dan mengalami emosi negatif serta stres bukanlah suatu gangguan mental.

Setiap manusia pasti pernah mengalami emosi negatif dan stres. Pertanyaannya seberapa sering kita merasakannya dalam kehidupan sehari-hari? Jarang? Kadang-kadang? Atau sering?

Berdasarkan penelitian, frekuensi rata-rata individu cenderung merasakan emosi positif saja dalam sehari adalah sebesar 41%, sementara merasakan emosi negatif saja sebesar 16% dalam sehari, sedangkan merasa emosi positif dan negatif secara bersamaan yaitu 33% dalam sehari (Trampe, Quoidbach, & Taquet, 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun sedang bahagia, individu juga tetap bisa merasakan emosi negatif dan stres.

Emosi negatif seperti marah, takut, atau sedih merupakan bagian dari pengalaman individu yang membuatnya merasa tidak nyaman sehingga dapat menyebabkan stres. Stres juga dapat menimbulkan respon yang melibatkan emosi negatif, seperti marah (Du, Huang, An, & Xu, 2018). Lebih lanjut lagi, emosi negatif dan stres yang tidak dikelola dengan baik dapat meningkatkan risiko penyakit yang lebih parah, baik fisik maupun psikologis.

Tetapi sebenarnya apa yang dimaksud dengan emosi negatif dan stres?

Emosi (emotion) adalah suatu respon yang melibatkan fisiologis tubuh (seperti jantung berdebar), perilaku ekspresif (seperti respon spontan), dan pengalaman yang disadari berupa pikiran dan perasaan (panik, takut, senang). Sementara itu, stres adalah proses dimana individu merasakan dan menanggapi suatu peristiwa tertentu, yang disebut stressor, yang dapat dianggap sebagai ancaman maupun tantangan.

Stressor ini dapat meliputi musibah, perubahan hidup yang signifikan, dan kerepotan sehari-hari. Musibah adalah peristiwa berskala besar yang tidak dapat diprediksi, seperti gempa bumi, banjir, kebakaran, dan lainnya. Perubahan hidup yang signifikan seperti kehilangan pekerjaan, bercerai, ditinggal seseorang yang disayangi, dan lain-lain. Sedangkan kerepotan sehari-hari dapat berupa peristiwa-peristiwa yang muncul dalam hidup sehari-hari, misalnya teman yang membuat kesal, antrean panjang, koneksi telpon terputus-putus, dan peristiwa keseharian lainnya (Myers & Dewall, 2015).

Kemudian, bagaimana respon tubuh terhadap emosi negatif dan stres tersebut?

Emosi berhubungan dengan sistem saraf. Ketika individu sedang dalam suatu krisis (sedang terpapar stresor), saraf simpatik akan merespon dan menyebabkan kelenjar adrenal melepaskan hormon stres epinefrin (adrenaline) dan norepinefrin (noradrenaline). Untuk memperoleh energi, sistem pernapasan meningkat sebagai pemasok oksigen. 

Denyut jantung dan tekanan darah juga meningkat. Sistem pencernaan melambat dan beralih dari organ internal ke otot, sehingga memudahkan individu untuk beraksi, seperti lari. Mata menjadi dilasi (melebar), sehingga semakin mudah melihat dan waspada. 

Tubuh menjadi berkeringat sebagai respon agar mendinginkan tubuh. Jika tubuh terluka, maka darah akan lebih cepat menggumpal. Sistem imun menjadi menurun, yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya suatu penyakit (Myers & Dewall, 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa efek dari emosi negatif dan stres bila diabaikan, maka dapat menghambat aktivitas sehari-hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline