Lihat ke Halaman Asli

Privatisasi dan Marketisasi Pendidikan

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


Berkembangnya arus pemikiran / ideologi saat ini telah memunculkan sebuah ideologi yang sifatnya adalah “pro pasar”. Berkurangnya peran negara dan lebih ditekankannya peran individu dalam pengelolaan sumber daya yang akhirnya menimbulkan iklim kompetisi merupakan hal yang terjadi saat ini. Konsep tersebut biasa disebut dengan liberalisme / neo-liberalisme. Munculnya konsep tersebut sebenarnya mempunyai titik tekan dalam bidang ekonomi, hal ini terbukti dari bahwa goal atau tujuan utama dari paham tersebut adalah private gain atau keuntungan pribadi. Akan tetapa seiring berjalannya waktu konsep tersebut pun diartikan secara lebih luas dengan menekankan bahwa setiap sektor layanan publik dapat terlibat dalam liberalisme / neo-liberalisme. Dan tidak menutup kemungkinan pula konsep tersebut berkembang dalam dunia pendidikan. Hal itulah yang melahirkan konsep privatisasi dan marketisasi pendidikan.

Sebagai sebuah turunan dari pemikiran besar liberalisme / neo-liberalisme sudah dapat dilihat bahwa privatisasi dan marketisasi pendidikan adalah program-program pro pasar yang sifatnya adalah mencari keuntungan pribadi.

Privatisasi Pendidikan atau bahasa sederhananya adalah swastanisasi pendidikan dapat diartikan secara sederhana sebagai menyerahkan proses pengelolaan pendidikan kepada sektor swasta yang berbentuk perseorangan ataupun perusahaan. Privatisasi pendidikan ini membuat dunia pendidikan menjadi lahan bisnis dan lahan persaingan antar lembaga pendidikan yang akhirnya membuat pendidikan tersebut menjadi pendidikan yang sifatnya menjadi “barang mewah” dan menjadi semakin mahal dan cenderung tidak terkendali

Sedangkan marketisasi pendidikan dapat diartikan sebagai melihat pendidikan sebagai komoditi dan tunduk kepada hukum pasar (supply and demand). Oleh sebab pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membutuhkan biaya besar, maka orang berlomba-lomba membuat sekolah-sekolah yang mahal dengan bayaran yang tinggi. Lahirlah sekolah-sekolah elite yang hanya menampung anak-anak dari keluarga kaya. Marketisasi pendidikan akan menimbulkan budaya korporat (Corporate culture) dalam dunia pendidikan, dimana lembaga pendidikan yang seharusnya dipandang sebagai lembaga untuk mengembangkan, mencari solusi-solusi kehidupan masyarakat, kini dipandang sebagai lembaga pencari dan pengumpul keuntungan.

Tanpa agenda jelas dan perangkat kebijakan strategis,privatisasi pendidikan dan marketisasi pendidikan yang mendistorsi tujuan mulia pendidikan. Tanpa regulasi yang jelas dan etika sosial yang benar, privatisasi pendidikan dapat menimbulkan bahaya sosial yang serius. Pertama, biaya pendidikan jelas menjadi mahal. Pendidikan menjadi 'barang mewah' yang sulit dijangkau oleh masyarakat luas, khususnya kelas bawah. Kondisi ini terutama terjadi pada lembaga pendidikan yang tidak memiliki kreativitas dan inovasi dalam melakukan fund raising, sehingga hanya mengandalkan siswa dan orang tuanya sebagai target sumber dana.

Kedua, memperlebar gap dalam kualitas pendidikan. Privatisasi dapat meningkatkan kompetisi. Sisi lain dari kompetisi adalah menciptakan polarisasi lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang menang dalam persaingan dan perburuan dana akan menjadi sekolah unggulan. Lembaga yang kalah akan semakin terpuruk menjadi sekolah 'kurang gizi'. Ketiga, melahirkan diskriminasi sosial. Kesempatan memperoleh pendidikan semakin sempit dan diskriminatif. Orang kaya dapat memperoleh pendidikan relatif lebih mudah ketimbang orang miskin. Orang kaya dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas. Orang miskin hanya memperoleh pendidikan alakadarnya.

Keempat,menimbulkan stigmatisasi. Segregasi kelas sosial antara orang kaya dan miskin menimbulkan pelabelan sosial. Sekolah bagus dan ternama diidentikkan dengan sekolahan orang kaya. Sebaliknya, sekolah sederhana adalah sekolahan kaum miskin. Masyarakat biasa yang bersusah payah menyekolahkan anaknya di sekolah 'gedongan' harus menerima kenyataan menjadi warga kelas dua, karena sumbangan dana pendidikannya rendah. Di sekolah, anaknya akan merasa minder karena tidak mampu mengikuti irama dan suasana glamor sekolah. Kelima, menggeser budaya akademik menjadi budaya ekonomis. Para guru akan memiliki mentalitas 'pedagang' ketimbang mentalitas pendidik. Mereka lebih tertarik mencari pendapatan daripada mengembangkan pengetahuan. Mereka lebih terdorong untuk mengumpulkan 'kredit koin' daripada 'kredit poin'. Di PT, fenomena ini melahirkan dua kategori dosen yaitu ‘dosen luar biasa' dan 'dosen biasa di luar'.

Keenam, memacu konsumerisme dan gaya hidup 'besar pasak daripada tiang'. Banyak anak-anak sekolah gedongan yang membawa mobil mahal (milik orang tuanya) ke sekolah. Guru dan dosen dapat terobsesi oleh gaya hidup mewah. Ini dapat melahirkan mental 'diktator' pada pengajar yaitu 'menjual diktat untuk beli sepeda motor'. Ketujuh, memperburuk kualitas SDM dan kepemimpinan masa depan. Didorong oleh misi untuk meningkatkan akumulasi kapital sebesar-besarnya, lembaga pendidikan akan lebih banyak menerima pelajar-pelajar gedongan meski memiliki IQ pas-pasan. Pelajar yang berprestasi tetapi miskin, tidak dapat sekolah atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mobilitas sosial vertikal hanya akan menjadi milik orang kaya yang mampu sekolah tinggi, meskipun secara intelektual diragukan. Kedelapan, mereduksi fungsi pendidikan sebagai pemutus rantai kemiskinan. Pendidikan sebagai alat pemberdayaan yang dapat memutus rantai kemiskinan (vicious circle of poverty) semakin kehilangan fungsinya. Dalam konteks ini, privatisasi pendidikan dapat mengarah pada pelanggengan poverty trap (jebakan kemiskinan).





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline