Lihat ke Halaman Asli

Pesan Paus Fransiskus dan Mereka yang Gemar Perang

Diperbarui: 10 Januari 2018   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: imgur.com

ByHusein Ja'far Al Hadar

Membuka 2016 lalu, pemimpin tertinggi umat Katolik, Paus Fransiskus berkhutbah meminta agar media jangan membiarkan hal-hal positif dan inspiratif tertutup oleh aksi-aksi kejahatan. "Banyak juga aksi-aksi positif yang dilakukan bagi mereka yang membutuhkan. Sayangnya, aksi-aksi tersebut tidak menjadi pemberitaan karena hal-hal positif tidak menjual di media," katanya. Ia tercatat kerap melakukan aksi-aksi memukau dengan tema kemanusiaan. Ia ingin, tema kemanusiaan menjadi viral di media untuk menginspirasi kita bagi sebuah upaya bersama untuk kemanusiaan dan perdamaian.

Membuka tahun 2018 ini, kampanye kemanusiaan kembali ia luncurkan. Ia memerintahkan Takhta Suci Vatikan mencetak dan mendistribusikan kartu dengan foto seorang anak Jepang korban bom nuklir Nagasaki. Pesan di kartu itu: "Seorang bocah kecil menanti giliran kremasi untuk jasad adiknya yang ia gendong di belakang punggung. Foto ini diambil fotografer Amerika, Joseph Roger O'Donnell usai pemboman Nagasaki. Ekspresi kesedihan dalam diri bocah itu terlihat dari caranya mengigit bibir dan darah yang mengalir perlahan." Di balik kartu ada tanda tangan Paus Fransiskus yang dibubuhi kalimat: "... il frutto dela guerra." Artinya: "Itulah buah dari peperangan."

Itu sekaligus sindirikan keras pada dunia yang masih menganggap perdamaian bisa tegak justru dengan peperangan, sebagaimana adigium: "si vis pacem para bellum" (siapa yang ingin damai, bersiaplah untuk perang). Mereka mengartikan perdamaian secara unilateral, yakni menang dan berkuasanya kita atas dunia. Padahal, perdamaian sejati bersifat multilateral, yakni hidupnya kita bersama dalam hubungan persaudaraan, persatuan, dan saling bermanfaat di tengah perbedaan agama, ras, kebangsaan, dan lain-lain.

Pesan itu, meski datang dari seorang paus, tetaplah adalah pesan kemanusiaan, di mana kata Sayyidina Ali bin Abu Thalib kita adalah saudara dengan siapa saja dalam kemanusiaan. Apalagi, kita diajarkan dalam Islam: "Ambillah hikmah dari mana saja". Oleh karena itu, kita juga sepatutnya ikut dalam kampanye tersebut. Dan, yang lebih penting, kita akan jadikan kampanye itu sebagai bagian dari kampanye kemanusiaan kita kepada saudara Muslim kita: di Palestina, Rohingya, dan kawasan-kawasan lainnya di Indonesia maupun luar negeri. Masukkanlah ini menjadi salah satu resolusi Anda di 2018 ini dan tahun-tahun selanjutnya.

Yang jauh lebih penting menyadari, memegang teguh, dan menjalankan pesan itu tentu adalah --sebagaimana disampaikan Sang Paus- media massa. Sudah sepatutnya media massa tak hanya berorientasi bisnis, tapi juga moral. Mereka harus menyediakan ruang bagi berita-berita positif, pesan-pesan perdamaian dan kemanusiaan untuk publik. Media massa sepatutnya tak hanya memberikan publik apa yang ingin didengar mereka, tapi juga apa yang harus mereka dengar sebagai edukasi. Media massa seharusnya mempengaruhi
massa (secara positif), bukan dipengaruhi massa.

Di sisi lain, di era media sosial seperti saat ini, kita sebagai publik juga harus berkontribusi dalam membentuk corak pemberitaan media massa melalui media sosial dengan menyebarkan pesan-pesan perdamaian dan kemanusiaan. Sebab, sebagaimana telah jamak diketahui, media sosial kini menjadi salah satu kanal utama acuan media massa. Sesuatu yang viral di media sosial, besar atau bahkan pasti diberitakan oleh media massa. Maka, memviralkan pesan-pesan perdamaian dan kemanusiaan adalah tugas kita di era ini. Jika mungkin bahkan kita melalui media sosial, blog, web-blog, jurnalisme warga, dan kanal-kanal media yang bisa kita buat sendiri membentuk pemberitaan sendiri tentang hal-hal positif.


Penting juga dicatat bahwa perang saat ini bukan hanya adu fisik, tapi juga kerap terjadi adu provokasi di media sosial dan media massa. Di mana sebagian kita, terlebih di tahun politik 2018 ini dan 2019 nanti, berpeluang terjebak di dalamnya lantaran pilihan politik. Inilah yang harus kita hentikan, karena efeknya bisa jadi lebih kejam dari perang fisik, sebagaimana fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan karena membuat manusia menjadi semacam zombie: hidup secara fisik, namun mati secara harkat-martabat.

Dengan begitu, kita bisa berharap akan dunia yang lebih baik di tahun 2018 ini dan tahun-tahun berikutnya.

Sumber: syiarnusantara.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline