Buah pisang merupakan pilihan konsumsi yang populer karena kemudahan ketersediaannya, harga yang terjangkau, dan kandungan nutrisi yang melimpah, seperti kalium, vitamin C, vitamin B6, dan serat. Meskipun mudah dijumpai di berbagai tempat seperti pasar modern, supermarket, dan pasar tradisional, buah pisang sering kali memiliki penampilan visual yang kurang menarik, seperti kulit yang kehitaman, bintik-bintik kecoklatan, dan tergores. Hal tersebut disebabkan oleh sifat buah pisang yang cenderung rentan terhadap kerusakan akibat proses respirasi yang masih berlangsung setelah dipanen.
Buah pisang termasuk dalam kategori buah klimaterik, yang berarti pematangannya masih berlanjut setelah dipetik, sehingga menyebabkan perubahan warna kulit, tekstur, dan rasa pisang. Proses pematangan tersebut juga menghasilkan etilen yang dapat mempercepat kematangan buah di sekitarnya. Untuk mengatasi laju respirasi yang meningkat selama pematangan, diperlukan inovasi dan manajemen penyimpanan pasca panen agar dapat mencegah perubahan fisiologis dan memperpanjang masa simpan pisang. Sistem penyimpanan yang canggih dapat memberikan kontrol suhu dan kelembaban yang lebih baik, dapat mengurangi risiko bintik-bintik kecoklatan, kulit kehitaman, atau goresan selama proses penyimpanan dan distribusi tradisional. Beberapa inovasi sederhana yang dapat dilakukan untuk menyimpan buah pisang pasca panen agar tidak mudah cepat membusuk setelah dibeli adalah dengan memanfaatkan penggunaan Fruit Storage Chamber (FSC), memadukan bahan penunda kematangan seperti KMnO4 (penyerap etilen) dengan Ca(OH)2 (penyerap CO2) dan asam askorbat (penyerap oksigen), serta Penyimpanan pada temperatur rendah dan pelapisan buah dengan lilin.
Fruit Storage Chamber (FSC) merupakan tempat penyimpanan buah pasca panen temuan salah satu dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dirancang untuk memperpanjang masa simpan buah setelah diperam. FSC dilengkapi dengan molekul senyawa nanoteknologi dari material science yang dapat berperan untuk mendegradasi etilen yang mempercepat proses pematangan buah pisang (Permana, 2019). Teknologi FSC ini dirancang menggunakan bahan dasar dari anyaman bambu dengan mengutamakan nilai ekonomis, keberlanjutan lingkungan, dan manfaat umum. Pemanfaatan bambu memberikan dampak signifikan dalam menghambat pembusukan buah pisang karena memiliki pelapis yang meredam oksigen sehingga buah dapat tahan lebih lama. Penggunaan FSC dapat menjadi salah satu inovasi atau metode penyimpanan buah pisang pasca panen yang efektif dan aman karena tidak menggunakan bahan kimia berbahaya atau bahan tambahan yang dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Bahan penunda kematangan seperti KMnO4, Ca(OH)2 dan asam askorbat dapat berperan dalam memperlambat pematangan buah pisang dan menjaga kualitasnya selama penyimpanan pasca panen. KMnO4 berperan sebagai penyerap etilen dan menghambat produksi hormon pematangan buah, sementara Ca(OH)2 dan asam askorbat berperan sebagai penyerap CO2 dan oksigen untuk menjaga kestabilan atmosfer penyimpanan. Dalam penggunaannya, masing-masing bahan penunda kematangan dibungkus dalam sachet berukuran sekitar 5,5 x 7,5 cm dan ditempatkan di antara sisir pisang tanpa menyentuh produk yang dibungkus dalam plastik.
Sachet terbuat dari kain porous yang memungkinkan udara untuk lewat (Napitupulu, 2013). Pisang dikemas dalam plastik PE atau plastik berdensitas rendah menggunakan metode pengemasan bentuk tandan dengan setiap kemasan plastik PE berisi satu tandan pisang. Proses pengemasan tersebut dapat dilakukan sehari setelah dipanen. Hasil dari penggunaan kombinasi KMnO4, Ca(OH)2, dan asam askorbat sebagai penunda kematangan menunjukkan bahwa buah pisang dapat bertahan hingga 25 hari dengan kualitas yang tetap baik dan masih layak pasar. Maka dari itu, penggunaan bahan penunda kematangan seperti KMnO4, Ca(OH)2, dan asam askorbat dapat menjadi pilihan inovatif untuk mencegah pembusukan buah pisang.
Inovasi penyimpanan buah pisang dengan perlakuan bahan pelapis lilin juga dapat mencegah berkurangnya berat buah selama penyimpanan. Umumnya, kulit buah mengandung lapisan lilin alami yang berfungsi sebagai perlindungan. Saat panen, sering kali lapisan tersebut dapat hilang. Oleh karena itu, pelapis lilin yang digunakan bertujuan untuk menggantikan lilin alami yang mungkin hilang selama panen atau memperbaiki penutupan pori-poriLapisan lilin dapat membantu mengurangi berkurangnya berat buah, menghambat kelembutan, membentuk penghalang bagi pertukaran udara sehingga menciptakan kondisi atmosfer termodifikasi dengan konsentrasi oksigen rendah dan CO2 tinggi, serta memperlambat proses pematangan.
Metode pelapisan buah pisang dapat menggunakan lilin lebah sebanyak 6%, lilin carnauba sebanyak 6%, dengan tambahan kontrol suhu dingin pada rentang 18-20C. Buah pisang awalnya dipisahkan dan getahnya dibiarkan mengering, lalu dicuci dan dikeringkan. Selanjutnya, buah pisang dicelupkan dalam larutan benlate 1000 ppm dan bahan pelapis selama 30 detik. Kombinasi penyimpanan pada suhu dingin dan pelapisan buah dengan bahan pelapis dari luar (eksogen) dapat memperpanjang masa simpan buah pisang hingga 10 sampai 25 hari lebih lama. Hal ini terjadi karena penyimpanan pada suhu dingin dapat mengurangi reaksi biokimia pada buah, menghambat produksi dan aktivitas etilen, serta memperlambat proses pelunakan. Oleh karena itu, perlakuan suhu dingin dapat menghasilkan perubahan warna kulit buah yang lebih lambat dibandingkan dengan suhu kamar.
Penggunaan pelapis lilin dalam menyimpan buah pisang dapat jadi inovasi yang efektif untuk perpanjang masa simpan dan jaga kualitas buah, serta mengurangi risiko kerusakan. Namun, penggunaan lilin sebagai pelapis buah pisang perlu harus tetap memperhatikan standar keamanan pangan dan keberlanjutan lingkungan, serta memastikan bahwa bahan yang digunakan aman bagi konsumen. Bahan pelapis dan cara aplikasinya perlu dipertimbangkan dengan cermat agar mencapai keseimbangan antara efektivitas, keamanan, dan keberlanjutan.
Sifat klimaterik dan proses pematangan buah pisang memengaruhi laju respirasi, menyebabkan perubahan visual dan karakteristik buah. Inovasi dalam teknologi penyimpanan, seperti pengembangan Fruit Storage Chamber (FSC) dengan bahan dasar bambu, penggunaan bahan penunda kematangan, dan pelapisan buah dengan lilin, bertujuan untuk memperpanjang masa simpan buah, menjaga kualitas, dan mengurangi risiko kerusakan fisik. Penggunaan bahan penunda kematangan seperti KMnO4, Ca(OH)2, dan asam askorbat telah terbukti efektif dalam memperlambat pematangan buah pisang, sementara pelapisan lilin, terutama dengan lilin lebah dan lilin carnauba, bersamaan dengan suhu dingin, dapat memberikan masa simpan yang lebih lama. Meskipun inovasi tersebut memiliki manfaat signifikan, penting untuk memperhatikan standar keamanan pangan dan keberlanjutan lingkungan dalam penerapannya. Dengan adanya berbagai macam pilihan inovasi, diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan industri pertanian dan memberikan manfaat bagi petani dan konsumen dalam mendapatkan buah pisang berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H