Di era digital seperti sekarang ini, individu dalam suatu negara akan dengan mudah berinteraksi dengan individu atau kelompok di negara lain, dalam praktiknya di Indonesia perkawinan tidak hanya dilakukan oleh sesama Warga Negara Indonesia saja, akan tetapi perkawinan juga dilakukan oleh Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.
Perkawinan ini disebut dengan perkawinan campuran. Perkawinan campuran terdapat rumusannya di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tetapi hanya terdapat di dalam Pasal 56-Pasal 60 mengenai definisi dan tata cara pelaksanannya.
Berdasarkan realita sosial mengenai perkawinan campuran ini, ada berbagai permasalahan yang didapat akibat pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda kewarganegaraan dan berbeda norma hukum yang mengaturnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku perkawinan campuran ini bukan hanya masalah administratif, tetapi juga permasalahan hukum seperti pencatatan pernikahan, perjanjian pernikahan, harta bersama, waris dan wasiat, hak-hak anak, dan ijin tinggal bagi pasangan kawin campur.
Seringkali para keluarga perkawinan campuran ini mendapat banyak permasalahan mengenai peraturan atau perundang-undangan yang sudah dianggap tidak relevan untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi, namun para keluarga perkawinan campuran tidak memiliki wadah aspirasi untuk menyuarakan berbagai macam permasalahan tersebut.
Di Indonesia, lebih dari 3 juta warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan perkawinan campur dengan warga negara asing (WNA) meminta agar pemerintah mempermudah keluarganya menjadi WNI.1 Sebagai sampel, jumlah pasangan kawin campur di Kota Malang, Pasuruan, Surabaya berjumlah 201 orang.
2 Sejumlah 201 orang tersebut merupakan pasangan kawin campur yang memiliki permasalahan keluarga terkait perkawinan campuran. Permasalahan tersebut seperti perjanjian kawin, pencatatan perkawinan, perkawinan dwi- kewarganegaraan, permasalahan kewarganegaraan anak, waris dan wasiat dengan pasangan WNA, serta hak ijin tinggal sementara dan hak ijin tinggal tetap.
Namun Undang-Undang saat ini belum mampu mem-back-up beberapa kasus perkawinan campur. Padahal muncul berbagai permasalahan yang diakibatkan dari kekosongan hukum yang mengatur tentang perkawinan campur ini, seperti pencatatan pernikahan, perjanjian pernikahan, harta bersama, waris dan wasiat, hak-hak anak, dan ijin tinggal bagi pasangan kawin campur, yang peraturannya menjadi berbeda dikarenakan adanya dua kewarganegaraan yang berlainan menuntut agar bisa mendapatkan hak-hak keperdataan sama seperti pasangan perkawinan perkawinan biasa.
Pada umumnya, para pasangan perkawinan akan mengajukan gugatan ke Pengadilan apabila mereka tidak mendapatkan hak-hak atau jika terdapat permasalahan keluarga.
Namun karena pelaku perkawinan campuran masih belum memiliki naungan hukum yang pasti berupa Undang-Undang khusus yang mengatur hal tersebut, maka menjadi sulit bagi para pasangan campur untuk menuntut hak mereka apabila terjadi permasalahan.
Berawal dari adanya ketidakpastian hukum bagi para keluarga perkawinan campuran ini menyebabkan adanya inisiatif dari seorang pelaku perkawinan campuran untuk mendirikan sebuah organisasi masyarakat perkawinan campuran Indonesia atau disebut Organisasi Perca Indonesia.