Menentukan bahwa apakah penyakit si fulan itu imtihan atau bala adalah bukan perkara mudah.
Masalah demikian ini sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, karena Anda suka pada si A maka ketika ia sakit, pasti Anda akan mengatakan bahwa sakitnya adalah ujian dan ampunan dari Allah serta untuk kenaikan derajat karena Allah cinta padanya. Sementara orang lain yang tidak suka padanya pasti akan berpendapat bahwa penyakitnya adalah balasan dan hukuman dari Allah dan memang ia layak sakit!
Oleh karena itu, mengabaikan hukum dan sunatullah di alam wujud dan menafsirkan fenomena wabah dan bencana seenak hati tanpa bukti yang ilmiah sehingga mendatangkan manfaat bagi kelompok tertentu dan membahayakan kelompok yang lain adalah sebuah kesalahan stategis yang besar.
Dalam teks agama yang paling kuno dijelaskan masalah penyakit Nabi Ayyub yang tersebut dalam perjanjian lama.
Ayyub menderita penyakit fisik yang luar biasa dan penyakit ini bukan karena dosanya. Jawaban yang kita dapatkan atas musibah ini adalah bahwa beliau sabar dan rida terhadap takdir Ilahi ini. Alquran menegaskan sebagaimana diisyaratkan oleh Ustaz Quraish Shihab bahwa penyebab musibah dan bala adalah jin/setan. Alquran tidak mengemukan kenapa Ayyub terkena keburukan ini yang sangat menggangu keamanan dan kenyamanannya? Kisah Nabi Ayyub ditutup oleh Alquran dengan aspresiasi dan pujian: Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya). (Surat Shad: 44)
Para filsuf yang bertauhid tentu tidak puas terhadap penjelasan di atas dan mereka berusaha mencari jawaban atas hikmah di balik sakitnya Nabi Ayyub, sedangkan filsuf yang ateis justru melihat hal ini sebagai bukti ketiadaan Tuhan. Para filsuf muwahhid berargumentasi seperti ini:
Syar (keburukan) bukan termasuk qadha (ketetapan) Ilahi sehingga wabah apapun bukan dari Allah. Bila demikian,maka syar keluar dari qadha dan qadar (takdir) Allah dan ini tentu tertolak secara akidah dan tauhid.
Dan setiap keburukan itu wajibul wujud (wujud yang Absolut) atau mumkinul wujud (wujud yang mungkin/relatif) dan bila wajibul wujud maka akan ada dua wajibul wujud sebagai sumber wujud dan ini tertolak secara akal. Bila syar (seperti wabah) bersifat mumkinul wujud maka ia harus menjadi muta’allaq (terkait dengan Allah) atau ma’lul (akibat/pengaruh dari Allah) atau ia muta’allaq dan ma’lul dari maujud yang lain, dan maujud yang lain ini (apapun) pasti tidak mungkin terpisah dari Zat Allah.
Saat menyaksikan kezaliman yang dilakukan oleh siapapun, hendaknya kita tidak tinggal diam dan menentangnya semampu kita.
Minimal kita doakan para pejuang kebenaran dan kemanusiaan dimanapun mereka berada. Dan hendaknya perhatikan kita tidak hanya terpusat kepada satu tempat dan satu negara saja. Dimanapun ada kezaliman terhadapumat Islam, kita harus peduli dan membela mustadh’afin.
Penyakit dan wabah Corona yang melanda Dunia sejatinya harmoni dan sesuai dengan rahmat mutlak Ilahi. Terkadang melalui penyakit ini, Allah membangunkan orang-orang yang tidur dan lalai serta mereka yang tidak peduli dengan perkembangan zaman serta dosa sosial yang sistematis dan masif.