Lihat ke Halaman Asli

KORUPSI TANPA SADAR

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyalahgunaan fasilitas kerja kedinasan yang dilakukan oleh oknum-oknum di kantor pemerintah sudah menjadi rahasia umum. Mulai dari hal-hal kecil seperti menggunakan kertas kerja, amplop, atau mesin fotocopy untuk keperluan pribadi sampai pada penggunaan kendaraan dinas diluar urusan kedinasan. Tidak heran jika terkadang kita melihat beberapa kendaraan berplat merah melintasi jalan-jalan atau tempat rekreasi dihari libur nasional/sekolah, cuti bersama dan sebagainya.

Fenomena ini memuncak ketika pemberitaan di beberapa media masa pada hari-hari menjelang lebaran lalu, dimana Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) dan Menteri Dalam Negari (Mendagri) serempak menggencarkan himbauan agar pegawai/pejabat pemerintah tidak menggunakan kendaraan dinas untuk mudik.

Pengunaan fasilitas kerja kedinasan di luar peruntukannya sebetulnya sudah ada larangan dalam Peraturan Pemeritah No. 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Dan sejak tahun 2005, KemenPAN mengeluarkan PermenPAN Per/87/M.PAN/8/2005 yang mengamanatkan bahwa: Kendaraan Dinas Operasional hanya digunakan untuk kepentingan dinas yang menunjang tugas pokok dan fungsi, digunakan pada hari kerja kantor, dan hanya digunakan di dalam kota, dan pengecualian penggunaan ke luar kota atas ijin tertulis pimpinan Instansi Pemerintah atau pejabat yang ditugaskan sesuai kompetensinya.

Namun kaberadaan peraturan tersebut seakan-akan tidak cukup, oknum pegawai pemerintah masih sering menyalahgunakan fasilitas kantor baik terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

Bahkan yang perlu kita cermati baik-baik, menjelang kampanye Pemilu nanti kebiasaan yang tidak baik dari pejabat incumbent khususnya di daerah, menyalahgunakan fasilitas kedinasan untuk kampanye politik.

Dalam kondisi dimana aturan hukum dibuat namun tidak dipatuhi atau aturan tersebut seakan-akan hanyalah sebuah himbauan atau pedoman yang boleh dipatuhi ataupun tidak, maka kita harus kembali melihat bagaimana seharusnya membangun “sistem hukum” secara utuh. Kebanyakan kita keliru menganggap bahwa dengan membuat peraturan tertulis yang baik, maka semua permasalahan selesai. Padahal tidaklah demikian karena peraturan tertulis hanyalah bagian kecil dari suatu sistem hukum.

Sistem hukum, terdiri dari 3 (tiga) elemen yang saling bergantung satu sama lain, yaitu: Struktur yang merupakan institusi pembuat dan/atau penegak hukum (seperti DPR, Polisi, Inspektorat, KPK, dsb); Substansi yaitu peraturan perundang-undangan (aturan tertulis); dan Budaya hukum yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyakat, disinilah terletak integritas.

Agar Sistem hukum  baik, maka 3 (tiga) elemen tersebut harus baik. Aturan tertulis dibuat namun tidak implementatif adalah ciri dari gagalnya sistem hukum. Kekeliruan kita seringkali melihat permasalahan secara parsial, tidak secara utuh. Kita tidak melihat bagaimana cara membangun budaya hukum yang sebetulnya paling penting dan menentukan efektifnya Sistem.

Dalam kasus penyalahgunaan fasilitras kedinasan, masing-masing elemen ada andil, untuk itu semua perlu dibangun. Pertama Membangun struktur, Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menyebutkan bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melaksanakan pengamanan dan pengendalian fisik atas aset negara dari penggunaan yang tidak sah. Dengan ketentuan ini, maka yang paling bertanggungjawab atas penyalahgunaan fasilitas kedinasan di suatu instansi adalah pimpinan instansi yang bersangkutan. Pimpinan instansi dapat mendelegasikan kewenangannya melalui biro umum atau Inspektorat selaku pengawas internal yang bertanggujawab langsung pada pimpinan instansi.

Permasalahannya kedudukan aparat pengawas internal yang tidak independen mengakibatkan pengawasan yang dilakukan tidak objektif, apalagi jika yang melakukan penyalahgunaan justru pejabat/pimpinan yang bersangkutan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, saat ini Kementerian PANRB sedang menyusun Rancangan Undang-Undang Sistem Pengawasan Internal Pemerintah (RUU SPIP) yang mengatur tentang sistem pengawasan internal baru dengan meletakan Inspektorat dalam struktur yang baru, dan mengamanatkan dibentuknya Inspektorat Nasional yang dipimpin pejabat setingkat Menteri. Dengan peraturan ini harapannya pengawas internal akan lebih independen, professional dan lebih kuat kedudukannya sehingga hasil pengawasannya dapat lebih objektif.

Disamping pengawasan internal, ada pengawasan eksternal yang dilakukan masyarakat baik dalam bentuk korporasi, LSM maupun individu. Namun tidak adil rasanya jika kita menyerahkan beban pengawasan tersebut kepada masyarakat yang memiliki keterbatasan terutama dalam mengakses informasi.

Tindakan menyimpang hampir selalu terjadi di ruang gelap, seseorang berani bertindak menyimpang karena dia yakin bahwa tidak ada orang lain yang melihat perbuatan mereka. Walaupun pemerintah telah mengupayakan langkah-langkah meminimalisir ruang gelap tersebut dengan menjamin terbukanya akses informasi kepada publik melalui Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), akan tetapi produk hukum ini bersifat pasif, menghendaki peran aktif masyarakat. Fungsi dan daya gunanya terletak pada masyarakat sebagai pengguna UU tersebut. Penekananya lebih pada inisiatif masyarakat untuk mengakses informasi, bukan pada tindakan aktif pemerintah untuk membuka akses informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat. Hasil penelitian Indonesian Governance Index terhadap 33 pemerintahan provinsi se Indonesia membuktikan UU KIP belum implementatif terutama dalam akses publik terhadap dokumen keuangan.

Kedua, Membangun Substansi, dimana pengaturan penggunaan fasilitas negara dalam PP 6/2006 dan PermenPAN Per/87/M.PAN/8/2005 juga perlu direvisi. Aturan ini tidak mengatur sanksi bagi yang melanggar dan karena peraturan ini diterbitkan oleh MenPANRB, ego sektoral sangat mempengaruhi implementasi peraturan tersebut di tiap-tiap K/L dan Pemda. Untuk itu perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang lebih kuat setingkat Undang-Undang yang tegas melarang penggunaan fasilitas dinas diluar kedinasan dan mengatur sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya.

Hukum islam mengajarkan bahwa seorang pegawai yang menggunakan peralatan kantor untuk kepentingan pribadi, seperti: menggunakan mobil dinas, mesin foto copy, telepon dan fasilitas lainnya untuk kepentingan pribadi juga termasuk salah satu bentuk korupsi. Karena jika seorang pegawai memakai peralatan tersebut di luar kantor pasti dia akan ditarik bayaran, maka sebanyak bayaran tersebut itulah dia telah menggelapkan uang Negara. Perbuatan ini termasuk ghulul dan nabi Muhammad SAW telah mengharamkan ghulul.

Seorang pegawai apabila telah diberi amanah untuk menduduki jabatan dan fasilitasnya, maka hendaklah ia tidak melanggar amanah tersebut. Karena Allah SWT telah mewajibkan orang beriman untuk memenuhi kontrak kerja. Al-Quran Surat Almaidah:1, Allah berfirman: “hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” Nabi Muhammad SAW juga bersabda: “orang-orang islam itu memenuhi perjanjian (persyaratan) yang telah mereka buat” (HR. Tirmizi. Hadis dishahihkan oleh Al-Albani). Dengan menyalagunakan fasilitas kedinasan menunjukkan bahwa pegawai/pejabat yang bersangkutan telah melanggar amanah yang diberikan kepadanya. Dengan kata lain, ia telah melanggar ketentuan Alloh dan rasulnya.

Dalam membangun substasi, saat ini Pemerintah sedang mengusung RUU Aparatur Sipil Negara, RUU Administrasi Pemerintah, dan RUU SPIP sebagai agenda reformasi birokrasi nasional.

Ketiga membangun budaya hukum, hal ini penting karena budaya hukum merupakan faktor yang paling mempengaruhi ketaatan subjek hukum (pegawai/ pejabat/masyarakat) terhadap hukum. Betapapun penegak hukum telah bekerja dengan keras dan aturan hukum dibuat dengan baik, tidak menjamin tercapainya tujuan penegakan hukum jika tidak diiring dengan pembangunan budaya hukum.

Kerja keras KPK dan sanksi pidana yang tegas bagi para koruptor, tidak serta merta menurunkan jumlah kasus tindak pidana korupsi di negeri ini, bahkan sebaliknya kejahatan yang berdampak luas tersebut justru makin meningkat. Hal ini menjadi contoh bahwa membangun struktur dan substansi saja tidak cukup.

Sulitnya menegakkan integritas dan mencegah terjadinya perilaku menyimpang dalam birokrasi, Karena persoalan utamanya adalah ketiadaan nilai dasar profesi yang dijadikan pedoman perilaku. Jika di beberapa jabatan dan instansi ada, nilai dasar itu belum terinternalisasi dengan baik dalam diri pegawai. Nilai-nilai akhlak luhur seperti kejujuran, amanah, dapat dipercaya, ikhlas dalam bekerja, dan zuhud, belum sepenuhnya diterapkan apalagi diinternalisasikan dalam diri setiap pegawai dan pejabat pemerintah.

Dua hal penting dimiliki seorang calon pekerja yang diupah termasuk aparat Negara agar dapat mengemban tugas sebagaimana mestinya. Persyaratannya yaitu jujur, dapat dipercaya serta cakap bekerja. Dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash : 26, Allah SWT mengisahkan proses pengangkatan Nabi Musa alaihissalam sebagai orang upahan untuk mengembalakan kambing seorang laki-laki yang soleh dari kaum Madyan. Salah seorang anak gadis dari laki-laki soleh tersebut menyatakan bahwa Musa alaihissalam memiliki dua sifat yang harus dimiliki oleh seorang pekerja, yaitu dapat dipercaya dan cakap bekerja.

Seorang yang dibebani tugas yang mulia sebagai aparat Negara, jika ia ikhlas melakukannya, selain mendapat gaji dari Negara ia juga mendapatkan pahala dari misi kebajikan yang dijalankannya. Setiap pekerja harus memahami bahwa bekerja bukanlah semata-mata untuk meniti karier, tetapi juga merupakan manifestasi dari nilai ibadah kepada Allah SWT.

Sifat zuhud dan tidak tamak dengan gemerlap dunia merupakan penyebab utama seorang pegawai dapat bersikap jujur, bersih dan tidak korup. Melalui Surat Edaran MenPAN No. 18 tahun 2012, Menteri PANRB kembali mengingatkan tentang sifat ini untuk dimiliki oleh setiap pegawai, apalagi  saat ini kebanyakan pejabat seakan-akan saling berlomba menunjukan kemewahan hidup.

Penyakit kejiwaan birokrasi memang bukan bersifat individual, ia terbangun karena system yang bobrok (psycho-bureaupathology). Namun system yang bobrok itu muncul karena sebetulnya dirancang oleh individu-individu yang “tidak mengedepankan nilai-nilai luhur” yang seharusnya dimiliki oleh setiap pegawai tersebut.

Untuk itu langkah yang harus dilakukan adalah, bagaimana kita mulai membangun dan mengiternalisasikan nilai-nilai luhur tersebut kepada para pegawai/pejabat? Negara yang menganut budaya patrimonial yang kuat seperti Indonesia dimana selalu menempatkan para pemimpin/pejabat sebagai patron yang dianggap selalu baik dan benar, maka perubahan akan lebih mudah dilakukan jika diawali dengan Pimpinan. Pimpinan/pejabat haruslah orang-orang yang dapat memberi contoh bagaimana bersikap jujur, ikhlas, dan zuhud, serta bagaimana seharusnya menggunakan fasilitas kantor dengan baik kepada bawahan dan masyarakat. Untuk mendukung hal ini, pembuat kebijakan dapat membangun system prosedur seleksi pegawai/pejabat yang mengutamakan kepribadian calon pejabat sebagai syaratnya. Dan malelalui Pemuli, kita dapat mengajak masyarakat untuk mencermati dan memilih calon-calon pemimpin yang memiliki keribadian unggul, bukan sematas-mata popular apalagi hanya banyak uang.

Ditulis ulang oleh Syeh Saifuddin, tulisan di sadur dari opini Laode Rudita, Freelance Konsultan dan Staf Pengajar Program Doctoral Pasca Sarja Universitas Brawijaya, Jakarta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline