Tantangan global yang dihadapi saat ini mulai dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang begitu pesat, ekonomi bebas ASEAN 2015 yang makin mendekat, sumber daya alam yang makin terbatas, dan kompleksitas permasalahan lainnya yang makin sulit diatasi, memaksa negara-negara di dunia tidak terkecuali Indonesia harus bersiap diri menghadapinya. Lebih-lebih jika tantangan tersebut muncul diluar prediksi (unpredictable), bagaikan tamu yang tidak diundang, seringkali tuan rumah tidak siap menyambutnya.
Berbagai penelitian menyimpulkan, untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan pemerintahan yang mampu bergera cepat, fleksible, dan dinamis dengan batasan-batasan norma sebagai cermin dari tata pemerintahan yang baik (good governance). Dengan tata pemerintahanbercirikan dinamis ini, Negara akan mampu menghadapi berbagai perubahan zaman baik yang predictable maupun unpredictable karena didukung oleh sistem proses dan SDM yang adaptive.
Lalu bagaimana dengan Indonesia saat ini? Indonesia Governance Index (IGI) 2012 menunjukan bahwa kinerja tatakelola pemerintah secara nasional dari skala 10 hanya mencapai 5,70 dengan efektifitas birokrasi hanya mencapai 5,38. Hal ini dikuatkan dengan publikasi Worldwide Governance Indicator oleh World Bank 2013, yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2012kinerja pemerintahan Indonesia cenderung tidak membaik. Bahkan berdasarkan indikator efektivitas pemerintahan (government effectiveness),menempatkan Indonesia bersama Vietnam pada posisi terendah dibandingkan dengan 7 (tujuh) nagara ekonomi asia lainnya seperti Singapura, India, Malaysia, Thailand, China, dan Filipina. Rendahnya efektifitas pemerintahan tersebut diukur dari rendahnya beberapa variable pendukungnya antara lain rendahnya kualitas pelayanan publik, SDM aparatur yang tidak kompeten dan tidak independen, rendahnya kualitas kebijakan, dan rendahnya komitmen penerapan kebijakan.
Dengan kondisi ini maka keberlangsungan pemerintahan Indonesia masih jauh dari harapan. Kondisi yang tidak sebanding dengan tuntutan lingkungan strategis, seperti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, globalisasi, serta harapan masyarakat terhadap kinerja pemerintah terus berkembang, sejalan dengan perkembangan dan dinamika masyarakat. Masyarakat menginginkan pelayanan real time dan on time, sementara pelayanan cenderung berbelit-belit, memakan waktu, dan tidak akuntabel. Pemerintah sebagai unsur pelayanan publik dituntut lebih kreatif, inovatif, dan cerdas mengekspresikan mana yang harus dilakukan dengan skala prioritas, serta mampu membedakan antara yang urgent dan tidak. Dalam situasi ini, Pemerintah tidak bisa tinggal diam melihat kesenjangan antara kondisi dan tuntutan strategis tersebut, karena hanya negara yang memiliki sistem administrasi negara yang efisien dan efektif dapat bersaing dengan negara-negara lain.
Indonesia harus melakukan perubahan sistem secara fundamental baik dilevel mikro maupun makro. Pada level makro, diperlukan perubahan sistem secara nasional yang salah satu langkahnya yaitu melalui reformasi hukum, yaitu reformasi yang dilakukan disektor hukum yang meliputi aspek regulasi, penegakan hukum, dan budaya hukum masyarakat. Perbaikan dibidang regulasi dilakukan dengan melakukan harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan dengan mengubah atau mengganti perundang-undangan yang overlapping, bertentangan satu dengan yang lain, atau tidak lagi relevan diterapkan. Dalam perbaikan ini, satu Undang-Undang yang paling esensial diperlukan adalah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah (UU AP).
Rancangan UU AP yang baru saja disetujui untuk menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada tanggal 26 September 2014, sangat diperlukan untuk mewujudkan pemerintahan dinamis. Adapun beberapa alasan pentingnya UU AP antara lain: pertama, menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahaan, UU AP berfungsi sebagai manual book/pedoman pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya mengambil keputusan dan tindakan. Selama ini tidak ada standar baku bagaimana pemerintah menjalankan kewenangannya, darimana sumber kewenangan tersebut, time frame-nya dan bagaimana pertanggungjawabannya? kapan seorang pejabat dapat melakukan diskresi dan batasan-batasan apa diskresi itu dilakukan juga tidak jelas. Tidak adanya standarisasi dalam tata laksana pengambilan keputusan/tindakan administrasi pemerintahan ini mengakibatkan sulitnya mewujudkan kepastian hukum bagi pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Kondisi ini berimplikasi pada lambatnya akselerasi pemerintahan karena pejabat pemerintah seringkali tidak berani bertindak cepat dalam mengatasi persoalan-persoalan yang memerlukan penyelesaian cepat. Jika tindakan cepat itu dilakukan, yang ada justru mereka rentan untuk dikriminalisasi karena dianggab menyalahgunakan wewenang.
Hal ini tidak sesuai dengan keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, dimana setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah harus berdasarkan hukum. Segala tindakan penyelenggara Negara dan warga Negara harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang berdasarkan jenis dan hierarkinya terdiri dari UUDNRI Tahun 1945;Tap MPR; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;Peraturan Pemerintah;Peraturan Presiden;Peraturan Daerah Propinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten; Serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang diakui keberadaannya danmempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Maka kehadiran UU AP menjadi penting untuk menjamin kepastian hukum dan meningkatkan akselerasi pemerintahan.
Kedua, UU ini menjadi ketentuan Materiil Hukum Administrasi Pemerintah. Jika ditinjau dari sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan, sadar atau tidak, selama ini kita belum menerapkan prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan dengan baik. Peraturan Formil tentang bagaimana cara menegakkan hukum Materiil administasi pemerintah justru lahir lebih dahulu sejak 1986 melalui UU Nomor 5 tahun 1986 dengan beberapa kali perubahannya. Sementara itu, peraturan Materiil yang menjadi rambu-rambu pokok administrasi pemerintahannya, justru baru terbentuk dengan UU AP. Suatu tahapan pemberlakuan perUUan yang terbalik, anaknya lahir duluan sebelum bapaknya lahir. Kondisi ini mengakibatkan Hakim-Hakim peradilan TUN kesulitan dalam mengadili sengketa administrasi pemerintahan, karena tidak ada ukuran pasti kapan hukum administrasi itu dilanggar oleh pejabat pemerintah. Akibatnya yang menjadi tolak ukur adalah norma kebiasaan dan Yurisprudensi. Maka dengan lahirnya UU ini, akan memudahkan hakim dalam memberikan keputusan terhadap ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan administrasi pemerintah baik untuk melindungi Pejabat dari kiriminalisasi maupun melindungi masyarakat dari keputusan yang menimbulkan kerugian.
Ketiga, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUP) sebagaimana telah diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, masih menjadi asas-asas yang bersifat umum yang perlu dioperasionalkan terutama dalam ranah administrasi pemerintah. Tidak ada ukuran tegas kapan seorang pejabat pemerintah telah menerapkan AAUP dan sebaliknya kapan ia melanggarnya. Untuk itu, konkritisasi AAUP tersebut kedalam norma-norma hukum yang lebih tegas dan kongkrit menjadi penting sehingga jelaslah bagaimana cara-cara pejabat pemerintah melaksanakan tugasnya dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
Dari berbagai pentingnya UU AP tersebut, maka setidak-tidaknya UU ini memiliki 3 (tiga) tujuan, antara lain:
1.Meningkatkan kualitas dan akuntabilitas pemerintah;
2.Meningkatkan akselerasi pemerintah; dan
3.Mempererat hubungan warga masyarakat dengan pemerintah.
Untuk membatasi ruang lingkup pembahasan, berikut ini akan membahas dan menguraikan tentang bagaimana UU AP dapat mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.
B.Meningkatkan kualitas dan akuntabilitas Pemerintah
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa salah satu penyebab rendahnya efektifitas pemerintahan Indonesia adalah disebabkan oleh rendahnya kualitas kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk. Banyaknya kebijakan/peraturan perundang-undangan yang overlapping, disharmoni, saling bertentangan antara yang satu dengan lainnya, dan tidak lagi relevan untuk diterapkan, telah menjadi sekelumit masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas kebijakan di Indonesia.
Pada dasarnya hampir setiap K/L dan Pemda bertugas melakukan sinkronisasi atau harmonisasi kebijakan/peraturan perundang-undangan sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Bahkan DPR/DPRD dalam fungsinya melakukan pengawasan, budgeting, dan legislasi juga menyangkut harmonisasi. Namun persoalan klasiknya adalah tidak adanya koordinasi yang baik antar instansi tersebut, kewenangan yang tumpang tindih, ego sektoral, dan faktor terkait lainnya semakin memperkeruh suasana. Belum lagi kondisi SDM pemerintah dimana pejabat fungsional yang fokus melakukan sinkronisasi seperti legal drafter, peneliti, analis kebijakan jumlahnya masih terbatas. Dengan situasi ini, dapat dikatakan bahwa institusi yang sudah ada belum memiliki kapasitas yang memadai untuk menyelesaikan permasalahan disharmoni kebijakan/peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan ini, misalnya membentuk atau memakasimalkan fungsi lembaga pemerintah yang spesialisasinya melakukan harmonisasi kebijakan/peraturan perundang-undangan, memanfaatkan teknologi informasi dengan membentuk data based peraturan perundang-undangan yang terintegrasi baik bidang maupun hirarkisnya, mengubah tata cara perumusan peraturan perundang-undangan yang lebih efektif, efisien, dinamis dan menjamin kualitasnya, dan melibatkan masyarakat dalam setiap perumusan peraturan perundang-undangan.
Untuk membatasi pembahasan, tulisan ini tidak akan menguraikan satu-persatu solusi tersebut tetapi akan berfokus pada pertanyaan bagaimana UU AP menjamin kualitas dan akuntabilitas kebijakan pemerintah? setidak-tidaknya ada 3 (tiga) langkah yang diterapkan untuk menjamin kualitas dan akuntabilitas kebijakan pemerintah, antara lain: keputusan dikeluarkan oleh Pejabat yang Berwenang; setiap keputusan harus menguraikan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis pengambilan keputusan; serta setiap pengambilan keputusan atau tindakan harus melibatkan masyarakat yang berkepentingan.
Suatu keputusan atau tindakan administrasi pemerintah dapat memiliki implikasi yang luas, baik bagi internal instansi atau eksternal instansi, baik menyangkut individu atau kelompok. Implikasi ini amat ditentukan oleh cakupan keputusan/tindakan tersebut. Dalam praktik, implikasi ini bisa bersifat menguntungkan atau merugikan subjeknya. Untuk itu, setiap keputusan/tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu jaminan adanya pertangungjawaban tersebut adalah bahwa setiap keputusan/tindakan harus diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
Selama ini, akuntabilitas dari keputusan/tindakan administrasi pemerintah Indonesia amat rendah diakibatkan oleh tidak adanya ukuran pasti siapa yang harus bertanggung jawab dengan terbitnya suatu keputusan/tindakan. Ketika masyarakat atau individu merasa dirugikan dari suatu keputusan administrasi pemerintah, mereka seringkali kebingungan harus menuntut kemana karena badan/pejabat yang mengeluarkan keputusan saling lepar tanggung jawab. Permasalahan ini sering terjadi terutama disektor perizinan.
Selama ini yang menjadi pedoman untuk menentukan akuntabilitas keputusan/tindakan administrasi pemerintah hanyalah teori/doktrin-doktrin, dan/atau yurisprudensi. Dengan lahirnya UU AP, secara tegas diatur bahwa untuk menentukan pertanggungjawaban atau sah-tidaknya suatu keputusan/tindakan administrasi pemerintah, ditentukan oleh tiga hal, yaitu :
- Kewenangan pejabat yang mengeluarkan keputusan/tindakan;
- Prosedur mengeluarkan atau melaksanakan keputusan/tindakan; dan
- Substansi keputusan/tindakan tersebut.
1.Kewenangan pejabat pemerintah
Sebelum UU AP berlaku, tidak ada kepastian hukum dari mana sumber kewenangan administrasi pemerintah diperoleh. Jika peraturan perundang-undangan tidak tegas mengaturnya, maka tidak jelas dari mana kewenangan tersebut diperoleh? Batasan-batasan apa kewenangan tersebut digunakan? Dan bagaimana pertangungjawabannya? Hal ini mengakibatkan sulitnya mengukur dan menentukan akuntabilitas kebijakan pemerintah karena ada ketidak pastian hukum dalam kewenangan. Tidak mudah untuk menentukan apakah suatu keputusan sah atau tidak, karena persoalan kewenangan.
UU AP menentukan ada 3 (tiga) cara pejabat pemerintah memperoleh kewenangan, yaitu: Kewenangan yang diperoleh melalui Atribusi, Kewenangan yang diperoleh melalui Delegasi, dan Mandat.
Untuk memperjelas 3 (tiga) cara memperoleh kewenangan tersebut, bagan di bawah ini akan menguraikan perbedaan dan persamaannya.
SUMBER KEWENANGAN PEMERINTAH
ARTIBUSI
DELEGASI
MANDAT
Pemberian Kewenangan kepada Badan atau Pejabat Pemerintahan oleh UUDNRI 1945 atau UU.
Pelimpahan Kewenangan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah.
Pelimpahan Kewenangan dari Badan atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah.
Syarat kewenangan:
a.diatur dalam UUDNRI 1945 dan/atau UU; dan
b.merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak ada.
Kewenangan atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam UUDNRI Tahun 1945 dan/atau UU.
Syarat kewenangan:
a.diberikan oleh Badan /Pejabat Pemerintahan di lainnya;
b.ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perUUan; dan
c.merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.