Lihat ke Halaman Asli

Undang-undang Desa tidak Mencerminkan Semangat Reformasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mendongkrak kualitas pelayanan publik,salah satunya adalah dengan melahirkan kebijakan nasional yang diharapkan dapat langsung menyentuh substansi peningkatan pelayanan publik di seantero negeri. Masih segara dalam ingatan kita bahwa secara beruntun Pemerintah dan DPR RI mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN)dan tidak berselang lama kemudian lahir Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa ini diinisiasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Peraturan yang telah disahkan pada tanggal 15 januari 2014 lalu ini telah mensinergikan sejumlah prinsip keterpaduan misalnya perencanaan partisipatif desa, implementasi kegiatan berbasis desa, kolaborasi antar-desa dan upaya meningkatkan mekanisme akuntabilitas.Dengan disahkannya UU Desa ini, masyarakat diharapkan mengemban tanggung jawab dan kendali atas urusan desanya, dalam upaya pemenuhan kebutuhan pembangunan. Musyawarah tahunan masyarakat desa akan menjadi forum tertinggi dalam pengambilan keputusan.

Kedua produk hukum yang bagaikan saudara kandung ini (karena memiliki bapak yang sama yaitu Komisi II DPR-RI), memiliki lingkup pengaturan yang sedikit berbeda namun sama-sama mengatur manajemen SDM aparatur. Jika UU ASN merupakan lex specialist kebijakan Manajemen SDM aparatur secara nasional, sedangkan UU Desa fokus pada kelembagaan, tata laksana, dan jugaSDM aparatur Pemerintahan Desa. Dengan sama-sama mengatur mengenai manajemen SDM, maka potensi konflik kewenangan dalam kedua peraturan ini rentan terjadi sehingga dapat menimbulkan ketidakharmonisan kebijakan pemerintah.

Potensi Masalah

Menurut Laode Rudita, Konsultan Hukum dan Peraturan RTR-C Kemitraan, setidaknya ada 3 potensi besar yang kemungkinan dapat menjadi konflik kewenangan dan hal ini harus menjadi focus perhatian pemerintah dalam melakukan konsultasi publik UU ASN kaitannya dengan UU Lainnya.

UU Desa tidak mengatur adanya seleksi dan syarat kompetensi yang memadai (hanya lulus SMA) bagi seseorang untuk dapat menjadi perangkat desa. Terlepas dari masalah ketersediaan SDM di pedesaan yang masih minim, kepala Desa hanya perlu konsultasi dengan Camat untuk mengangkat atau memberhentikan perangkat desa.Hal ini menyebabkan aparat pemerintahan (perangkat desa) dapat digunakan sebagai sarana politik, dan melakukan KKN dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan semangat reformasi dan tujuan diberlakukannya UU Desa itu sendiri, misalnya Pasal 83 yang mengamanatkan penyelenggaraan pemerintahan desa untuk meningkatkan pelayanan dan sebagainya”.

Untuk mengharmonisasi gap yang terdapat dalam kedua peraturan ini, Laode memberikan alternatif solusi, “dalam Peraturan Daerah Kabupaten/kota harus merumuskan adanya seleksi dan syarat kompetensi untuk mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa, Sebagai perbandingan, UU 23/2014 (UU Pemda) mensyaratkan adanya kompetensi pemerintahan bagi ASN yang menduduki jabatan kepala Perangkat Daerah. Atau alternatif solusi lainnyaharus diperjelas bahwa Perangkat Desa adalah PPPK, sehingga pengangkatan dan pemberhentiannya berdasarkan kompetensi dan kinerja sesuai UU ASN”.

Menurut UU ASN, pada dasarnya pegawai di instansi pemerintah ada 2 (dua) jenis, yaitu PNS dan PPPK. Sementara UU Desa tidak mengatur secara eksplisit apakah perangkat Desa merupakan PNS atau PPPK. Satu-satunya dasar hukum yang berbicara tentang status perangkat desa ini sebelum lahirnya UU Pemda yang baru adalah Pasal 202 UU 34/2004 yang menyatakan bahwa:sekretaris Desa sebagai salah satu perangkat Desa adalah ber status PNS. Sehingga sekdes yang bukan PNS sebelum UU 34/2004 berlaku, secara bertahap diangkat menjadi PNS.

Laode menambahkan “Jika perangkat Desa merupakan pegawai ASN sebagaimana Perangkat Daerah dalam UU Pemda, maka berdasarkan UU ASN dan UU 30/2014 (UU AP), kewenangan mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa lebih tepat diemban oleh Bupati/Walikota selaku Pejabat Pembina Kepegawaian daerah, dan kemudian kewenangan tersebut dapat disub-delegasikan ke Kepala Desa.Atau jika perangkat Desa bukan pegawai ASN, maka kewenangan Kepala Desa tersebut mutlak diberikan oleh UU, yang tanggungjawabnya melekat pada Kepala Desa bukan mengatasnamakan bupati/walikota.

Penggunaan istilah “atas nama” (a.n) dapat menimbulkan masalah karenaberdasarkan Pasal 14 UU AP, “atas nama” digunakan untuk penggunaan wewenang Mandat dari atasan ke bawahan. Untuk itu, kepala Desa menggunakan kewenangan “Mandat” dari Bupati/Walikota untuk mengangkat atau memberhentikan perangkat Desa. Pemberian Mandat dari Bupati/Walikota ke kepala Desa seakan-akan dipaksakan oleh UU.Padahal Mandat muncul dari penugasan oleh atasan bukan perintah UU, karena tanggung jawab Mandat tetap berada pada pemberi mandat (Bupati/Walikota).Kewenangan “Mandat” hanya diberikan oleh atasan  untuk melaksanakan tugas rutin, dan Pejabat yang memperoleh wewenang Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.

Kalaupun UU Desa tidak segera direvisi, maka peraturan daerah setiap kabupaten/kota tentang perangkat Desa harus memperhatikan persoalan ini dengan memaknai penggunaan atas nama tersebut sesuai dengan UU.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline