Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa penyebab gelombang panas di Asia pada tahun 2023 disebabkan oleh fenomena gelombang panas atau yang disebut juga dengan ‘heatwave’. Gelombang panas atau heatwave merupakan suatu periode cuaca dengan kenaikan suhu panas yang tidak biasa yang berlangsung secara siginifikan setidaknya selama lima hari berturut-turut atau lebih, hal ini sesuai dengan batasan Badan Meteorologi Dunia atau WMO. Suatu tempat atau lokasi yang terkena dampak dari heatwave ini harus mencatat suhu maksimum harian apabila melebihi ambang batas statistik, misalnya tiga hingga lima derajat celcius lebih panas apabila dibandingkan dengan rata-rata klimatologis suhu maksimum. Akan tetapi, suatu lokasi tidak dapat diklasifikasikan sebagai gelombang panas apabila dalam hal ini suhu maksimumnya terjadi dalam rentang rata-rata biasa dan tidak berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama.
Gelombang panas ini biasanya disebabkan oleh semakin berkembangnya pola cuaca sistema tekanan atmosfer yang tinggi di suatu area dengan luasan yang besar secara persisten dalam beberapa hari, yang berkaitan dengan aktivitas gelombang di troposfer bagian atas. Dalam sistem tekanan tinggi tersebut, udara bergerak dari atmosfer bagian atas yang nantinya menekan udara di permukaan sehingga suhu di permukaan semakin meningkat, hal ini disebabkan karena umpan balik antara kedua hal yakni massa daratan dan juga atmosfer. Pusat tekanan atmosfer yang cukup tinggi ini menjadikan aliran udara dari daerah lain kesulitan mengalir ke area tersebut dan semakin lama sistem tekanan tinggi berkembang dan menyebabkan semakin tingginya pula gelombang panas di area tersebut serta semakin sulitnya awan yang tumbuh di wilayah tersebut.
Berdasarkan informasi dari Ahli Meteorologi dan Geofisika menjelaskan bahwa latar belakang dari sebagian besar wilayah Asia megalami gelombang panas, hal ini disebabkan oleh adanya bangunan besar yang bertekanan tinggi yang mencapai hingga Teluk Benggala hingga Laut Filiphina. Skala gelombang panas ini memiliki ciri khas perubahan iklim, hal ini selaras pula dengan yang disampaikan dengan Profesor Emeritus David Karoly dari School of Geography, Earth and Atmospheric Sciences University of Melbourn yang menjelaskan bahwa gelombang panas ini semakin diperburuk dengan adanya perubahan iklim. Sementara itu, berdasarkan informasi Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menjelaskan bahwa Indonesia tidak mengalami gelombang panas seperti negara-negara di Asia lainnya meskipun suhu di Indonesia sepanjang awal tahun 2023 ini cukup tergolong panas.
Dalam hal ini para ilmuwan telah lama memperingatkan bahwa gelombang panas akan menjadi lebih buruk karena dampak krisis iklim yang disebabkan oleh manusia semakin cepat. Kondisi ini pun menjadi sinyal buruk menjelang musim panas belahan bumi utara, di mana pola cuaca El Nino yang muncul mendorong merkuri ke tingkat tinggi, dan belum pernah terjadi sebelumnya, di bagian selatan benua. El Nino - ditandai dengan suhu laut yang lebih hangat di seluruh Pasifik - berdampak luas pada pola cuaca di seluruh dunia. Perubahan iklim merupakan setiap perubahan jangka panjang dalam pola cuaca rata-rata, baik secara global maupun regional. Perubahan iklim ini telah terjadi berkali-kali dalam sejaraah dan dikarenakan berbagai alasan. Namun, dalam hal ini setiap perubahan jangka panjang dalam pola cuaca rata-rata, baik secara global maupun regional. Perubahan iklim telah terjadi berkali-kali dalam sejarah bumi, dan karena berbagai alasan. Para ilmuwan di dunia pun mencoba untuk untuk melacak iklim dari waktu ke waktu, semuanya memperjelas bahwa perubahan iklim saat ini terkait dengan emisi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida dan metana. Gas-gas ini menjebak panas dari sinar matahari di dekat permukaan bumi, seperti dinding kaca rumah kaca yang menahan panas di dalamnya. Perubahan kecil dalam proporsi gas rumah kaca di udara dapat menambah perubahan besar dalam skala global, rata-rata dari efek gas rumah kaca adalah meningkatkan suhu global.
Selanjutnya, untuk dapat menanggulangi adanya perubahan iklim yang akan semakin berdampak pada semakin tingginya gelombang panas, maka sudah seharusnya manusia memikirkan solusi dan alternatif lain untuk menyelamatkan bumi. Beberapa cara yang dapat dilakukan yakni dengan memperhatikan pembangunan dan pengembangan gedung dan kota. Sebagian besar penggunaan energi yang digunakan untuk bangunan dan konstruksi berasal dari emisi karbon dioksida. Infrastruktur perkotaan dalam jumlah besar akan dibangun dalam 15 tahun mendatang, seiring percepatan migrasi desa ke kota maupun sebaliknya. Hal ini merupakan peluang untuk memperbaiki bangunan yang didirikan, meningkatkan standar bangunan, dan memikirkan kembali perencanaan kota seperti memberikan insentif untuk mini-grid solutions atau solusi jaringan mini. Selain daripada hal tersebut, untuk menuju energi terbarukan serta denggan menghentikan pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Kemudian juga diperlukan mengarahkan subsidi bahan bakar fosil untuk mendorong investasi skala besar dan penciptaan lapangan kerja dalam energi terbarukan. Pada saat yang sama, masyarakat global membutuhkan standar efisiensi energi untuk peralatan listrik (penerangan, mesin listrik, transformer) dan transisi menuju peralatan listrik berlabel efisiensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H