Lihat ke Halaman Asli

Teater di Bawah Atap Rumah

Diperbarui: 26 Mei 2024   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KKN. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Eh, sudah pulang?" Suara deritan pintu tua merusak keheningan malam. Wanita tua itu masuk rumah dengan menenteng keranjang yang berisi barang belanjaan. "Iya. Ibu tumben, belanja malam-malam?" Jawab anak muda yang ditanya. Sejenak wajah wanita yang dipanggil Ibu itu berekspresi aneh. Mengerutkan dahi dan tertawa datar, "Tumben? Ibu selalu belanja waktu malam, Nak. Ada-ada saja." Anak muda itu bergumam-gumam, "Beli ikan tidak, Bu? Kalo iya, aku minta seekor ya," pintanya.

"Kamu 'kan nggak suka ikan?" Wanita itu heran. "Mulai suka." Dan si Anak mengelak atas keheranan Ibunya.

"Kemarin, ikan di kolam hilang semua. Jangan-jangan kamu yang makan?" Wanita itu melontarkan candaan. Dia menyindirku. Awas saja, akan kubalas nanti kalau ia sudah ketahuan.

"Bu... Itu konyol sekali." Anak itu membalas candaan Ibunya.

"Apanya? Dugaan Ibu konyol?" Percakapan yang tidak seberapa ini menjadi bernada serius.

"Bukan, Ibu yang konyol."

"Beraninya seorang anak berkata begitu kepada orang tua."

Kali ini sepertinya seserpih candaan akan menjadi sebongkah pertengkaran. Anak itu memegang dua pundak si wanita.

"Bu, jangan terus kekonyolan ini... Ibu selalu saja datang tiap hari peringatan. Berbahagialah. Hari ini 'kan seharusnya pintu Ibu sudah dibuka." Dasar. Bisa-bisanya ia tepat merasuki tubuh orang yang sudah mati. Berarti ini hari keempat puluhnya.

Semua yang dua orang bicarakan itu semakin rancu. Tidak jelas akan dibawa ke mana. Aku sih, santai. Hanya menyimak saja. Tepat di langit-langit rumah mereka. 

Seru juga. Menguping pertunjukan 'rahasia' kecil sambil menyantap ikan-ikan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline