Lihat ke Halaman Asli

Ingatlah Aku

Diperbarui: 9 April 2024   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pertama kalinya aku ke makam Bapak (panggilanku untuk Kakek). Sepi, tenang, dan semoga nyaman seperti yang aku bayangkan. Tidak terasa ya, sudah lima bulan kehidupanku berjalan tanpa Bapak. Ada bagian dari rumah Mbah (panggilanku untuk Nenek) yang hilang, meninggalkan kehampaan. Tapi lama-kelamaan kehampaan itu terisi kembali oleh harapan baru yang terus berdatangan, kehangatan yang mengitari. Ada satu ketakutan, yang mungkin hanya ketakutanku sendiri: Melupakan Bapak. Semakin hari berganti, aku semakin lupa pada wajah Bapak. 

Jelas aku masih hafal semua kebiasaannya. Beliau suka merokok di teras rumah sambil menikmati kopi pahit, mencabuti satu per satu anak rambut di janggutnya yang sudah memutih menggunakan dua koin yang saling digesek. Ikan asin, nasi goreng, dan pete adalah makanan kesukaannya. Sampai sekarang aku masih meniru kebiasaan-kebiasaan kecilnya, seperti memakan bagian ekor ikan dahulu lalu menggerogoti sampai duri-durinya. 

Tiga bulan sebelum Bapak wafat, beliau jatuh sakit. Sakit yang misterius. Aku yang awalnya merasa semua hal normal-normal saja, terkejut, karena belum genap dua bulan beliau mengidap penyakit itu, seluruh tubuhnya bengkak. Waktu itu awal-awal aku masuk ke sekolah, sibuk, hanya sempat menjenguknya sesekali. Bodohnya diriku, aku bahkan tak mampu menatap matanya. Sulit menjadi orang yang perasa, begitu aku melihat matanya, aku ingin menangis. Sesuatu mencekikku dari dalam.. Seolah merasakan sakit itu juga.

Aku ingin menemaninya, mengajaknya mengobrol agar beliau tidak kesepian. Tapi yang terjadi malahan aku tidak berani mendekat sejengkal pun. Kukira waktu yang akan kuhabiskan bersamanya masih banyak. Berkebalikan, beliau tiba-tiba drop. Hanya bisa berbaring lemah di kasur. Lalu dua minggu setelahnya, beliau meninggalkanku untuk selama-lamanya.

Semalam sebelum beliau meninggal, aku menangis tak keruan di kamar. Belum ada yang tahu tentang itu. Aku tidak sabar melihat Bapak pulang ke rumah. Kata Bunda, ingatan Bapak sudah tak seperti dulu lagi. Rasa-rasanya aku takut dilupakan olehnya sekaligus takut ditinggalkan.. Dan besok, benarlah satu dari dua ketakutanku terjadi.

Sampai sekarang tercetak jelas peta-peta detail di ingatanku tentang Bapak. Semua kenanganku bersamanya. Saat aku merengek-rengek, digendongnya ke sawah atau diajaknya jalan-jalan.. Pak, semoga Bapak juga mengingatku ya..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline