Lihat ke Halaman Asli

Silakan Pergi: Bagian 2

Diperbarui: 29 Januari 2024   17:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Mei histeris di kamarnya. Beberapa hari lalu, ia bersepeda ke jalan raya dan hampir terserempet oleh motor. Ia menghindar ke pinggir jalan lalu terjatuh, tidak keras, tapi kulitnya bergesekan dengan aspal yang kasar dan panas. Belum lagi kakinya terkilir, alhasil, sekarang kakinya bengkak dan lecet-lecet. Mei harus rutin diobati, dan hal itulah yang menyiksanya.

            "Sakit!" Mei menangis juga menjerit-jerit saat pembalut lukanya diganti oleh dokter, bahkan setelah selesai. "Dasar hiperbolik," kata Li mencibir. "Wah, kau tidak tahu rasanya hanya bisa ngomong saja! Sini, kita tukaran nyawa kalau kau berani," Mei melontarkan kalimat pedas andalannya. Kalau sudah begini, Li tinggal menambahkan merica agar makin pedas. "Dulu aku juga pernah sepertimu waktu kecil. Kakiku terkilir karena bermain bola, ditambah tulang hastaku patah. Tapi yah... aku bahkan tidak menangis sama sekali. O ya, itu terjadi aku masih enam tahun," Li menyombongkan diri.

"Ih! Itu 'kan salahmu! Lagipula kau laki-laki, mana boleh menangis," balas Mei. "Apa maksudmu kejadian ini bukan salahmu? Yang sudah kubilang jangan bersepeda ke jalan raya? Kau memang kepala batu. Dan Ayah---yang seorang laki-laki---menangis saat Nek Kia meninggal dua tahun lalu," kali ini, Li rupanya serius. Nadanya tidak seperti biasa. Skakmat! Mei terpaku dan mengalah. Li kalau serius seram, pikir Mei.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline