Re tidak gila. Aku ingin mengatakannya keras-keras kepada semua orang. Seandainya tak ada kesepakatan itu. Bahwa kami tidak akan mengungkit permasalahan masing-masing. "Biarkan mengalir seperti air," kata Re. Tetapi bagaimana jika ada batu yang menghadang? Apa aliran air cukup kuat untuk menghadapinya? Apa air tetap bisa mengalir? Atau hanya sampai di situ saja? Berhenti. Terjebak, tak ada jalan. Tidak ada yang tahu.
Terdengar suara kaca pecah. Aku mendengus pelan, Ibu mulai lagi. Membantingi barang-barang hingga tak ada yang tersisa. Kalau sudah begini, aku harus cepat-cepat sembunyi sebelum terlambat. Sebelum aku disiksa lagi oleh Ibu. Terakhir kali, saat Ibu kambuh, aku dicekiknya hingga kehabisan nafas. Untunglah, aku tidak mati. Haha.
Aku memanjat jendela kamar. Berapa kali pun aku lompat dari sini, tetap saja rasa mengerikannya. Bersyukur kamarku tak ditempatkan di lantai 3. Kalau jatuh 'kan bisa mati aku. Walaupun dari lantai 2 juga bisa, sih. Kuturunkan kakiku ke genteng rumah. Suara langkah kaki samar-samar terdengar. Ibu akan kesini, aku harus bergegas! Pelan-pelan dan hap! Aku mendarat dengan selamat. Ouch! Lututku rasanya seperti akan patah karena melompat tadi. Tidak apa-apa lah. Masih mending, dari pada dicekik'kan?
Kuketuk pintu rumah tua di depan rumahku. Rumah no 3. Pintu terbuka, Re! Aku menghambur masuk dan memeluknya. "Hei, ada apa sobat?" Ia tertawa pelan. "Maafkan aku, sepertinya aku harus tidur di sini lagi malam ini," aku tersenyum canggung. "Ah, tidak apa-apa. Ayo masuk, ke kamarku." Sesuai kesepakatan, ia tak boleh mencampuri urusanku. Jadi Re hanya diam saja, tak menanyakan apa-apa.
Persis seperti rumah tua yang ada di film "Rumah Kentang." Sangat mencekam suasananya. Membuat bulu-bulu kudukku berdiri. Tentu saja, berbeda denganku, Re tampak santai. Asal kalian tahu, suasana rumah no 3 begitu horor sampai kalian sampai di bagian tengah rumah. Ruang keluarga, tempat di mana seluruh anak panti berkumpul dan menghabiskan waktu bersama. Suara-suara tawa memenuhi ruangan, dan pastinya.. "Kak Chia! Kak Chia ke sini lagi? Horraii!" Satu jeritan itu membangunkan seluruh ruangan. Anak-anak itu memandangku dengan begitu antusias.
Oh, tidak. "Horraiii!!!" Mereka berlari secepat kilat dan dalam sekejap sudah berkerumun di hadapanku. "Ayo mendongeng lagi, kak! Cerita kuda nil yang ternyata putri duyung itu lohh!!" Aku tertawa. Ingatan anak kecil selalu kuat, aku tahu persis itu.
Aku di sofa tengah, dengan anak-anak yang mengerubungiku. Aku tidak bisa bergerak, tidak bisa ke mana-mana. Anak-anak ini akan memaksaku berpikir cepat membuat ratusan dongeng lagi sebelum akhirnya terlelap dalam tidur. Aku bercerita hingga salivaku seolah telah mengering. Tapi aku berharap, aku dapat ke sini lagi. Atau tinggal di sini selamanya. selama-lamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H