Lihat ke Halaman Asli

Bintang Utara - Bagian 2

Diperbarui: 6 November 2023   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Aku terbangun tengah malam. Tenggorokanku kering. Samar-samar kudengar suara tangisan wanita. Mamak menangis lagi. Ia akan terus menangis hingga nanti subuh dan saat pagi tiba akan berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi. Suaraku tercekat, sungguh menyakitkan, sandiwara ini. Saling berpura-pura bahwa semuanya akan baik-baik saja. Pak, apa Bapak masih ada di sana? Apa Bapak sungguh tak akan kembali? Tangisan Mamak semakin lama semakin membunuhku. Aku tidak tahan berpura-pura.

Matahari menyingsing, menampakkan wujudnya. Adik-adikku sudah berangkat sekolah. Kuangkat cucian dan mulai berjalan menuju sungai. Banyak Ibu-Ibu yang juga datang kemari untuk mencuci, anak-anak kecil berlomba-lomba melompat dari batu, mandi. Sungai menjadi sangat riuh, penuh oleh suara tawa, teriakan, dan bisik-bisik. Ah, andai saja adikku bisa merasakan ini. 

Saat aku sedang asyik-asyiknya mencuci, banyak tetangga yang kurasa bergunjing tentang Bapak. Sudah biasa, toh, tak pernah kumasukkan hati, juga. Tetapi, perjalanan pulang kali ini membuatku kepikiran tentang sesuatu. Kalau 'seandainya' saja, Bapak masih hidup, apa Bapak hidup dengan baik? Apa aku dapat bertemu dengan Bapak kembali? Pikiran ini membuatku kembali pada kenangan masa kecilku.

Sepuluh tahun lalu.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga, aku berlari tersaruk-saruk menemui Bapak yang ada di pinggir pantai. Hanya untuk bercakap-cakap ringan di bawah cahaya bulan. Bapak selalu pulang malam, dan aku tidak akan pernah merelakan hariku tanpa bercerita ke Bapak. Selalu menjadi momen menyenangkan saat aku bercerita ke Bapak, tentang hari-hariku, temanku, dan masih banyak lagi.

Bapak yang melihatku berlari kepadanya memamerkan gigi-giginya yang sedikit tonggos. Ia menangkapku dan membawaku ke dalam pelukannya. "Pak, aku tadi mendapat nilai seratus saat disuruh membaca! O, ya, teman-temanku sekarang banyak sekali yang membeli mainan baru, bentuknya bundar dan bisa berputar!" Aku mengoceh tak keruan. Berusaha menceritakan seluruh kesenanganku hari ini. "Wah, Kiki hebat! Tapi, Bapak dulu punya mainan yang bahkan lebih keren dari itu. Mau tahu?" Mataku membesar, "Mau!" Aku berteriak kesenangan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline