Lihat ke Halaman Asli

Terlupakan

Diperbarui: 14 Oktober 2023   08:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

    Bayangan-bayangan menghantui pikiranku. Temanku, keluargaku, seluruh kerabatku, bahkan semua orang yang aku kenal meninggalkan aku sendirian. Yang aku bahkan tidak tahu kesalahanku apa. Mulai dari perjalanan saat aku keluar dan bebas dari Panti Asuhan. Tempat yang seharusnya bisa menjadi tumpuan hidupku. Tetapi, aku rela kehilangan semua itu. Aku ingin kebebasan. Panti Asuhan seharusnya bukanlah tempat para pec*ndang. Dimana kejahatan dan kekerasan fisik hanyalah hal yang wajar dilakukan.

    Mati-matian aku berusaha keluar dari Panti itu. Mulai dari bekerja di sekitaran sana, hingga alasan bersekolah di luar kota. Semuanya gagal. Hingga, hanya ada satu cara yang tersisa. Aku harus melakukan kejahatan. Mungkin dengan mencuri saja sudah cukup, pikirku. Namun nyatanya sudah lebih dari 50 kejahatan yang kulakukan dan aku bahkan tak mendapat hukuman keras sama sekali. Sungguh kacau. Pada suatu malam, di saat pikiranku sedang rancu, aku mengemasi seluruh barangku. Walau memang hanya beberapa pakaian dan sejumlah uang. Aku kabur malam itu. Aku bebas!

    Kehidupan tak semudah itu. Diriku yang saat itu baru berusia 19 tahun, harus tinggal sendirian di pinggiran kota yang penuh dengan desas-desus kejahatan. Karena alasan keamanan, aku menikah dengan seorang pria yang berjanji akan memberikan itu. Pria tersebut adalah satu-satunya orang yang akan selalu kuingat jasanya. Sebelum ia tega meninggalkanku, sendirian kembali. Sama seperti saat aku pertama kali bertemu dengannya.

    Aku kehilangan hak asuh anakku. Jelas, karena untuk memberi makan diriku sendiri saja aku sudah kewalahan, apalagi menyewa pengacara. Anakku menangis menjadi-jadi saat aku melepaskan genggaman tanganku untuk terakhir kalinya. Sekarang itu semua hanyalah kenangan, yang meninggalkan luka mendalam. Aku ingin membunuh diriku. Tidak, tapi aku tak ingin membunuh diriku. Aku hanya ingin keluar dari penderitaan ini.

   Sekarang, aku sudah tak membenci rasa kehilangan. Lagipula, siapa yang akan kutangisi? Wajah orangtuaku, yang tak pernah kulihat? Atau wajah suamiku dulu, yang sekarang sudah hilang dari ingatanku? Atau wajah anakku, yang sudah tinggal serpihan remang-remang? Jikalau ini menjadi sebuah mimpi saja, aku yakin ini akan menjadi mimpi terburukku. Sekaligus menjadi suatu hal yang sungguh patut kusyukuri.

    Langit-langit kamarku mendadak menjadi suram dan gelap. Telingaku bergidik mendengar suara mesin EKG (pendeteksi detak jantung). Aku benci suara itu, suara yang memecah heningnya malam. Aku tahu suatu ketika akan hanya ada garis lurus di mesin itu. Garis kematianku nanti. Nafasku berat dan tersengal-sengal. Uap nebulizer yang panas memenuhi lubang hidungku.

   Aku sungguh menyadari dan menerima kenyataan. Kalau aku harus menghadapi gerbang kematian ini sendirian, tanpa seorang pun keluarga atau kawan. Bahkan aku sendiri tidak yakin apakah anak-anakku mengingatku di luar sana? Mengingatku masih ada di dunia yang sama dengan mereka, walau hanya sejengkal saja? Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Detak jantungku mulai tidak beraturan. Tubuhku bergetar menahan rasa sakit itu.

    Aku terlupakan, kembali. Entah apakah karena aku yang mudah dilupakan ataukah mereka yang mudah melupakan. Kenangan saat aku menghabiskan waktuku bersama mereka seolah lenyap tak bersisa. Dan sekarang, lihatlah. Seorang wanita paruh baya yang menghabiskan sisa waktu hidupnya di rumah sakit sendirian. Wanita yang seringkali merenung menatap langit biru malam. Seolah bisa jadi esok hari ia takkan bisa memandang langit itu lagi.

   Kulihat ke samping tempat tidurku. Aku berharap aku akan mendengar dering ponselku itu. Dering telepon dari siapa pun orang yang masih mengingatku. Semua ini terkesan tak adil memang, tapi begitulah hidup. Detak jantungku semakin pelan terdengar. Hingga, perlahan menghilang. Aku tersenyum. Aku tahu, ini adalah akhirnya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline