Lihat ke Halaman Asli

Fachri Syauqii

amor fati fatum brutum

Kancil Si Raja Hutan

Diperbarui: 11 November 2024   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sejak kapan ilmu pengetahuan dan teknologi melihat umur seseorang. Kalau begitu yang pintar hanya orang-orang tua saja, bukan." tukas Pak Musang dengan suara lantang. Bahkan jari telunjuknya ikut menunjuk-nunjuk.
    Pak Musang tidak setuju dengan pemikirannya Pak Kobra yang terlalu mengikuti kehidupan yang sudah disesuaikan. Lantas dalam dunia binatang apakah juga terdapat kasta. Siapa binatang paling cerdas dia yang paling dipuja, dimintai nasehat, dan didengar omongannya. Pak Musang ingin mengubah keadaan itu. Semua binatang tunduk dan patuh kepada Kancil, selain sudah sepuh Kancil juga sudah terbukti kepintarannya.
    "Itulah bung mengapa senioritas hanya ada di dunia binatang" ungkap Pak Musang dengan rasa penuh kesal.
    "Wah, bahaya kamu ini Pak Musang. Bisa-bisa kamu ditangkap sama Pak Anjing." Kata Pak Kobra mencoba untuk mengingatkan.
    "Pak Anjing itu kerjaannya cuma nangkap orang tapi otaknya tidak ada" balas pak Musang.
    "Hai, kalian ghibahin siapa? Kok nggak ajak-ajak aku". Tiba-tiba Pak Kadal lewat tidak sengaja mendengar percakapan antara keduanya.
    "Ini Pak Kobra bisa-bisanya ceritain Kancil sebagai pemimpin kita paling cerdas. Nggak ada sopannya" balas Pak Kobra.
    "Aku bukan cerita yang tidak-tidak. Aku hanya ingin kehidupan kita berubah bung. Apa salahnya jika aku menginginkan dunia yang setara".
    "Hah setara? Mana mungkin. Dalam dunia perkadalan saja ada kastanya, Pak Musang. Siapa kadal yang paling tinggi harganya. Dialah kadal terbaik. Bahkan dalam dunia manusia saja nama kadal sudah dikenal. Contohnya dikadali." Balas Pak kadal dengan semringah.
    "Hei Pak Kadal, jangan kau bangga dengan hal itu. Itu bukan pujian melainkan hinaan. Dihina kok bangga" Pak Musang kembali membalas dan tidak tertarik lagi untuk melanjutkan obrolan.
    Pak Musang segera pulang karena sinar mentari pagi akan segera muncul. Pak Musang tidur kala matahari melimpahkan cahaya ke bumi membuat tidurnya semakin pulas. Sementara Pak Kobra bergerak meliuk-liuk di semak-semak. Sebisa mungkin menghindar dari manusia. Kalau tidak pilihannya ada dua, dibunuh atau ditangkap dan ia tidak akan pernah bertemu dengan sahabat karibnya lagi, yaitu Pak Musang.
Berbeda dengan pak Kadal. Ia hanya berdiam diri. Kepalanya diarahkan ke langit. Sekujur tubuhnya bermandikan cahaya matahari.
***
    Malam hari, bulan berbentuk bundar sempurna. Udara malam begitu dingin tidak membuat para binatang mengigil. Karena semua binatang rata-rata memiliki bulu. Kecuali Pak Kucing Mesir yang tidak punya bulu. Akhirnya ia membeli jaket berbulu domba dari Buk Domba untuk mengatasi kedinginan. Pak Gajah dan Pak Buaya berbeda, keduanya memiliki kulit tebal sehingga mereka tidak merasakan dingin.
    Semua binatang berkumpul mengikuti perdebatan antara Kancil dan Pak Musang. Semua binatang ingin tahu bagaimana jalannya perdebatan serta bagaimana keduanya saling menyampaikan pendapat. Para hadirin yang datang sangat ramai. Hasil perdebatan juga sangat menentukan dan menunjukkan sifat asli Kancil yang dijuluki sebagai Raja Hutan. Perdebatan dibuka dengan kata sambutan yang begitu membosankan dari Pak Cicak, Buk Kalajengking, Buk Bunglon, Pak Kecoa, dan Pak Orang Utan.
    Pak Cicak selalu menjulurkan lidahnya menangkap nyamuk-nyamuk yang terbang di sekelilingnya. Pak Semut langsung meneriakkan itu pelanggaran Hak Asasi Hewan. Namun, Pak Cicak tak peduli dengan teriakan itu, karena ia orang yang paling berpengaruh di dunia hewan. Buk Kalajengking yang sangat bersemangat menyampaikan kata sambutan hingga ludahnya muncrat. Ludahnya yang mengandung zat beracun membuat hadirin yang duduk di depan langsung mati. Buk Bunglon saat mengubah warna tubuhnya langsung menarik perhatian para jantan, seperti Pak Buaya, Pak Kuda, dan Pak Burung. Sedangkan giliran Pak Kecoa dan Pak Orang Utan yang menyampaikan kata sambutan, semuanya tertidur karena terlalu banyak mengoceh hal yang tidak penting.
Banyak hal yang tidak perlu disampaikan, tapi karena mereka adalah orang penting mau tidak mau harus menyampaikan kata sambutan terlebih dahulu. Tiba saat perdebatan antara Pak Kancil dan Pak Musang. Pak Kancil mulai membuka dengan kata-kata yang langsung menyerang.
"Kudengar Pak Musang tidak setuju dengan semua sistem yang telah kubuat. Apa benar ada gerakan makar yang mau dilakukan?" tanya Kancil dengan penuh intimidasi.
"Iya Kancil, saya nggak setuju dengan senioritas dan kelas sosial di dunia binatang. Sejak kapan kita punya sistem dan peraturan yang demikian." Jawab Pak Musang dengan menggebu-gebu.
Sambil lalu, Pak Kura-Kura yang fisiknya sudah tua dan membungkuk lewat di depan penonton karena kebelet pipis. Ia membungkuk bukan karena sopan, tapi karena tulang punggungnya telah lama mengalami pengeroposan.
"Jadi kalau semua diganti dan semua binatang kuanggap setara dan lebih demokratis, apa Pak Musang yakin kehidupan kita lebih baik. Pak Musang tidak lebih tahu daripada aku. Aku sudah banyak belajar, sudah lebih banyak menjalani kehidupan,...." dan beberapa pernyataan yang tidak penting diulang-ulang oleh Pak Kancil. Selalu mengulang kata aku lebih tahu.
Pak Belalang yang paling sepuh di antara para hadirin hanya mendengar perdebatan dan belum dimintai pendapat. Rambut dan bulu matanya kini sudah beruban ditambah matanya yang sudah tidak berfungsi. Namun karena ia merupakan tamu istimewa, ia dimintai pendapat untuk penutup acara. Ia memperhatikan perdebatan ini terlalu didominasi oleh Kancil. Mulutnya sudah tidak tahan untuk menyampaikan pendapat.
"Kancil, hok...hok kamu itu, hok...hok harus mendengar, hok...hok" karena Pak Belalang ngomongnya terlalu lama langsung dipotong oleh Kancil.
"Kalau semua mendapatkan hak yang sama, siapa yang akan mengatur. Semua binatang di sini setuju dan sependapat bahwa akulah orang yang berhak dan layak menetapkan kebijakan. Semua binatang sudah setuju bahwa aku adalah binatang yang paling pintar dan bijak. Aku telah banyak melalang buana dan banyak memakan asam garam kehidupan." Tegas Kancil dengan menunjukkan wajah kesombongan.
"Sejak kapan Kancil dicap sebagai hewan paling pintar dan bijaksana? Kalau sejak nenek moyang berarti itu kan mitos. Kasihan anak-anak kita yang sudah belajar giat tapi tidak bisa menggantikan posisimu. Buat apa belajar kalau begitu. Tidak ada gunanya..."
"Diam! Kau tidak lebih tahu daripada aku!" Sahut Kancil dengan cepat memotong.


Yogyakarta 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline