Lihat ke Halaman Asli

Kolaborasi antara Adab dan Ilmu ketika Berdakwah

Diperbarui: 29 Juni 2024   01:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi Syauqi Faiz

Oleh: Syamsul Yakin & Syauqi Faiz

Dosen Retorika Dakwah & Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Baik dakwah maupun retorika harus bebas dari nilai, artinya mereka harus dikembangkan semata-mata berdasarkan ilmu pengetahuan. Mereka tidak boleh didasarkan pada hal-hal di luar ilmu pengetahuan, seperti adab.

Namun, meskipun keduanya tidak memiliki nilai, ilmu dakwah dan retorika tampaknya memiliki adab. Artinya, mereka harus mempertimbangkan kebenaran dan konsekuensi yang terjadi. Dengan kata lain, norma-norma yang berasal dari prinsip-prinsip agama dan budaya akan terkait dengan dakwah dan retorika.

Oleh karena itu, adab dan ilmu harus dipadukan dalam rerorika dakwah. Dalam hal ini, adagium "ilmu bukan untuk ilmu" berlaku, tetapi dengan tujuan membantu orang di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, ilmu dilakukan demi kepentingan manusia. Dalam keadaan seperti ini, adab sangat penting.

Secara praktis, retorika dakwah itu bukan hanya pengetahuan tentang cara berdakwah secara efektif, efisien, dan menarik, tidak hanya itu, tetapi juga standar yang sangat tinggi untuk budi pekerti, kesopanan, dan keramahan. Selain itu, dakwah awalnya subjektif, dogmatik, dan penuh dengan nilai. Retorika juga awalnya budaya dan berbasis nilai.

Adab harus menyatukan budaya, seni, pengetahuan, dan ilmu manusia karena retorika berasal dari budaya, berkembang menjadi seni bertutur, pengetahuan, dan akhirnya diakui sebagai ilmu.

Dakwah juga. Bermula dari ajaran agama atau dogma, berkembang menjadi pengetahuan yang berasal dari pengalaman yang tidak diuji secara ilmiah, dan secara keseluruhan, ilmu dakwah harus didampingi dengan adab. Kesopanan, keramahan, dan budi pekerti seorang dai tercermin dalam dakwah mereka.

Dalam retorika dakwah, memadukan adab dan ilmu meniscayakan dua hal. Pertama, komodifikasi dakwah tergusurya. Dakwah diubah menjadi barang dagangan melalui modifikasi. Selama ini, manajemen dan profesioalisme melindungi dakwah dari komodifikasi. Orang-orang yang berilmu dan beradab menentang dakwah yang dikomodifikasi.

Dai dan mitra dakwah dilarang keras mendakwahkan bisnis, tetapi Nabi, para sababat, dan ulama banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Dai harus menghidupkan dakwah, bukan bergantung padanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline