Beberapa hari belakangan ini, pemberitaan mengenai kekerasan seksual marak diperbincangkan oleh masyarakat, terutama warganet di media sosial Twitter.
Seperti kejadian di Denpasar, korban yang hamil dan dinikahkan dengan pemerkosanya, setelah melahirkan justru kembali diperkosa oleh mertuanya.
Ada pula kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pegawai kedai kopi Starbucks kepada pelanggannya.
Terbaru, ada kisah remaja korban pemerkosaan di yang dititipkan di rumah aman milik lembaga pemerintah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur.
Di sana, korban yang seharusnya mendapat pendampingan dan perlindungan justru kembali mengalami peristiwa yang sama, ironisnya terduga pelaku adalah Kepala UPT P2TP2A itu sendiri.
Kondisi ini tentu menuntut kehadiran peraturan yang tegas dan berpihak pada korban kekerasan seksual. Di sinilah peran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dibutuhkan.
Polemik RUU PKS Sayangnya, pembahasan RUU PKS seringkali diwarnai kontroversi, baik di kalangan masyarakat maupun di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mengutip Harian Kompas, 27 Januari 2020, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR menolak RUU PKS dengan alasan ada potensi pertentangan antara materi RUU serta nilai-nilai Pancasila dan agama, yang dinilai akan memunculkan polemik di masyarakat. Definisi kekerasan seksual hingga cakupan jenis kekerasan seksual di RUU tersebut dianggap berperspektif liberal.
Hal tersebut dibantah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang menyatakan RUU PKS bukan ingin mengamini liberalisasi kehidupan seksualitas, tetapi ingin membantu korban kekerasan seksual agar mendapat rehabilitasi dan perlindungan. Pembahasan yang berlarut-larut ini berujung antiklimaks ketika Komisi VIII DPR justru mengusulkan agar RUU PKS dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Seperti diberitakan Kompas.com, Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS sulit dilakukan saat ini. RUU PKS merupakan RUU inisiatif DPR. "Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit," ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020).
Dihubungi seusai rapat, Marwan menjelaskan, kesulitan yang dimaksud dikarenakan lobi-lobi fraksi dengan seluruh fraksi di Komisi VIII menemui jalan buntu. Marwan mengatakan, sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan mengenai pemidanaan juga masih menjadi perdebatan. Baca juga: Masyarakat Minta DPR Segera Bahas dan Sahkan RUU PKS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H