Dulu ketika aku masih berumur 5 tahun, aku bersekolah di TK Al Kautsar yang sekitar 20 menit dari rumahku menggunakan angkutan umum. Kondisi jalan-jalan pada waktu itu sudah cukup ramai, namun tentu saja tidak seramai sekarang. Suatu ketika, pada hari Sabtu, kami diberitahu oleh wali kelas bahwa jam belajar akan selesai lebih cepat. Aku pun senang bukan kepalang karena aku bisa bermain dan menonton film kartun lebih lama di rumah, namun aku baru teringat bahwasannya aku belum memberitahu tanteku untuk menjemput lebih awal. Setelah menimbang-nimbang aku pun memutuskan pulang sendiri meskipun beberapa kali tanteku telah mengingatkan untuk tidak pergi kemana-mana sebelum beliau menjemputku. Berbekal rasa sok tahuku yang amat tinggi dan juga uang saku seribu rupiah, dengan penuh percaya diri aku memberhentikan angkot tujuan rumahku yang berwarna biru muda itu. Di sisi lain, aku sama sekali tidak menyadari bahaya apa yang akan terjadi setelahnya.
Aku memilih duduk di paling pojok, dekat dengan sebuah speaker butut yang berdebu. Aku merupakan penumpang ke tiga lajur sebelah kiri, sedangkan di lajur kanan belum ada satu pun penumpangnya. Hal yang paling menyenangkan ketika sedang tidak bersama orangtua atau orang dewasa lainnya adalah mengenai kebebasan. Sebelumnya tanteku pasti melarang aku menjulurkan tangan ke luar jendela, tapi sekarang aku bisa melakukannya semauku. Namun, seketika kesenangan itu sirna ketika aku melihat sekelompok orang yang sangat aku takuti.
Mereka sangat menyeramkan dengan pakaian aneh dan riasan yang amat mencolok. Mereka semua berjakun namun memakai cat kuku dan lipstick tebal. Semuanya menggunakan high heels, namun jelas-jelas betis mereka kekar dan berbulu lebat. Suaranya lembut tapi dapat menjadi seram sewaktu-waktu. Mereka semua lebih menyeramkan dibandingkan hantu-hantu di layar kaca. Mereka berjumlah 4 orang dan langsung menempati lajur kanan hingga penuh. Wajahku pucat pasi, keningku berkeringat dingin. Aku ketakukan. Aku berusaha untuk menghindari mereka, namun ternyata kedua tanganku yang saling mengepal serta kakiku yang terus bergetar malah menarik perhatian mereka. Jadilah wajah mereka yang sangat menyeramkan itu mendekat ke arahku. Apa yang terjadi kemudian?
Rasa takut yang makin menjadi itu tak kusadari telah berubah menjadi bulir-bulir air mata yang menetes dengan deras yang bertambah-tambah. Tangisku pecah, keras sekali hingga penumpang yang lain termasuk pak supir memberhentikan kendaraannya. Aku meronta-ronta, meraung, berteriak supaya banci-banci itu menjauh dari pandanganku. Secara spontan aku pun menarik rambut palsu yang mereka pakai dan terlihatlah model rambut mereka yang sesungguhnya. Tak cukup sampai di situ saja, aku juga meneriakkan kata-kata kasar seperti, orang jahat, penipu, dan wanita jadi-jadian kepada mereka . Aku yang semakin takut kalau mereka akan mendekat atau berbuat macam-macam, malah menangis lebih keras lagi. Akhirnya setelah berusaha merayuku pak supir mengerti bahwasannya aku memiliki fobia banci karena beberapa minggu sebelumnya aku sempat menjadi korban percobaan penculikan oknum yang berpura-pura sebagai waria atau banci. Beruntungnya aku, kejahatan mereka dapat digagalkan oleh teman-temanku yang sempat melaporkannya ke satuan pengamanan sebuah Mall di kotaku.
Kini, aku tidak lagi memiliki fobia kepada banci. Waktu membuatku semakin dewasa dalam menyikapi persoalan sosial di masyarakat. Aku semakin mengerti mengenai alasan mereka memilih banci atau waria sebagai jalan hidup. Aku pun menyesali perbuatanku sebelas tahun lalu . Mungkin benar jika ada beberapa dari mereka yang berprilaku tidak baik, namun tidak semua. Nyatanya, kebanyakan dari mereka hanya terpaksa berbuat demikan karena kesulitan ekonomi yang membuat mereka semakin termarginalkan oleh perkembngan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H