“Menulis buku itu berat, nggak sekedar menulis tapi juga mempertanggungjawabkannya…makanya sampai sekarang aku belum mau menulis buku” terngiang-ngiang di telingaku pendapat salah seorang teman.
====
Aku merasa hanya karena rahmat dan kemurahan Allah lah pada akhirnya aku bisa menulis sebuah buku. Aku sadar begitu banyak penulis yang tulisannya bagus-bagus akan tetapi belum berhasil menerbitkan sebuah buku, entah karena proses terbitnya yang lama atau justru ditolak berbagai penerbit. Sementara itu aku yang masih belajar menulis justru mendapati kesempatan luar biasa ini, yaitu ketika sebuah penerbit memberikan kesempatan padaku untuk menulis sesuai dengan tema yang kuajukan sendiri. Kesempatan langka ini tentu tak kulewatkan begitu saja. Semesta seolah mendukungku. Hanya dalam waktu tiga bulan aku menyelesaikan naskah bukuku dan beberapa bulan kemudian buku sudah terbit dan beredar di pasaran. It’s amazing bagiku, sungguh proses yang begitu cepat. Sedangkan seringkali kudengar cerita dari teman-teman yang meski naskah mereka sudah dinyatakan diterima namun proses terbitnya memakan waktu bertahun-tahun. Alhamdulilah, semua hanya berkat rahmat-Nya.
Pada awal penentuan tema buku,seolah seperti ada sesuatu yang menggerakkanku ketika aku berani mengambil judul yang terdengar bombastis itu. “Rich Mom Poor Mom : Menjadi Sosok Ibu Kaya Materi dan Kaya Hati” sebuah judul yang kusadari akan menimbulkan berbagai reaksi dari para pembacanya, mulai dari dibilang mengekor, tidak kreatif, plagiat sampai pada reaksi pembaca yang mempertanyakan kapasitasku menulis buku itu. Sebelum benar-benar mengalaminya aku cuek saja, toh tujuanku menulis adalah ingin menyampaikan sesuatu dengan harapan apa yang disampaikan itu akan menjadi amal jariyah untukku. Selain itu aku juga memikirkan nasib penerbit, aku harus bisa menentukan judul yang ‘bombastis’ untuk menarik minat pembel (strategi marketing). Bukankah penerbit sudah mengeluarkan modal banyak untuk menerbitkannya? Aku tak ingin mereka rugi karena bukuku tak laku.
Ternyata aku belum siap dengan reaksi-reaksi dari pembaca baik yang memuji atau mencela. Pada awalnya, tak terbayangkan sama sekali bahwa dengan menulis buku itu aku akan menghadapi beragam reaksi seperti itu. Bahkan aku tadinya beranggapan bisa bersembunyi dibalik buku, aku ingin menyampaikan gagasanku tapi aku tak mau berhadapan langsung dengan orang, karena kusadari kelemahanku yang tak bisa berbicara di depan banyak orang. Ternyata anggapanku salah. Setelah buku terbit dan di-launching, aku harus berani berhadapan dengan audience untuk mempresentasikan isinya sekaligus mempertanggungjawabkannya di depan mereka. Byuuh.. nervousnya melebihi nervous saat wawancara kerja. Apalagi ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan tak terduga dari audience, entah mukaku ini mau ditaruh di mana… sudah merah dan panas seperti kepiting rebus rasanya saking tegangnya, hehe..
Tak jarang juga aku menerima reaksi positif dari pembaca, kebanyakan pembaca mengatakan bahwa bukuku itu so inspiring, entah mereka jujur atau tidak, aku langsung melayang mendengarnya. Adalah merupakan sebuah kebahagiaan sejati ketika hasil tulisan kita diapreasi oleh pembaca sebegitu rupa, rasanya tak tergantikan oleh royalty sebesar apapun. Aku benar-benar senang tak terkira. Bahkan reaksiku kurasakan cenderung berlebihan, meski tak kutampakkan pada banyak orang, tapi dihatiku sudah ada semacam penyakit hati yang bersarang, entah itu riya atau ujub, astagfirullah..
Adapun reaksi negatif dari pembaca meski belum pernah kuterima langsung di depan mata, namun ternyata ada juga yang membincangkannya di belakang yang pada akhirnya telingaku mendengarnya. Mereka mempertanyakan apakah aku juga sudah melaksanakan apa-apa yang aku tuliskan di buku? Atau hanya nulis doang. Astagfirullah..itu adalah tamparan buatku, meski sudah kusadari saat proses penulisan bahwa reaksi ini pasti akan muncul. Aku juga sudah menyatakan di kata pengantar bahwa penulis pun belum merasa memenuhi criteria seorang “Rich Mom” tapi ingin berproses menuju ke sana. Seandainya pembaca yang protes itu lebih teliti membacanya, tentu pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya tak perlu dikemukakan, toh sudah ada pengakuan jujur dariku bukan? Entah bila dia berniat untuk menyerang atau merendahkan.
[caption id="attachment_76931" align="alignleft" width="210" caption="cover buku Rich Mom"][/caption]
“Menulis buku itu berat, nggak sekedar menulis tapi juga mempertanggungjawabkannya…makanya sampai sekarang aku belum mau menulis buku” terngiang-ngiang di telingaku pendapat salah seorang teman. Aku sempat mengalam writer’s block, enggan menulis lagi karena permasalahan ini. Rasanya seperti pecundang yang kalah perang. Masak perjuanganku harus berhenti sampai di sini? Ayo Sya, bangkit lagi !bisik nuraniku. Dalam sujud-sujud malamku aku memohon pada Allah, agar mengingatkanku bila aku salah. Agar Dia mengampuni atas segala kelemahan dan keburukan diriku. Allah, apakah kuharus berhenti di sini atau meneruskannyai?. Ketika pikiranku mulai jernih, tersadarlah aku dengan kenyataan bahwa memang setiap perbuatan itu harus ada pertanggungjawabannya bukan? Lalu apa jadinya bila semua orang takut berbuat demi kebaikan ?
Perlahan kesadaranku mulai kembali. Aku perhatikan pada para penulis senior sekaligus guru-guru menulisku, mulai dari Jonru, Asma Nadia atau Ifa Avianty. Ternyata mereka yang sudah senior saja mengalami reaksi yang tidak selalu mengenakkan dari pembacanya. “Itu biasa Sya.. mbak juga pernah mendapat email pedas dari seorang pembaca yang menyalah-nyalakan isi buku mbak… “ kata Mbak Ifa Avianty. Nah lo, yang senior saja ternyata mengalami hal tak mengenakkan itu. Jadi itulah resikonya menjadi penulis. Kita tak bisa memenuhi seluruh selera pembaca, ada yang suka dan ada yang tidak suka itu biasa. Mulai saat itu aku bertekad untuk siap menerima segala resiko menjadi penulis. Bismillah..dengan ridha Allah, insya Allah aku bisa melaluinya dengan senyuman. Aku luruskan niatku menulis adalah sebagai ajang dakwah bil kalam. Bukan untuk sekedar mencari royalty, sensasi atau popularitas. Tapi semoga bisa menjadi amal jariah yang tetap bisa kita petik manfaatnya ketika aku sudah tak ada di dunia, itu cita-cita tertinggiku. Lebih dari itu aku menganggap setiap tulisanku sebagai cermin untuk diri sendiri untuk dijadikan pengingat agar diri ini menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Semoga ridha Allah selalu menyertai.
Kembali luruskan niat, menulis untuk berbagi. Masalah royalti dsb itu hanyalah bonus dari-Nya.
Seperti ketika aku menulis buku keduaku ini, meski royaltinya kecil, aku hanya berharap banyak orang yang bisa memetik manfaat dari apa yang sudah aku tulis.
** Curhat penulis pemulaa banget.... maaf ya yang kurang berkenan :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H