Lihat ke Halaman Asli

Syarwini Syair

Pegiat Lingkungan Hidup

Seharusnya Pak Jokowi Belajar Filosofi Pemimpin Madura

Diperbarui: 24 November 2016   06:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca Indonesia hari ini seperti membaca sebuah lautan lepas: walaupun ada satu gejala yang bisa diprediksi, tetapi tetap menyimpan misteri. Ada banyak kemungkinan tak terduga yang barangkali akan muncul ke permukaan, dan menambah tumpukan persoalan kebangsaan. Di Madura, perbincangan mengenai Ahok dan peristiwa 411 masih belum selesai. Nama Ahok sering menjadi buah bibir masyarakat Madura dan sedikit menggeser posisi pak Jokowi sebagai presiden idaman. Bahkan di beberapa kompolan-kompolan, yang memang menjadi tradisi masyarakat Madura, perbincangan mengenai Ahok dengan kasus penistaan agamanya, selama 2 minggu terakhir ini, mampu membetot perhatian banyak orang, sebagaimana juga terjadi di warung-warung pinggir jalan.

Karena kemungkinan-kemungkinan tak terduga itulah, seharusnya membuat pak Jokowi lebih mawas diri dan berhati-hati. Kejernihan pikiran dan ketenangan hati merupakan modal utama disamping terus mendengar bisikan-bisikan informasi dari para teleksandi tentang perkembangan terakhir negeri ini. Pandangan-pandangan yang terhalang oleh syahwat kekuasaan dan kesejahteraan golongan, mulai harus dipinggirkan secara perlahan-perlahan, karena keselamatan bangsa dan Negara adalah segalanya.

Tulisan ini hanya berangkat dari kegelisahan seorang petani Madura yang juga ikut serta merasakan hawa panas negeri ini yang semakin dikompori oleh api sentimen keagamaan, kepentingan politik di sekitar Pilgub DKI Jakarta, nasionalisme kacangan dan sekelompok pengacau amatiran yang digerakkan oleh uang. Terlalu banyak kepentingan yang berseliweran di tengah rumitisasi perpolitikan kita dan kemelut hukum yang tak berkesudahan. Inilah momentum paling tepat bagi pak Jokowi, untuk merajut semua kalangan menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses berdemokrasi membangun NKRI, mulai dari kelas pencuri sampai kiai, mulai dari petani sampai politisi.

Saya melihat bangsa ini masih terus menampilkan citra abu-abu: tidak jelas mau ke mana. Beragam elemen memang memiliki aspirasi yang berbeda, tapi setidaknya ada pola-pola universal yang bisa dijalankan dan diterima oleh banyak kalangan. Dalam hal ini, pak Jokowi, bukan karena semata sebagai presiden, tetapi karena juga karena karakter beliau yang mudah diterima oleh semua pihak, supel dan luwes, diprediksi mampu memberikan satu harapan terang akan nasib bangsa di masa depan. Untuk kepentingan itulah, ada sebuah filosofi kepemimpinan Madura yang perlu ditengok sebentar, sekedar pelengkap ilmu kedigdayaan pak Jokowi, agar semakin mantab sebagai presiden yang cukup dekat dengan rakyat kebanyakan.

Di Madura, dikenal dua model kepemimpinan yang memiliki filosofi masing-masing, terkait dengan pola interaksinya dengan rakyat banyak. Filosofi ini lahir dari rahim kebudayaan Madura yang penuh dengan nilai-nilai keluhuran. Walau sekilas tampak bertentangan, keduanya dapat disandingkan sesuai kontek ruang dan waktu.

Pemimpin Ceret: Pemimpin yang Mendatangi

Model kepemimpinan yang pertama adalah pemimpin ceret. Dalam bahasa yang lain, ceret ini serupa dengan cerek atau ketel: sebuah wadah yang berfungsi untuk memanaskan air atau memang dijadikan sebagai tempat untuk air panas. Selain ada tutup dan gagang sebagai pegangan, ceret juga memiliki semacam saluran atau pancuran kecil yang berpungsi untuk sarana penuangan air dan sejenisnya yang ada di dilamnya. Orang-orang Madura biasa menggunakan ceret ini sebagai tempat menyimpan air, kopi atau teh yang nanti tinggal dituangkan pada gelas atau cangkir ketika hendak meminumnya.

Sesuai fungsi dan kegunaannya tersebut, para leluhur orang-orang Madura mengambil sebuah filososi bahwa pemimpin ceret adalah pemimpin yang suka mendatangi rakyatnya. Gelas atau cangkir adalah simbol dari rakyat. Akan tetapi, gelas atau cangkir tidak sama bahan dan bentuknya. Ada yang kecil, sedang dan besar, ada pula yang terbuat dari tanah liat, timbaga, plastik atau kaca. Meskipun secara umum berbentuk bundar (lingkaran), model gelas juga berbeda: ada yang lurus, ada cekung, ada cembung, tentu dengan motif yang berbeda-beda pula.

Pak Jokowi memiliki sosok yang tak jauh berbeda dengan falsafah pemimpin ceretini: sama-sama suka blusukan mendatangi rakyatnya. Namun di masa-masa yang penuh ketegangan politis ini, sepertinya pak Jokowi masih sedikit membeda-bedakan gelas yang harus didatangi. Sudah ada banyak tokoh politik dan keagamaan yang disambangi, tapi masih ada tokoh lain yang sedikit kurang mendapat perhatian sehingga sedikit menimbulkan kecemburuan. Padahal, sebagai pemimpin yang berwatak ceret, pak Jokowi seharusnya mengisi setiap gelas kosong dengan silaturrahim politik dan air persatuan yang membawa damai. Merangkul satu tokoh dan “mencangkul” tokoh yang lain adalah tindakan yang kurang bijaksana.

Gelas itu kan macam-macam, sebagaimana rakyat yang juga beragam. Gelas yang besar seperti juga rakyat yang besar (masksudnya rakyat yang sambil lalu jadi orang besar, seperti pemimpin partai, pemimpin ormas, pemimpin Negara, dan pemimpin yang lain), jelas perlu diisi sesuai kapasitasnya masing-masing. Kalau yang mau dituangkan itu berupa silaturrahim politis, maka intensitasnya jelas tidak sama antara rakyat besar dan rakyat kecil. Semua sesuai porsinya: pas tidak sampai tumpah atau kurang. Saya rasa, pak Jokowi sudah mengerti akan hal ini, tapi masih diperlukan keberanian yang lebih dan kebesaran jiwa untuk benar-benar bisa melakukannya.

Pemimpin Genthong: Pemimpin yang Didatangi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline