Lihat ke Halaman Asli

Syarwan Edy

@paji_hajju

Benarkah Gibran dan Bapaknya: Toxic Rezim Prabowo?

Diperbarui: 30 Januari 2025   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

100 Hari Prabowo - Gibran: Indonesia Makin Kuat di Mata Dunia? (dok. Juta Rimba)

Gibran dan Keterikatan Keluarga: Tantangan di Era Prabowo?

Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, sejak awal telah menjadi sorotan publik. Ia sering disebut sebagai "anak haram konstitusi," lahir dari proses demokrasi yang dianggap cacat. Pandangan ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap legitimasi politik yang ada.

Persepsi publik yang negatif terhadap Gibran bukan tanpa alasan. Dalam ranah demokrasi, opini masyarakat tidak dapat dibungkam, asalkan tidak menyerang individu secara langsung. Ini menunjukkan bahwa kritik terhadap Gibran dan bapaknya, Jokowi, adalah bagian dari dinamika demokrasi yang sehat.

Dengan Jokowi yang kini terpilih sebagai presiden terkorup ketiga menurut OCCRP, citra positifnya hancur. Hal ini menambah beban bagi Gibran, yang harus berjuang menghadapi warisan negatif dari kepemimpinan bapaknya.

Keberadaan Gibran di pemerintahan Prabowo menambah kompleksitas. Gibran dianggap sebagai "toxic" bagi rezim Prabowo, yang kini harus mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh legacy Jokowi.

Warisan koruptif dan inefisien dari Jokowi, termasuk proyek IKN yang terancam mangkrak, menjadi tantangan besar bagi Prabowo. Beban fiskal yang diakibatkan oleh utang pemerintah juga menjadi perhatian utama.

Salah satu isu terbaru adalah sertifikat HGU atas wilayah laut yang terjadi di era Jokowi. Praktik ini dianggap sembrono, menciptakan citra buruk bagi pemerintahan yang ada.

Di akhir pemerintahan SBY, rasio utang terhadap PDB mencapai 24,1 persen. Namun, Jokowi meninggalkan rasio utang yang melonjak menjadi 41 persen. Ini menunjukkan peningkatan yang signifikan selama dua periode kepemimpinan Jokowi.

Prabowo mewarisi utang jatuh tempo sebesar Rp. 800,33 triliun. Ini adalah beban fiskal yang berat yang harus ditanggung oleh pemerintahan baru.

Meskipun ada alasan seperti wabah Covid, rasio utang sudah meningkat sebelum pandemi. Era Jokowi ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 persen, menunjukkan inefisiensi yang tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline