Lihat ke Halaman Asli

Syarwan Edy

@paji_hajju

Suara yang Terabaikan: Women From Rote Island

Diperbarui: 30 Agustus 2024   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film Women From Rote Island (dok. Bintang Cahaya Sinema)

Jangan biarkan kegelapan kembali datang, jangan biarkan kaum wanita kembali diperlakukan semena-mena.

-- R.A. Kartini

Saat ini, suara perempuan sering dijadikan lelucon atau alat kepentingan oleh segelintir pihak. Banyak suara yang tertekan oleh sistem patriarki yang dominan, menjadikan perempuan sebagai objek, bukan subjek. Ketimpangan dalam relasi kekuasaan semakin memperparah keadaan, sering kali menggunakan alasan agama dan budaya. Perempuan yang menjadi korban pelecehan sering kali disalahkan seolah-olah mereka yang 'memancing' perilaku tersebut. Tradisi telah menenggelamkan hak-hak perempuan dengan berbagai doktrin yang tidak adil.

Perempuan sering dipandang sebagai 'tema' yang bisa dieksploitasi, bukan sebagai subjek yang setara dalam perjuangan untuk hak-haknya. Dalam konteks budaya perkosaan, mereka dilihat sebagai objek, sementara komentar dan lelucon seksual yang diskriminatif dianggap lucu. Menjadi perempuan berarti menjalani peran penting sebagai penjaga kehidupan, tetapi juga menghadapi dilema. Mereka dihormati dan dibutuhkan, namun sering kali terjajah.

Ester Lianawati dalam bukunya "Akhir Pejantanan Dunia" menjelaskan bahwa laki-laki sering mereduksi perempuan menjadi tiga paradigma: perawan, ibu, dan pelacur. Perawan untuk menjaga kemurnian, ibu untuk melahirkan keturunan, dan pelacur untuk kepuasan seksual. Namun, perempuan seharusnya dipandang sebagai pilar kekuatan, kecerdasan, dan kelembutan. Dalam bukunya yang lain, "Dari Rahim Ini Aku Bicara", Ester menekankan bahwa tubuh perempuan menyimpan sejarah dan cerita yang perlu didengar.

Hak-hak perempuan harus diperjuangkan sepenuhnya, tanpa merendahkan pihak lain. Tujuannya adalah agar perempuan dilihat sebagai manusia yang merdeka. Sayangnya, dalam iklan, perempuan sering kali dieksploitasi di balik dalih kebebasan ekspresi. Dehumanisasi perempuan juga semakin terlihat dalam film, di mana mereka sering digambarkan sebagai sosok menakutkan.

Women from Rote Island menghadirkan kisah memilukan tentang kekerasan seksual dan diskriminasi perempuan di Pulau Rote, NTT.

Nadya Karima Melati dalam bukunya "Membicarakan Feminisme" menggambarkan bagaimana viktimisasi terhadap korban kekerasan seksual menciptakan sosok perempuan yang menakutkan. Karakter seperti sundal bolong dan kuntilanak mencerminkan tragedi ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan dan 'hantu-hantu' ini tidak perlu diatur, tetapi berhak atas rasa aman.

Film "Women From Rote Island" seharusnya menyoroti kesetaraan gender dan inklusi, bukan bias. Film ini menunjukkan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk orang terdekat. Realitas yang ditunjukkan adalah bahwa tidak semua perempuan dapat melawan dan mencari keadilan, terutama dalam sistem hukum yang lemah. Menjadi perempuan terasa seperti kutukan di tengah budaya patriarki yang kuat.

Film ini mengisahkan tentang perempuan-perempuan di Pulau Rote yang menghadapi berbagai dilema akibat gender. Kisah Orpa, seorang istri yang ditinggal suami, dan perjuangannya mencari keadilan untuk anaknya, Martha, yang menjadi korban kekerasan seksual, menggambarkan tantangan ini. Dari film ini, kita dapat mengambil pesan penting tentang pemahaman isu kekerasan seksual, mendorong aksi nyata, dan mengubah budaya yang mendukung kekerasan berbasis gender di masyarakat adat.

Paji Hajju 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline