Lihat ke Halaman Asli

Syarif Hidayatullah

Syarif Hidayatullah. lahir di Cirebon, 30 Januari 1970.. Sejak 1998 hingga sekarang, mengampu beberapa matakuliah di Fakultas Filsafat UGM, seperti: Agama Islam, Pengantar Studi Agama, Agama dan Sains, Agama dan Budaya, dan Studi Islam Kontekstual. Selain mengajar, Penulis juga berkiprah sebagai Editor in Chief Jurnal Filsafat Fakultas Filsafat UGM sejak 2016, Sebagai sekretaris Pusat Kajian Filsafat Islam (PKFI) Fakultas Filsafat UGM sejak 2015. Sejak 2014 hingga sekarang menjadi pembina Rajabandar (Gerakan Jauhi Bahaya Napza dan Rokok) UGM, sebuah komunitas dalam pembinaan Ditmawa UGM.

Perihal Hukum Memotong Kuku dan Mencukur Rambut bagi Orang yang Berkurban

Diperbarui: 13 Juli 2021   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Syarif Hidayatullah. Salah satu isu yang selalu menjadi perbincangan publik, khususnya umat Islam, baik ranah sosial dalam masyarakat maupun ranah virtual yang  marak di media sosial dan media online ketika memasuki bulan Zulhijah, tepatnya menjelang hari Raya Idul Adha, adalah bagaimana hukum memotong kuku dan mencukur rambut bagi orang yang akan memotong rambut dan kuku bagi orang yang akan menunaikan ibadah qurban (udhiya).


Dikutip dari pendapat Syaikh. Dr. Yusuf Qardawi, dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemperer, jilid 1, hlm 501, bahwa menurut mazhab Hambali, seseorang --yang hendak berkurban-- tidak boleh memotong  rambut dan kukunya sedikit pun. Barangsiapa yang hendak berkurban pada bulan Zulhijjah, dengan semata-mata melihat tanggal satu (hilal) bulan Zulhijjah ini, maka hendaklah ia tidak mencukur rambut dan memotong kukunya. Sebab, orang berkurban dianggap serupa dengan orang yang sedang menjalankan ihram dalam manasik haji. Orang berkurban --yang belum berkesempatan pergi ke tanah suci untuk berihram, berhaji, dan ber-umrah-- pada hakikatnya seperti orang-orang yang sedang berhaji dan umrah. Bedanya, hanya masalah tempat saja.


Namun demikian, kesamaan tersebut hanya sebatas dalam hal tidak memotong rambut, jenggot, dan kuku saja. Tidak lebih dari itu. Artinya, kita jangan beranggapan bahwa orang berkurban tidak boleh bercampur dengan isteri, tidak boleh memakai wangi-wangian, dan sebagainya, seperti halnya larangan bagi orang yang sedang berihram. Orang muslim yang tidak sedang menunaikan ibadah haji tidak dituntut melakukan ihram. Karena itu, larangan tersebut hanya bersifat makruh, setidaknya menurut pendapat yang lebih kuat. Dengan demikian, kalau orang tersebut (yang berkurban) tetap  melakukannya (memotong rambut atau kuku), maka dia tidak wajib membayar fidyah dan tidak memiliki tanggungan apa-apa. 

Namun, hendaklah ia beristigfar kepada Allah. Selama hal itu makruh, maka yang makruh itu --sebagaimana kata para ulama-- hilang karena kebutuhan yang sedikit. Misalnya, orang yang merasa terganggu kalau rambut atau kukunya tidak dipotong, lalu ia memotongnya. Dalam hal ini ia tidak memiliki tanggungan (sanksi) apa-apa.

Sedangkan menurut Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf Al-Azazy, dalam Tamamul Minnah Shahih Fiqih Sunnah Berdasarkan al-Qur'an dan Hadis ash-Shahihah, jilid 2, hlm. 591, disebutkan bahwa dari Ummu Salamah rah. bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Jika kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berkurban maka hendaklah ia menahan diri dari mencukur rambut dan memotong kukunya." Dan dalam sebuah riwayat: "Hingga ia menyembelih kurban".  (HR. Muslim, HR. Abu Dowud, HR. Tirmidzi, HR.  An-Nasai, dan HR. Ibnu Majah).  

Dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya membiarkan rambut dan kuku bagi orang yang berkeinginan untuk berkurban dimulai sejak awal melihat hilal bulan Zulhijjah hingga ia menyembelih kurban tersebut, dan kebanyakan ahli ilmu berpendapat haramnya mengambil rambut dan kuku karena mengamalkan hadits ini dan ini adalah pendapat yang rajih. Ini adalah madzhab Ahmad, Ishaq, Dawud azh-Zhahiri dan sebagian dari pengikut madzhab asy-Syafi'i.

Berbagai perkara yang berkaitan dengannya:
1. Apakah hukum ini berlaku atas ahli baitnya yaitu orang-orang yang ia berkurban untuk mereka atau untuk orang yang berkurban saja? Dalam hal ini terdapat perselisihan, dan Ibnu Utsaimin merajihkan bahwasanya hal itu khusus bagi rabbul bait saja yaitu orang yang  berkurban, karena Nabi saw mengkhususkan untuk mereka.
2. Seandainya kukunya patah atau tumbuh bulu mata di dalam  pelupuk mata hingga  mengganggu mata, maka boleh menghilangkannya  karena ini termasuk menghilangkan gangguan.
3. Seandainya seseorang melanggar larangan ini dan mengambil sebagian rambut atau kulitnya maka ia berdosa, namun tidak ada fidyah atasnya.
4. Tidak ada hubungan antara memotong rambut dan kuku tersebut dengan keabsahan udhiyah, sehingga udhiyah tersebut sah apabila telah sempurna syarat-syaratnya hingga meskipun ia melanggar larangan tersebut di atas, dengan demikian boleh bagi orang yang berkurban untuk melakukan apa saja yang terlarang bagi orang yang berihram.
5. Apa yang masyhur dibicarakan bahwa larangan ini agar orang yang berkurban menyerupai orang yang sedang beribadah haji adalah qiyas yang bathil tidak ada dalil atasnya, dan  berdasarkan hal ini maka tidak diharamkan bagi orang yang berkurban sedikitpun larangan ihram yang ditujukan kepada orang yang beribadah haji.
6. Apabila tidak berniat udhiyah melainkan pada pertengahan masa sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, maka ia memulai pengharaman mencukur dan memotong tersebut sejak ia berniat untuk berkurban.
Demikian semoga bermanfaat, wa Allahu A'lamu bish-shawwab.[ESHA]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline