Lihat ke Halaman Asli

Bu Khotijah Sang Multitalenta

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di bawah terik matahari yang menyengat dan hantaman angin semilir yang mendayuh, selalu berpapasan dengan kekuatan Tuhan pada jiwa seorang renta Bu Khodijah. Sesosok wanita yang tegar membahana dan kuat layaknya kekuatan lelaki ini selalu dimanfaatkan sebagai penghasil uang setiap harinya. Ya, beliau bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga.

Nur Salim adalah suami Bu Khodijah. Suami Bu Khodijah ada, tetapi beliau terkapar setelah kecelakaan yang menghantuinya beberapa tahun silam. Ibu dua anak ini selalu memberikan senyuman yang utuh walaupun giginya tak lagi sempurna semasa mudanya dahulu. Beliau memiliki dua anak laki-laki yang belum bisa diandalkan karena usianya relatif muda, di samping itu Bu Khodijah yang kerap kali dipanggil Bu Hot ini memiliki kepedulian yang utuh terhadap anak untuk selalu belajar bukan bekerja.

Arif Alfanza, itulah nama indah yang disematkan pada anak sulung bu Hot. Dan Angga Alfanza, adalah nama anak bungsu dari pasanganbu Hot dan pak Salim. Sedangkan aku, aku adalah Arif Alfanza yang acap kali disapa Arif. Memang benar, aku adalah anak pertama dari bu Hot dan seorang bapak yang terkapar dikamar setiap harinya.

Setelah sebuah truk besar bermuatan kayu menabrak bapakku beberapa tahun silam, kini ibu harus merawat bapak dan adikku dengan sebaik mungkin. Bekerja, menjadi tulang punggung keluarga, serta menjadi hansip rumah pun dilakoni oleh beliau setelah insiden tersebut. Ini terjadi berulang kali, hingga bertahun-tahun lamanya.

Aku tak bisa membantu karena tuntutan dari orang tua untuk selalu mengejar prestasi dan pendidikan yang layak. Ku dapati beasiswa di Madinah dua tahun silam, tetapi karena tak memiliki biaya untuk keberangkatan akhirnya aku ikuti beasiswa yang ada dalam negeri alias Indonesia. Anggapku, biar tak ada lagi beban yang besar terhadap orang tuaku terlebih pada ibuku yang selalu banting tulang demi keluarga.

*****

Dengan segenap kekuatan dan doa, bu Hot selalu mendayuhkan sepeda ontel miliknya. Berangkat dari mulai pagi selepas salat Subuh sampai hampir hilangnya waktu dzuhur. Sepeda ontel yang membawa gerobak berisi sayuran itu selalu setia dalam perjalanan ibuku, mulai dari aku kecil sampai aku mendapatkan beasiswa yang kesekian kalinya.

Bertahun-tahun lamanya ibuku bekerja seperti ini karena bapak tak kuasa lagi untuk menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin pekerjaan ini tak aneh bagi orang lain, tetapi bagiku inilah yang memotivasi hidupku. Dengan jarak puluhan kilo meter, seorang yang renta kisaran usia 45 tahun ini masih semangat mendayuh sepeda ontel bergerobak besar. Muatan yang lebih kurang dari 50kg itu selalu membebani ibuku, sedangkan ibuku selalu tersenyum membawanya.

Pernah suatu ketika, aku sengaja pulang dari pesantren yang ku huni tanpa konfirmasi keluarga. Aku langsung saja menuju tempat bekerja ibuku, tetapi aku tak mendapati beliau di tengah-tengah sengatan matahari. Pikiranku berkecamuk mendalam sudah, lalu aku sadar bahwa ibuku setiap harinya berkeliling memecah angkara murka mencari nafkah demi keluarga.

Sekitar setengah jam sebelum waktu salat Dhuha habis, aku mampir ke mushola terdekat. Tujuanku simpel saja, ingin beristirahat lalu mencari ibuku untuk membantunya. Tetapi ada yang mengherankan, kulihat ada gerobak dan sepeda ibuku di halaman mushola, lalu ku tengok ada seorang wanita berpostur tubuh tinggi sedang salat Dhuha.

Arif…… Panggilan dari arah belakang memecah konsentrasiku. Kulihat seseorang yang telah kenal denganku dan kebetulan beliau memang pelanggan sayuran ibuku. Rumilah, itulah namanya. Bu rumilah ini yang akhirnya ngobrol denganku, bercerita bahwasanya kegiatan ibuku setiap hari bukan hanya berjualan sayuran tetapi beliau senantiasa tak melupakan akhiratnya. Beberapa metode yang dilakoni ibuku yaitu dengan salat Dhuha, membantu orang sekitar beliau berjualan, dan lain sebagainya. semakin heran aku dengan ibuku.

*****

Nak, terkadang pula bu Hot mendapat uang dari hasil membantunya. Semua dilakoni sama beliau, dari nyuci baju orang lain, membersihkan mushola, menyapu kantor kecamatan dan lain sebagainya. sontak aku kaget dengan hal ini karena yang aku tahu hanya sebatas ibu jualan dengan menggunakan sepeda ontelnya.

Terlebih lagi, bu Hot itu orang yang tidak ingin melihat orang lain kecewa dan menangis. Beliau sering menghutangkan sayuran terhadap orang lain, nak. Tujuannya hanya biar melihat senyuman keluarga ketika melihat gerobaknya kosong. Aku kembali meneteskan air mata, terasa tak kuasa ingin menjerit serta meludahi diri sendiri yang selalu egois dalam hidupku. Selalu meminta uang, selalu meminta ibu menjenguk ke pesantren tempat ku belajar. Selalu membuat ulah dengan meninggalkan tugas yang ada.

Memang aku kerap kali mengetahui bahwa gerobak ibu kosong dan tak ada sedikitpun sayuran yang tersisa. Bertambahnya selimut senyuman yang menghiasi bibir ibuku membuat keluarga percaya jika dagangannya selalu habis dengan hasil yang memuaskan. Tetapi dibalik itu, ibuku menghutangkan sayuran dan melakoni pekerjaan lain demi menutupi kekurangan yang selalu menggumpal.

Selang beberapa waktu setelah bu Rumilah bercerita, ibuku keluar dari mushola. Beliau melihatku dengan muka merah, seolah-olah beliau kaget dan mengerti apa saja yang telah dilakukan ibu setiap harinya. Ibu meminta maaf padaku, tetapi aku berbalik sujud di kaki ibu. Seketika itulah aku berjanji menjadi orang yang selalu dibanggakan oleh semua. Sedangkan ibuku menangis dengan nada sendu, seperti menahan sedih yang amat terasa. Ibu tak ingin orang lain merasakan kesedihan pula, padahal kejadian itu dilihat puluhan orang.

Aku memeluk tubuh ibu yang dingin, aku peluk erat dan ku cium pipi ibu dengan ketulusan yang terurai. Aku berjanji tak akan membuat kesalahan dengan melupakan urusan dunia dan urusan akhirat. Karena pesan ibu seperti itu, jadi aku laksanakan sebisaku dengan kemampuan yang ala kadarnya ini.

*****

Saat ini, aku berusia 19 tahun dan akan genap usia 20 ketika bulan juli mendatang. Sedangkan ibuku masih setia dengan pekerjaannya mulai dari terkaparnya bapakku hingga kala ini. Adikku? Tinggal di pesantren yang jauh pula dari rumah, sehingga di rumah tinggal dua gelintir orang saja.

Gerobak yang digunakan ibu telah berganti-ganti karena keadaannya yang tidak layak pakai, itu pun aku yang menggantinya dengan cara memperbaiki. Karena gerobak buatan orang lain kurang kuat anggapanku, lagi pula harga dari gerobak tersebut jika dijadikan sayuran mungkin dapat banyak dan memenuhi gerobak karyaku.

Ya. Ibuku tetap setia dengan pekerjaan yang dilakoninya sampai saat ini. Sampai namaku dikenal sebagai Arif Alfanza.

***))


Surabaya, 07 Desember 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline