Bulan Juni mendekati akhir. Bulan yang penuh momentum! Selain Bulan Ramadhan dan Idul Fitri plus mudik dan arus baliknya, di bulan ini ada Pilkada serentak yang dihelat pada tanggal 27 Juni 2018. Usai sudah hiruk pikuk demokrasi langsung ini. Berakhir sudah pesta demokrasi yang penuh dinamika itu. Dan seperti lumrahnya semua pesta, semua tidak berakhir ketika hari berganti! Sisa-sisa dan turunannya akan berlanjut, entah dalam hitungan bulan atau bahkan tahun.
Seperti laiknya kontestasi yang lain, Pilkada serentak juga berlangsung riuh rendah. Tapi bagi kita yang tidak terkait dan terlibat langsung, hikmahnya adalah bahwa dalam sesuatu itu jangan terlalu, sedang-sedang saja. Sebatas menggunakan hak. Memilih yang diyakini. Keyakinan seseorang terhadap sesuatu memang berbeda. Banyak faktor yang membangun sebuah keyakinan....dan keyakinan itu seperti cinta! Terkadang merontokan logika. Yang jelas kepentingan tetap menjadi panglima! Kepentingan apapun itu.
Tiap even pemilihan juga mengajarkan seninya berbeda. Saling menghormati dan menghargai adalah pelajaran paling penting dari sebuah perbedaan pilihan. Ketika dukungan kita menang, hanya sebatas eforia belaka yang mungkin hanya bertahan beberapa minggu atau paling banter beberapa bulan. Selanjutnya business as usual. Hidup dan kehidupan menjadi sesuatu yang harus diperjuangankan..
Siapapun yang menjadi pemenang bagi kita masyarakat biasa tidak akan lama berpengaruh, hanya sebentar saja! Tapi tentu berbeda dengan mereka yang menjadi Tim Sukses, Relawan, Inner Cycle (Ring 1) atau pendukung fanatik salah satu calon . Mereka akan sangat senang. Harap-harap cepas bercampur peluh berakhir bahagia. Mereka senang hatinya. Berbanding terbalik dengan mereka yang ada di lingkaran calon yang kalah, sedih dan gundah gulana. Kemenangan memang banyak saudara dan kekalahan itu seperti anak yatim. Tapi itu juga tidak akan terlalu lama!
Pada episode selanjutnya yang panjang, sangat mungkin terjadi perubahan 180 derajat; Mantan pendukung yang menang, justru jadi kecewa, karena ternyata figur yang mereka dukung ternyata tidak sebaik seperti yang mereka yakini sebelum pemilihan. Mantan pendukung calon yang kalah justru berbalik menjadi pendukung yang menang, karena ternyata figur itu tidak seburuk yang mereka yakini sebelum pemilihan.
Itu karakter pendukung yang fair, buah dari paduan tata kelola rasional dan emosional. Tapi ada pendukung yang tidak seperti itu, prinsipnya pilihannya tidak pernah dan tidak akan pernah salah dan mantan lawannya akan selalu salah dan dicari-cari kesalahannya. Sejatinya salah pilih itu bukan ketika calon yang kita pilih mengalami kekalahan tetapi ketika calon yang kita pilih tidak mampu menjalankan amanah dan tidak memenuhi janji-janji sebagaimana yang pernah dikampanyekan.
Ada yang menang ada yang kalah, itulah hidup! Dan hal itu merupakan keniscayaan dalam sebuah kontestasi. Siapapun yang menang harus kita dukung semampu kita. Persatuan bangsa ini lebih penting dibanding kepeng dan remah-remah kuasa. Seperti yang dikatakan oleh mereka yang menang bahwa kemenangan ini adalah kemenangan rakyat.
Kita harus menggarisbawahi frasa kemenanganan rakyat ini, bukan kemenangan oligarki. Kemenangan seluruh rakyat harus menjiwai seluruh kebijakan para kepala daerah, bukan kebijakan yang mengakomodasi kepentingan oligarki (mereka yang menaruh saham pada sebuah kemenangan kontestasi politik). Lebih ironi lagi jangan sampai seperti yang dikatakan Jeffrey A. Winters dalam Oligarchy-nya bahwa suara rakyat hanya dipinjam melalui bilik-bilik suara setelah itu oligarki yang bekerja!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H